PTSD (Post Traumatic Stress Disorder). Sejak beberapa tahun lalu, gadis itu mendapatkan diagnosa pertamanya. Penyakit yang tidak tampak secara fisik, namun sukses membuat hidupnya hampir kacau.
Hari ini adalah jadwal kunjungannya untuk pergi ke psikiater. Sudah sejak 15 menit yang lalu ia berbincang dengan perempuan berkacamata yang terduduk di hadapannya.
"Jadi, kau memaksa ingin melanjutkannya?" Kata wanita berkacamata itu.
Gadis itu terdiam, ia menggigit ujung jarinya ragu. Namun rasa kecewanya pada seseorang di masa lalu jauh lebih tinggi dari rasa ragunya.
"Bukankah jika aku berhenti, hasilnya akan tetap sama? Aku tetap berhadapan dengan kejadian menakutkan itu. Jadi untuk apa aku berhenti?" Gadis itu membuka suara.
Bae Johyun atau biasa dikenal dengan dokter Irene itu menghela nafasnya. Ia melepaskan kacamata miliknya dan bersandar pada kursi putarnya.
"Tidak, hasilnya akan berbeda Sana. Trauma healing bukan seperti ini yang harus kau lakukan. Kau tidak bisa membenci seseorang dan berpura-pura menyayanginya disaat yang bersamaan. Itu akan membuat traumamu jauh lebih parah" Irene menegaskan.
Trauma healing yang irene maksud adalah Exposure Therapy. Sebuah proses trauma yang memfokuskan Sana pada kejadian menyakitkan yang membuatnya trauma dan mengatur pola pikir Sana untuk mengampuni atau memaafkan apa yang pernah terjadi padanya dahulu. Past is Past. Itulah yang Irene coba lakukan.
Namun siapa sangka bahwa respon dan tindakan Sana sungguh berbeda. Ia menyeret seseorang dari masa lalunya dan mencoba membalas apa yang ia rasakan dahulu. Memaafkan sungguh bertolak belakang dengan pembalasan dendam.
Dan Irene tahu, bahwa pembalasan dendam akan memperparah trauma Sana. Terbukti bahwa Sana sering sekali kambuh secara tiba-tiba dalam beberapa waktu belakangan ini.
Sana terdiam. Ia mencoba menimang keputusan apa yang akan ia ambil selanjutnya. Jauh di lubuk hatinya, ia sungguh merasa lelah membenci seseorang, tapi egonya tidak merasakan demikian. Ada rasa tidak puas jika melihat seseorang yang ia benci justru hidup dengan tenang.
"Tolong jangan seperti ini, kau menyakiti dirimu sendiri dan orang lain Sana" Irene mencoba memperingatkan lagi.
"Aku tidak bisa berhenti. Aku ingin, tapi melihatnya hidup dengan tenang dan bahagia membuatku marah. Aku harus menghancurkannya. Berikan saja resep obat untukku lagi, aku bisa mengatasinya untuk beberapa waktu kedepan."
Irene menyerah. Ia tidak bisa lagi memaksakan Sana untuk menurutinya. Ia sangat tahu bagaimana watak Sana, dan jika memaksanya sekarang maka tidak ada gunanya. Sana tidak bisa dipaksa dengan cara seperti ini.
Setelah Irene memberikan resep obatnya, Sana keluar dari ruangan itu. Ia harus menebus resep obat yang diberikan Irene dan harus bertemu seseorang sore ini.
.
.
.
.
.
.
.
.
.Seorang pria memandang serius pada lembaran file yang berada di mejanya. Dengan kacamata yang bertengger di wajahnya, semua orang sudah tahu bahwa pria itu adalah seseorang yang sangat ambisius, pintar dan berwibawa.
Ponselnya bergetar. Ia melirik dan tersenyum saat mengetahui seseorang yang ia amat cintai menelfonnya.
"Yeoboseo?" Suara bassnya menggema di ruangan itu.
Ia meletakan kacamatanya di atas meja kerjanya dan bersandar pada sandaran kursinya guna merilekskan sedikit tubuh kakunya.
"Yeoboseo, Jong Suk-ah aku sudah berada di lobby kantor sekarang."

KAMU SEDANG MEMBACA
Don't Trust Feelings Completely
FanfictionJangan sepenuhnya percaya pada perasaan. Perasaan bisa salah dan keliru. Author yang lain banyak menyuguhkan cerita dewasa bertema LGBT yang begitu kental. Aku tahu kalian suka, tapi dari cerita GxG pertama yang aku tulis ini, aku mau kalian belajar...