🐨 DINTO - Seventeen

194 29 3
                                    

Dito masih terus berjalan menyusuri koridor. Bel pulang sudah berbunyi sejak lima belas menit yang lalu. Namun, Dito belum juga melihat keberadaan Dinda.

"Lihat Dinda nggak?" tanyanya pada beberapa siswi yang sedang duduk di koridor.

"Nggak," dua siswi itu menggeleng dengan cepat.

Dito melangkahkan kaki ke kelas Dinda.

"Din, ada Dito tuh! Ciee," ledek Wulan-yang notabenenya adalah teman sebangkuDimda-sembari menyenggol lengan Dinda.

Sementara yang disenggol hanya berdecak sebal karena selalu menjadi bahan olok-olokan ketika dirinya sedang bersama Dito.

"Ngapain lo kesini?" tanyanya dengan sarkas, wajahnya jangan ditanyakan lagi, persis seperti singa betina yang sedang menjaga anaknya.

"Kata tante Rina, 'kamu suruh langsung pulang'," kata Dito.

Wajahnya menunduk, dia memang sedikit takut untuk menatap wajah Dinda. Bagaimana tidak, gadis itu kalau sudah marah, ngamuknya bisa ngerobohin gedung sekolah tiga lantai ini. Lagipula Dinda pernah bilang, kalau di sekolah dia tidak ingin banyak berurusan dengan Dito.

"Guys, gue cabut dulu, ya. Panggilan bidadari surga nggak boleh disepelekan," ungkapnya seperti guru agama saat menerangkan pelajaran. "Yuk, cabut!" seru Dinda sambil menggandeng tangan Dito.

Kelakuan Dinda memang aneh, bentar-bentar baik, tapi kadang juga galak banget kayak tadi pagi, saat dirinya menendang Dito sampai hidungnya berdarah.

"Ciah, bidadari surga," cibir Deni dan Iwan kompak.

Dinda sudah teramat sering melukai Dito, bahkan sewaktu mereka masih duduk di bangku sekolah dasar. Dinda pernah menjerat kaki Dito dengan benang layangan, sehingga membuat kaki Dito berdarah. Namun, orang tua mereka sudah mengerti satu sama lain. Jadi tidak terlalu menghukum anak-anaknya dengan kekerasan juga.

Apalagi Raka, abangnya Dito. Dia adalah orang yang paling setuju saat Dinda menjahili adiknya. Pasalnya Raka hanya ingin adiknya seperti seorang lelaki pada umumnya, tidak lembek. Namun, semua itu hanya omong kosong. Sebagai seorang kakak tentu saja akan tertawa paling keras saat mengetahui adiknya dijahili oleh temannya. Namun, tak menutup kemungkinan kalau Raka adalah orang yang paling sedih, ketika tahu Dito sakit.

"Lo disuruh pulang bareng gue kan?" tanya Dinda.

Cowok itu hanya menganggukkan kepala. Kini Dinda meraih helm dan jaketnya lalu naik ke atas motor kesayangannya. Saat naik motor itu di jalan, Dinda merasa bahwa dirinya sedang berada di atas singa yang sedang lapar, apa pun akan terus dia terobos tanpa mempedulikan hal lain.

"Kita mau kemana?" tanyanya menghentikan tangan Dinda yang akan mulai menyalakan motornya. Dinda hanya diam menunggu Dito kembali bicara. "Kata Tante Rina, suruh ke villa," sambungnya.

"Ya udah, ayo. Cepetan naik!" bentak Dinda. Seketika tubuh Dito mengerjap karena kaget dengan suara bentakan barusan.

Semilir angin menerpa kaki Dinda, inilah hal yang paling dia tidak sukai. Saat pakai seragam sekolah lalu duduk di atas motor, kakinya terbuka. Kalau cowok, sih, enak pakai celana, pikir dinda.

Dinda selalu membayangkan kalau saja dirinya menjadi cowok, dia sudah berniat akan ikut tim futsal kompleks, bersama Raka.

"Dinda pelan-pelan. Takut jatuh!" teriak Dito, yang lebih mendominasi suara embusan angin yang menyelinap memenuhi rongga telinganya.

"Pegangan!" Dinda memperingati.

Tak lama cowok yang duduk di boncengan motornya pun melingkarkan tangannya di pinggang Dinda. Gadis yang sedang fokus meliukkan setir itu melirik tangan yang memeluknya dari belakang dan sesekali menggelengkan kepala.

Dinda dan DitoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang