Draco menatap langit langit kamarnya dengan Harry. Tanpa Harry di sisi kasurnya . . . Semua bagian di dalam hati kecilnya terasa kosong. Walaupun Harry tidak mencintainya,dia yakin Harry masih menyimpan rasa marah akibat cinta. Marah berasal dari cinta dan kasih sayang,bukan? Tapi untuk apa Harry marah padanya? Apa salahnya?
Draco mengambil napas dalam dalam,dan menghelanya.
Harry belum kunjung pulang.
Ini sudah jam 12 tengah malam.
Sudah hari esok.
Harry,dimana kau?
Tell me where you are.Draco mengambil ponselnya dari atas nakas,sebelum menghidupkannya,dia berharap ada pesan singkat dari Harry,kesayangannya.
Dia hidupkan . .
Dan . .Tidak ada,tidak sama sekali. Sepertinya Harry tidak peduli tentang dia. Di dalam hati, dia mengulang ulang kata kata 'Harry,kembalilah'. Draco ingin meneriaki Harry saat ia pulang,tapi itu akan memperburuk keadaan mereka. Dia akan di cap sebagai suami yang buruk.
Draco menghela napas,ia berserah kepada Tuhan,biarkan Tuhan yang menyelesaikan masalahnya,biarkan Tuhan memberikannya jawaban yang sebenarnya. Tuhanlah yang menemani kehidupannya sehari hari.
Dan disaat ini Draco berpikir kalau ajalnya sudah dekat. Entah darimana pikiran itu muncul,pikiran negatif tentunya. Tapi sisi lainnya berkata 'tidak.'.
Draco mulai mencucurkan air matanya di bantalnya,kali ini lebih banyak air mata tumpah. Dia tidak peduli jika matanya merah dan sembab,dia tidak peduli misalnya dia menangisi dirinya sampai tertidur.
Draco menatap salib yang terpasang di dinding,dia lupa jika Tuhan sedang melihat diriny. Dia bangkit dan bersila,lalu dia menyatukan kedua tangannya,dan berdoa, (karena kebanyakkan orang orang luar beragama Kristen / Katolik.)Tuhan,ampunilah aku dan Harry. Jika dia bahagia dengan kekasih barunya,maka aku relakan asalkan dia bahagia. Aku juga akan mengakhiri hari ini dengan tidur,jagalah Harry dan pasangannya. Jika Harry memang sedang di perjalanan untuk pulang,jagalah dia supaya tidak kenapa kenapa. Terimakasih.
Draco mengakhiri doanya dengan sebuah 'amin'. Lalu tertidur dengan pipi yang masih basah akibat berdoa dengan tangis.
***
“Harry.” Draco tersenyum hangat,dengan segera menatap iris Harry yang indah bagaikan zamrud.“Ya?” Harry tersenyum dengan gigi yang terlihat.
“Kau tahu kenapa aku sangat mencintaimu?” Draco berbisik. Mereka sedang ada di mobil sekarang,karena macet,Draco memanfaatkan waktu ini untuk berbicara dan menggoda Harry.
“Hmm,apa?” Harry menggigit bibir bawahnya,mata zamrudnya menatap iris kelabu Draco.
“Kau mempunyai iris zamrud yang indah,bibirmu yang merah muda sangat menggodaku dan sangat ingin kuhisap dan kucium,pipimu yang memerah setiap kali ku goda sangat cantik. Aku ingin menggigitnya sekarang.” Draco membelai lembut pipi Harry yang sudah memerah tidak karuan. Mata Harry menggelap.
“Maka gigitlah. Aku mangsamu.” Harry membelai balik pipi Draco. Saat Draco hendak mendekatkan wajahnya dengan wajah Harry,saat bibir mereka sudah menempel namun lidah Draco belum masuk di mulut Harry —
“D-Draco,sudah tidak macet lagi — Kita bisa lanjutkan nanti di rumah.” Harry tergagap,dia sudah diselimuti oleh malu. Bagaimana jika ada pengemudi yang melihat aksi keduanya?
Lalu kabut hitam menutupi memori itu,menggantikan pada saat Harry memecahkan vas bunga di rumah mereka akibat amarah dan kesedihan yang menimpa tubuhnya yang mungil.
“Kenapa?!” Harry berteriak,irisnya sudah penuh oleh api amarah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Distance [✓]
Fanfiction"I know we weren't perfect but I've never felt this way for no one,and I just can't imagine how you could be so okay now that I'm gone." Draco selalu ingin perhatian Harry pada dirinya. Harry selalu keluar malam malam,entah untuk apa. Akhir akhir...