Episode 🖐🏻

225 43 1
                                    

“You never change your life until you step out of your comfort zone; change begins at the end of your comfort zone.”

[...] 🍓

Ayah Lucas tidak membiarkan Hendery pulang sendirian sore itu. Bukan tanpa alasan, Hendery terlihat pucat dan lemas. Walaupun sudah menolak berkali-kali, ayah Lucas tetap kukuh pada pendiriannya. Bahkan kalau ia tidak mau diantar pulang, lebih baik menginap.

"Anemia," ucap Hendery.

"Aku lupa membawa obatku," sambungnya.

Lucas menoleh lalu tersenyum, tidak tahu harus memberi tanggapan apa. Setahunya, anemia bukan penyakit berat. Jadi jika tidak menunjukkan rasa khawatir sepertinya tidak masalah.

"Satu menit lagi busnya akan tiba," ucap Lucas.

Hendery duduk di sampingnya dengan kedua tangan terlipat di dada. Masih sore, langit masih terang. Banyak orang disana dan angin juga tidak terlalu kencang. Namun Hendery merasa badannya sangat dingin.

Ia berusaha untuk mengabaikan, lagipula rasa ini akan segera berakhir. Biasanya tidak bertahan lama. Hendery hanya bisa berharap bus yang ia naiki penuh agar pendingin di dalam sana tidak terlalu terasa.

Setelah naik, hanya ada satu tempat duduk kosong tersisa. Lucas memaksa Hendery untuk duduk sebelum orang lain mengambil tempat itu. Kalau tidak sakit, Hendery tidak akan mau.

Hampir sepuluh menit berjalan, tubuhnya terasa semakin dingin. Lucas berdiri di sampingnya, melihat ke jendela.

"Lucas," panggil Hendery yang membuatnya menoleh ke bawah.

"Aku—"

Tidak perlu penjelasan dari Hendery, Lucas tahu pria itu kedinginan. Hal pertama yang terlintas di benak Lucas adalah melepaskan jaketnya dan memberikannya pada Hendery.

"Xiexie," ucap Hendery.

Setelah merasa cukup hangat, ia pun bisa tenang. Lucas tidak abai begitu saja, sesekali memperhatikan Hendery lewat bayangan yang terpantul di jendela bus.

Tangan kekarnya membawa kepala Hendery bersender di perutnya— tidak peduli apa kata orang. Sedaritadi sepertinya Hendery merasa pusing dan tidak nyaman karena kursi bus tidak memiliki senderan.

Hendery berusaha sebisa mungkin mengatur napasnya yang memburu. Tidak tahu harus bereaksi apa, tapi bersyukur menemukan senderan untuk kepalanya yang pusing. Walaupun itu perut Lucas. Sore itu muridnya hanya menggunakan kaos tipis, jaketnya juga dilepas dan diberikan padanya. Itu artinya hanya sehelai kain tipis membatasi antara pipinya yang dingin dan perut Lucas yang terasa hangat.

Pria yang lebih tua empat tahun dari Lucas itu pun mencoba untuk tidur, mengingat perjalanannya masih cukup jauh. Pelukan Lucas entah mengapa mengingatkan dirinya pada rumah. Tempat ia tumbuh dan mengerti makna cinta. Sudah lama, sangat lama bahkan ketika cinta itu hilang saat keluarganya dibunuh. Ibu, ayah, dan adik perempuannya.

Hendery merasa bersalah, ia tidak ada disana menjaga mereka. Keputusannya untuk kuliah di luar negeri membuatnya sempat menyesal. Korea Selatan bukan negara impiannya, tapi disinilah ia mendapatkan beasiswa sepuluh tahun lalu.

Sejak ia menginjakkan kaki di Korea, Hendery belum pernah pulang. Untuk apa, pikirnya. Ia tidak punya rumah. Keluarganya pun sudah tiada. Tujuannya saat ini adalah bertahan hidup demi dirinya sendiri, itu saja.

Tanpa ia sadari, air matanya mengalir, menetes membasahi kaos yang dipakai Lucas sore itu. Tentu Lucas tahu, tapi mencoba mengabaikan. Ia pikir bukan dirinya yang membuat Hendery menangis, jadi bukan urusannya. Bukan berarti Lucas tidak peduli, tapi menurutnya wajar jika orang menangis.

Luka itu bisa terbuka kapan saja tidak mengenal situasi. Jadi jika Hendery menangis sekarang, itu hal yang wajar untuknya.

Tapi setelah dipikir-pikir, Lucas perlu menunjukkan rasa simpatinya. Ia lalu menepuk-nepuk pundak Hendery pelan. Kalau saja Hendery perempuan, sudah pasti Lucas tidak segan untuk mengelus rambutnya.

"Kita harus turun disini," bisik Lucas.

Hendery mengelap air mata yang masih bersisa di pelupuknya. Perlahan, ia mengikuti Lucas dari belakang untuk turun. Tidak ada percakapan berarti di antara mereka, sampai ketika Hendery melihat sebuah apotek di ujung jalan.

"Aku harus membeli obat," ucapnya.

"Baiklah," jawab Lucas lalu mengikuti Hendery masuk. Ayahnya bilang, Lucas harus memastikan Hendery pulang dengan selamat. Bahkan kalau bisa Lucas baru boleh pulang saat Hendery sudah tidur di kamarnya.

Setelah mereka masuk, Hendery duduk di kursi tunggu. Suatu ide menarik terlintas di benaknya. Ini saatnya Lucas mempraktekkan bahasa korea di luar.

"Tolong belikan aku obat anemia. Aku terlalu lemas untuk berdiri lama-lama," pinta Hendery.

"Tapi aku tidak bisa—"

"Sepuluh menit kau tidak mendapat obatnya, aku akan menelepon ayahmu," ucap Hendery diakhiri senyum jahil saat Lucas sudah berbalik badan untuk mengantri.

Apotek itu tidak terlalu besar, Hendery bisa mendengar dengan jelas percakapan antara Lucas dan apoteker yang berjaga. Ia sempat menahan tawa berkali-kali saat mendengar bahasa korea Lucas yang belum sempurna. Namun terdengar lucu, pastinya.

Setelah selesai, Lucas menunjukkan kantung plastik berisi obat pada Hendery lalu keluar dari sana. Hendery mengikutinya dari belakang dan merebut kantung itu.

"Kau tidak percaya denganku?"

"Lucas, ini obat sakit perut," ucap Hendery.

Jujur saja ia agak menyesal karena tidak terlalu fokus mendengarkan percakapan Lucas dan apoteker sampai selesai tadi.

"Apa nama obatnya? Aku akan kembali ke dalam," balas Lucas dengan kening yang mengerut.

Hendery tahu Lucas sudah sangat percaya diri, tapi dirinya harus lebih banyak belajar. Sepertinya, mulai besok Hendery akan lebih sering membawa Lucas ke luar agar muridnya lebih mudah beradaptasi.

Kalau hanya belajar teori terus, siapa yang tidak akan jenuh? Itulah masalahnya.

Setelah delapan menit, Lucas kembali dengan obat yang benar.

"Apoteker itu mengatakan aku bodoh," protes Lucas sambil berusaha menyamakan langkah kaki Hendery.

"Sepertinya otakmu lebih cepat menyerap kata-kata negatif. Buktinya kau tahu apoteker itu mengatakan kau bodoh."

"Bukan hanya aku, tapi sebagian besar orang di dunia ini. Aku yakin saat kau belajar bahasa korea dulu, kau lebih mengingat kata-kata negatif daripada positif," balas Lucas tidak mau kalah.

"Aku rasa tidak—"

"Ini apartemenmu, kan?" potong Lucas.

Hendery mengangguk, berniat melepaskan jaket milik muridnya itu dan mengembalikannya. Tapi kenapa rasanya berat? Jaket ini terasa sangat nyaman dan lagi-lagi mengingatkannya pada rumah.

"Kalau begitu aku pulang. Aku harus sampai sebelum makan malam. Kau tahu sendiri kan bagaimana ibuku?"

"Ibumu? Aku bahkan baru bertemu dengannya dua hari lalu," jawab Hendery.

"Ah, kalau begitu kau harus sering datang untuk mengenalnya," ucap Lucas asal.

Setelah menyadari ucapannya, tanpa menunggu lebih lama lagi Lucas mengucapkan selamat tinggal lalu berjalan setengah lari menuju halte bus.

Hendery masih berdiri di sana, mengamati Lucas dari belakang sambil tersenyum. Dan tanpa ia sadari, Hendery memeluk dirinya sendiri— lebih tepatnya memeluk jaket warna khaki milik Lucas.

"Aku akan membantumu sampai akhir, Lucas. Ayah dan ibumu sama hangatnya dengan orangtuaku. Dan kau sendiri, sangat lembut, tapi konyol seperti adikku," gumam Hendery dengan senyum tipis yang melukiskan sejuta luka dan rasa rindu di hatinya.

SsaemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang