SMP (1)

4 0 0
                                    


"Aku mau masuk pondok aja." -aku

"Gausah, masuk smp biasa aja. SMP * bagus, sekolah favorit." -ayahku

"Yaudah tapi cadangannya SMP Islam ya." -aku

"Gausah pake cadangan, pasti ketrima." -ayahku

Begitulah ceritanya bagaimana aku bisa memilih SMP ini, sekolah favorit di kotaku, berada di seberang alun-alun kota kami. Terkenal dengan banyaknya 'biaya aneh' yang diminta, padahal ketika kamu masuk sekolah kami, tidak seburuk itu. 


-Hari Pendaftaran-

"Udah siap semua berkasnya? Jangan sampai ada yang ketinggalan." -ayahku

"Udah semua yah." -aku

"Ayo berangkat, pamit ibu dulu." -ayahku

"Buk aku berangkat, assalamualaikum." -aku

"Waalaikumsalam." -ibuku

Kami berangkat naik motor, parkir didepan sekolah, masuk dengan membawa berkas, dan jalan bergandengan dengan ayah. Aku ingat saat itu ada berbagai macam model seragam SD yang dipakai anak-anak lain. Ada pula yang bergerombol sesuai model seragam, sibuk berdiskusi. Aku menemukan 1 temanku, namun kami tidak berbincang, aku terlalu sibuk dengan pikiranku sendiri. Setelah mendapatkan nomor ujian, kami pulang. 


-Hari Ujian-

Ayah mencium keningku, "Semangat ya, kerjain yang gampang dulu, gausah grogi. Sebelum mulai baca Al-Fatihah 3x, kalau bisa 1 tarikan nafas aja. Habis itu baca An-Nas, Al-Falaq masing-masing 3x. Insyaallah lancar. Semangat sayang." 

Kalau aku ingat-ingat lagi sekarang, sepertinya saat itu yang lebih grogi ayahku, bukannya aku. Hahaha

Aku bertanya tempat ruanganku kepada kakak osis, mereka menyuruhku untuk naik ke lantai 2. Seingatku, aku ada di kelas 81. Yang pasti aku ingat, aku duduk di baris paling pinggir, dekat jendela, aku duduk di kursi nomor 2 dari belakang. Aku mengedarkan pandanganku, memberikan senyum kepada teman di belakangku, karena kita bertatapan saat aku menoleh ke belakang. Dia adalah anak laki-laki, yang nantinya akan selalu kubahas di cerita ini. 

Saat ujian berlangsung, teman di sebelah kananku bercontekan dengan temannya yang jarak 1 bangku, itu pertama kalinya aku melihat orang berbuat curang. Ingin kulaporkan, tapi saat itu pikiranku 'tidak usah pedulikan orang lain, tujuanku saat ini adalah masuk ke sekolah ini. Aku tidak punya cadangan lain.' Jadi aku tak memperdulikan mereka lagi. 


-Hari Pengumuman-

Aku masuk ke sekolah hanya bersama ayahku, aku ingat kami menunggu di halaman depan bersama anak-anak lain yang menunggu pengumuman pula. 

"Sesaat lagi akan kami umumkan siapa saja yang lolos, mohon berkumpul di halaman depan."

Ayah mulai merangkul-ku, "Tenang, bismillah." 

"Bismillahirrahmanirrahim." -aku

Aku ingat pasti, nomor ujianku adalah nomor 17, tetapi aku lupa urutan aku diterima, sekitar 32? Dari ratusan lainnya.

"Nomor 32, atas nama ***** ***** *(aku)"

"Alhamdulillah nak! selamat ya." Ayah berbicara sembari menangis, dia mencium keningku, kami menangis bersama, ayah memelukku sangat erat. Semua orang sampai melihat kearah kami.

Kulihat ekspresi anak-anak bersama orang tua yang namanya belum juga disebut, wajah mereka semakin risau.

Selesai pengumuman, kami disuruh untuk naik ke aula, orang tua dipersilahkan untuk menunggu diluar.

Didepan tangga, "Ayah tunggu didepan ya nak, telfon kalau udah." Ayah mencium keningku lalu pergi.

Aku naik, kulihat anak-anak lain sibuk berbincang dengan temannya saat menaiki tangga. Sedangkan aku, tak mengenal satupun dari mereka.


404 Not FoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang