3

3.6K 171 32
                                    

Menjelang malam, Dimas belum juga pulang. Ningrum mencoba memasak makanan kesukaan Dimas, cumi goreng dan petai bakar, berharap tindakan itu akan membuat suaminya sedikit lebih gembira dan mau mendengar penjelasannya soal SMS itu. Namun saat ia pergi ke dapur, ia merasakan sekujur tubuhnya merinding. Ada goresan-goresan kecil di pintu yang berbatasan dengan halaman belakang. Goresan-goresan itu seperti bekas kuku atau mungkin gigi binatang buas. Dalam kepalanya, ia membayangkan manusia anjing mencakar-cakar setiap sisi rumahnya, berusaha masuk sambil menggeram dan menggongong, lalu sesekali bergumam, "Bagaimana malam pertamanya? Berdarah, nggak?"

Rencana memasaknya segera dibatalkan. Ia masuk ke dalam kamar, mengunci pintu erat-erat, lalu meringkuk di pojok kasur. Tidak makan malam pun tidak apa-apa, pikirnya. Suara gonggongan anjing mulai terdengar di luar sana. Semakin lama semakin nyaring. Kemudian tidak hanya suara, tapi juga bayangan-bayangan di jendela dan kolong pintu. Ada yang bolak-balik di situ, dengan empat kaki, lalu menjadi dua kaki, lalu empat kaki lagi.

Lalu terdengar suara ketukan--lebih tepatnya gedoran pintu. Bertubi-tubi. Semakin keras, semakin brutal. Ningrum menjerit, ia merasa dirinya akan menjadi gila saat itu juga.

"Ning!" teriak suara di balik pintu itu. "Kenapa dikunci!"

Butuh waktu satu menit bagi Ningrum untuk menyadari bahwa itu adalah suara Dimas. Ia segera berjalan ke arah pintu, memutar kuncinya dengan perlahan, tapi tidak segera membukanya. Siapa tahu suara itu hanya tipuan? Mungkin makhluk itu bisa meniru suara Dimas untuk memancingnya membukakan pintu? Ia sudah bisa membayangkan mata merah dan moncong anjing yang mengintip dari sela-sela pintu.

Saat pintu itu ia buka sedikit, sebuah tenaga yang lebih besar darinya mendorong pintu, membuat ia hampir saja terlempar. Namun Ningrum merasa lega ketika yang muncul dari celah pintu itu adalah kepala Dimas. Bukan dengan wajah penuh amarah, tapi wajah penuh kekhawatiran.

"Kamu kenapa teriak-teriak? Ada apa, Ning? Kamu enggak apa-apa?" tanyanya sambil mengusap kepala Ningrum.

Ningrum tidak kuasa menahan tangis histeris. Ia menjatuhkan diri di pelukan suaminya, dan untuk pertama kalinya ia merasakan kenyamanan dan kehangatan dari tubuh seorang lelaki.

Di antara deraian air mata, ia menceritakan semua kejadian, suara-suara, dan penampakan yang ia alami; juga tentang cerita tamu terakhir yang pernah ia dengar dan selalu menghantuinya sejak pernikahan. Mendengar cerita itu, Dimas hanya tertawa. Menurutnya, Ningrum hanya berhalusinasi karena kelelahan. Ningrum tidak lantas percaya. Baginya, itu hanya kata-kata klise yang selalu diucapkan lelaki skeptis di film horor--dan biasanya terbukti salah.

Dimas kembali memeluk Ningrum dan berusaha menenangkannya. Ia membelai rambut Ningrum dan sesekali menepuk-nepuk punggungnya. Setelah pelukan itu lepas, ia memandang wajah istrinya dalam-dalam, lalu mencium bibirnya. Kali ini Ningrum berusaha untuk tidak menghindar, meski ia tak tahu bagaimana harus merespons.

Ciuman itu berlangsung hingga beberapa menit. Awalnya Ningrum terus memejamkan mata, menuruti naluri alamiahnya. Namun ketika ia akhirnya memberanikan diri membuka mata, ia menyadari sesuatu. Rupanya Dimas lupa menutup pintu kamar. Pintu itu terbuka setengah, dan di balik pintu yang gelap itu, Ningrum dapat melihat sosok yang sedang merangkak. Lalu perlahan-lahan sepasang mata bersinar dan lidah yang menjulur muncul dari balik kegelapan. Merangkak pelan, semakin lama semakin tinggi, kedua kaki depannya terangkat, dan ia mulai berdiri di atas dua kaki.

Ningrum segera menghentikan ciumannya.

"Mas, sudah dulu ya," ujar Ningrum dengan suara gemetar. Ia berusaha menghindari serangan bibir Dimas sambil menahan tubuhnya sekuat tenaga.

"Kamu kenapa, sih? Selalu nolak!" ucap Dimas tanpa menghentikan gerakannya.

"Aku kan sudah bilang tadi ... aku melihat ... ada ...."

"Omong kosong!"

"Mas!" Ningrum menjerit, entah karena ucapan suaminya atau karena melihat lelaki berkepala anjing sudah membuka lebar pintu kamarnya dan menonton mereka berdua.

"Apa jadinya kalau orang-orang tahu bahwa sampai hari ini istriku masih perawan? Hah?" ujar Dimas, "Atau kamu sebenarnya udah enggak perawan, makanya kamu takut ketahuan? Siapa? Mantanmu yang pengecut itu, ya?"

Dada Ningrum terasa sakit mendengar tuduhan itu. Di tengah teror, ia masih berusaha menjelaskan. "Sumpah, Mas. Aku belum pernah!"

"Kalau begitu kenapa kamu menghindar? Kamu tahu, nolak suami itu dosa! Kamu mau masuk neraka, Ning? Mau?" ancam Dimas sambil mendorong tubuh Ningrum ke atas kasur, lalu menahannya sekuat tenaga.

"Aku mohon. Jangan sekarang."

Manusia berkepala anjing di depan pintu sedang mengendus-endus, ekspresi wajahnya seperti sedang tersenyum lebar.

"Cinta tidak bisa menunggu," ucap Dimas.

Dimas menarik kedua paha Ningrum hingga terbuka lebar, lalu menahannya dengan kedua lututnya. Ketika Ningrum mencoba berontak, sebuah tamparan mendarat di pipinya. Lalu terdengar suara kain yang ditarik dan disobek berkali-kali, juga suara jeritan dan tangisan. Malam itu adalah malam paling menakutkan bagi Ningrum. Setiap kali ia memberanikan diri untuk membuka mata, ia akan melihat lelaki berkepala anjing itu ada di atas tubuhnya, menjadi tamu terakhir di malam pertamanya.

Tamu TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang