Kring ... Kring ... Kring ...Suara jam weker terdengar memenuhi rongga telinga gadis itu, dia sama sekali tak ingin bangun sepagi ini. Namun, teriakan dari luar membuatnya geram.
"Dinda, bangun!"
Gadis yang diteriakin justru malah menutup kepalanya menggunakan guling. Berharap agar teriakan itu tidak lagi terdengar oleh telinganya. Namun, harapannya musnah saat terdengar suara keras, seperti kayu yang dipukulkan pada pintu.
"Bangun atau mama dobrak pintunya!"
Percuma saja ancaman itu sudah terlalu basi untuk Dinda. Dia sering sekali membuat mamanya kesal bahkan sampai darah tinggi karena ulahnya.
"Dinda!" Suara teriakan itu kembali terdengar.
"Iya, aku udah bangun, Ma," sahutnya berteriak.
Sejujurnya Dinda malas sekali kalau harus bangun sepagi ini, tetapi karena dia tidak mau kalau sampai mamanya murka dan mengutuknya menjadi batu seperti film Malin Kundang. Serial paling terkenal saat dia kecil. Siapa, sih, yang tidak takut saat selesai nonton film itu? Namun, keesokan harinya tetap saja anak-anak akan kembali liar seperti babi hutan.
Dinda menyambar handuk dan langsung menuju kamar mandi. Butuh sekitar lima belas menit, Dinda sudah siap dengan seragamnya. Rok pendek sebatas lutut yang selalu membuat dirinya merasa tidak nyaman. Dia lebih senang mengenakan celana jeans dengan jaket kulit kesayangan, yang dia dapatkan ketika ulang tahunnya yang keenam belas tahun.
Dinda rapihkan rambutnya yang hanya diikat satu, seperti buntut kuda.
"Coba aja gue boleh pake celana, pasti udah bisa bergerak bebas!" gerutunya.
Dinda langsung turun ke bawah menghampiri Rina, mamanya. Dia memakai jaket kulit kesayangannya. Rina sudah menunggu dan duduk manis di meja makan.
"Sarapan dulu!" titah Rina sambil menggerakkan dagunya ke arah roti yang sudah tersaji di depan Dinda.
"Kamu tuh anak cewek, berhenti manjat pagar sekolah! Mama malu deh punya anak cewek, tapi kelakuannya kayak preman pasar!"
Dinda sudah sering mendengar Rina berbicara begitu. Namun, hanya masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri. Begitulah Dinda, selalu melakukan apa yang menurutnya ingin dilakukan.
"Udahlah, Ma, aku berangkat, ya." Dinda langsung mencium tangan mamanya dan nyelonong gitu aja. Dia menuju garasi rumahnya dan mengeluarkan motor sport tipe yang di produksi oleh Yamaha seri R1 M.
Dinda memang salah satu cewek pecinta motor gede. Bahkan tak jarang dirinya mengikuti balapan bersama teman-teman cowoknya. Dinda cewek tomboy, tetapi dia masih suka pada lawan jenis, kok. Namun, akhir-akhir ini Dinda lebih memilih ingin sendiri dulu. Bukan karena tidak ada yang mau, tetapi Dinda merasa risi jika kehidupannya diatur oleh orang yang menyandang status sebagai pacarnya.
Sementara Rina hanya memperhatikan anak gadisnya mengendarai motor kesayangannya itu. Sebetulnya Rina sama sekali tak menyetujui suaminya untuk membelikan motor itu, tetapi karena pada saat itu Dinda nangis dan mengancam akan mogok makan.
"Kalau nggak dibeliin motor itu, Dinda akan mogok makan setahun!" rengek Dinda saat mereka sudah berada di showroom. Maka dari itu, mau tidak mau Rudi-papanya, membelikan motor itu untuk Dinda.
"Kamu anak cewek masa mau naik motor begituan." Rina justru sangat tidak menyetujuinya.
"Gapapa, Ma, daripada Dinda mogok makan, terus badannya jadi kurus kayak triplek, Mama mau?" Rudi tentu saja berada di pihak Dinda saat itu. Wanita itu menggeleng dan senyum kemenangan pun mengembang di wajah Dinda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dinda dan Dito
Подростковая литература[Tahap revisi] Genre : Teenfiction+comedy Cerita ini bukan tentang bad girl dan ketos, bukan juga tentang si cupu dan si famous, apalagi tentang cewek cerewet dan cowok sedingin kutub Utara. Ini kisah antara Dinda dan Dito. Dua anak manusia yang sal...