1

4.5K 177 11
                                    

Organ tunggal sudah tak terdengar sejak satu jam yang lalu dan tamu-tamu mulai surut

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Organ tunggal sudah tak terdengar sejak satu jam yang lalu dan tamu-tamu mulai surut. Ningrum menahan diri untuk tak menggosok matanya yang terasa perih, lalu melirik ke arah Dimas, suaminya, yang juga tampak tak kalah lelah. Di halaman rumahnya, orang-orang sudah mulai membereskan kursi, sementara hidangan resepsi sudah hampir habis. Tak ada lagi yang datang dari arah gerbang kecuali angin dingin dan nyamuk-nyamuk.

"Nggak akan ada tamu lagi, kan?" gerutu Dimas.

"Mungkin masih," ucap Ningrum pelan, seperti sedang berbicara dengan dirinya sendiri.

"Ah, kalau pun ada, paling juga besok. Sekarang kayanya kita bisa istirahat."

Sepasang suami istri yang baru selesai makan tampak langsung berpamitan ketika menyadari bahwa kursi-kursi mulai diangkat. Merekalah tamu terakhir di acara pernikahan itu. Ningrum menghela napas sambil memandangi bulan pucat yang mengintip sedikit di ujung langit.

Ia masuk kamar terlebih dahulu, sementara Dimas masih berbasa-basi dengan anggota keluarga. Tanpa sempat mengagumi keindahan dekorasi kamar pengantin, ia langsung mendekati cermin untuk berganti pakaian dan membersihkan riasan. Tukang riasnya sudah pulang terlebih dahulu sejak sore sehingga mau tidak mau ia harus melakukannya sendiri. Sambil mengoleskan cairan pembersih, Ningrum memandangi wajahnya sendiri di cermin. Perempuan yang biasanya jarang berdandan itu harus tampil bak seorang puteri selama satu hari, dan meski ia tidak membencinya, ia merasa seperti orang lain.

Ia memang sudah seharusnya menjadi orang lain, pikirnya. Ketika para tamu mengucapkan "selamat menempuh hidup baru", ia benar-benar meresapinya ke dalam hati. Segalanya benar-benar akan menjadi baru, mulai malam ini. Ini akan menjadi salah satu malam paling bersejarah dalam hidupnya.

Ia tiba-tiba saja menjadi sangat gugup ketika menghapus lipstik di bibirnya, dikatupkannya bibirnya itu, lalu dibuka lagi. Berciuman saja belum pernah. Satu-satunya kontak fisik paling dekat dengan lawan jenis yang pernah ia lakukan adalah pelukan paksa dari mantan pacarnya saat ia meminta putus. Lelaki yang telah dikenalnya bertahun-tahun itu telah mengkhianati kepercayaannya dan Ningrum tidak suka memberikan kesempatan kedua. Ia hampir saja mengalami depresi karena peristiwa itu, untunglah pada saat itu ia bertemu dengan Dimas.

Ningrum percaya bahwa Dimas adalah lelaki sejati. Ia dewasa, mapan, dan serius. Tidak seperti laki-laki lain yang hanya bisa mengumbar janji, Dimas adalah orang yang tegas. Dua bulan sejak menyatakan cinta, Dimas langsung melamar Ningrum. "Cinta tidak bisa menunggu", kata Dimas. Ningrum setuju.

Wajah ningrum hampir bersih. Saat akan meneteskan obat mata, samar-samar ia mendengar suara lolongan anjing, padahal seingatnya tak ada satu pun tetangganya yang memelihara anjing. Ia berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa suara itu berasal dari televisi, atau mungkin radio, atau mungkin ringtone ponsel orang yang sedang membereskan piring di dapur.

Ia memang tidak bisa membohongi dirinya sendiri, bahwa seharian ini ia terus teringat pada  kisah yang pernah diceritakan neneknya dulu. Konon, ada sesosok tamu misterius yang senang mendatangi pesta pernikahan gadis-gadis di desa mereka. Sosok itu akan datang sebagai tamu terakhir saat tamu-tamu lain sudah pulang. Orang lain akan melihatnya sebagai laki-laki biasa, tetapi sang pengantin perempuan akan melihat tamu itu sebagai lelaki berkepala anjing. Ia akan melotot, menjulurkan lidah, lalu mengendus-ngendus menyalami pengantin. Menurut neneknya, lelaki itu bisa mencium bau darah perawan, bahkan saat darah itu belum keluar. Ia akan menunggu di sekitar kamar pengantin, kadang merangkak seperti anjing, kadang berjalan seperti manusia.

Sejak awal acara resepsi, Ningrum selalu memperhatikan para tamu, tetapi tak ada yang aneh. Bahkan tamu terakhir yang ia lihat tampak sangat ramah dan seperti manusia. Ningrum terkekeh sendiri, menyadari betapa konyol ketakutan yang ia rasakan. Neneknya adalah orang tua yang depresi dan gagal dalam pernikahan, jadi sepertinya cerita itu memang ia karang sendiri untuk melepas stres.

Ningrum merebahkan diri di atas tempat tidur pengantin. Kelopak-kelopak bunga mawar yang berserakan di atas kasur tidak berhasil menimbulkan suasana romantis dan malah membuat ia merasa gatal. Ia gelisah. Ia ingat pada cerita teman-teman kantornya sewaktu ia masih bekerja dulu, bahwa malam pertama itu menyakitkan. "Besok paginya sampai nggak bisa jalan," kata seorang temannya. Namun ia berusaha tetap tenang, toh ia yakin kebanyakan pengantin tidak langsung melakukannya di malam pertama.

Pintu kamar diketuk. Ningrum terkejut. Bukannya bangkit dan membukakan pintu, ia malah meringkuk di pojok kasur dan memejamkan mata. Jantungnya berdebar kencang, tangannya meremas ujung bantal keras-keras. Saat akhirnya Dimas masuk ke dalam kamar, ia membuka matanya sedikit dan tersenyum lemah, seolah baru saja ketiduran. Dimas yang tak mengerti kode itu langsung berjalan mendekat dan mencoba mencium bibir istrinya. Ningrum terkejut bukan main.

Ada suara napas anjing di luar sana, pikir Ningrum. Ia sedang mengendus di balik jendela, atau di balik pintu, atau di samping lemari. Ditahannya tubuh Dimas, lalu ia menggeleng.

"Aku capek banget," ujarnya.

Dimas terdiam sesaat, lalu berusaha tersenyum. "Aku juga," ujarnya. Ia merebahkan badan dan sesekali melirik punggung istrinya yang pura-pura tidur.

Tamu TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang