Prolog

69.7K 2.6K 27
                                    

Mataku membulat sempurna dengan raut wajah yang penuh ketakutan. Bayangan mengenai masa lalu kami langsung terputar bagaikan rekaman jernih dari kaset kuno, membuatku spontan memundurkan langkah ke belakang agar dapat menjauhi pria yang tengah menatap diriku dengan tatapan intimidasinya--- tatapan yang masih sulit aku lupakan seumur hidup.

Padahal selama lima tahun ini aku sudah berhasil menjauhinya dan berhasil hidup tenang tanpanya.

Tapi mengapa malah sekarang...

"Aku kira kamu sudah melupakanku." Pria yang menjadi sumber ketakutanku beranjak dari singgasananya, menuju ke arahku yang kini berhenti memundurkan langkah karena terhalang tembok.

"Tetapi melihat antusiasmu, aku rasa kamu masih tetap mengingat siapa aku sebenarnya."

Takut, aku sangat takut di saat dirinya sudah berada di hadapanku.

Tubuhnya tercondong ke depan, mensejajarkan tinggi tubuhnya dengan tinggi tubuhku yang lebih pendek darinya.

Kemudian, tanpa aku duga tangannya sudah menyentuh daguku, memaksaku melihat wajahnya.

"Masih ingin mencoba kabur, Rara?"

Aku meringis, bukan karena sakit namun karena otakku sedang menyalakan alarm bahaya yang mengisyaratkan bahwa aku harus kabur sekarang.

Tengkukku kini bahkan merinding akibat ketakutan yang tengah aku alami.

"Are you scared, Rara?"

"My Rara, answer me... Are you scared?" tanyanya kembali saat menyadari tidak ada satu patah kalimat pun yang keluar dari mulutku.

Suara rendahnya begitu lembut terdengar, berbanding balik dengan ucapannya yang sedang menekanku.

Aku memejamkan mataku sesaat, berusaha menenangkan pikiranku agar tidak terpaku pada ketakutan yang aku alami.

Kegiatan ini sering aku lakukan jika aku tengah dilanda kecemasan dan juga ketakutan seperti sekarang.

Kuat, aku harus kuat.

Aku bukan lagi Rara yang lemah.

Setelah beberapa detik waktu berlalu, aku membuka kedua mataku dan berucap, "Tuan Rafa Uvano, bukankah seharusnya anda harus menjaga jarak mengingat kita baru pertama kali bertemu?"

Aku berkata demikian sembari menatap tajam ke arah Rafa yang kini menyeringai seolah tengah menikmati perubahan emosiku.

"Pertama kali bertemu? Are you kidding me?"

Kepalaku mengangguk pasti. Mengabaikan dirinya aku langsung menyingkirkan tangannya yang menyentuh daguku lalu bergegas melangkah maju pada sisi tubuhnya yang kosong.

Tujuanku yang paling utama adalah duduk di depan meja kerjanya dan membicarakan apa yang sepatutnya harus kami bahas.

Tidak seperti yang aku duga, Rafa malah melangkahkan kakinya kembali ke kursi kerja dan duduk di sana, menghadap ke arahku yang masih menampilkan aura permusuhan kepadanya.

Padahal dalam bayanganku, Rafa pasti akan murka atas perlawananku barusan.

Tetapi yang aku lihat sekarang, pria itu tampak tenang.

"Bisakah aku menganggap pertemuan kita sebagai takdir?"

Aku menaikkan sebelah alisku setelah mendengar pertanyaan Rafa.

"Dan bisakah kamu menganggap pertemuan kali ini adalah pertemuan terakhir kita?"

Aku tersenyum remeh kepadanya sebelum melanjutkan ucapanku.

"Lagipula, sejauh mana takdir mempermainkan kehidupan kita, pada akhirnya tidak akan lagi ada harapan semuanya bisa kembali seperti semula."

Suara deheman keras keluar dari mulutku saat dia berusaha mulai membuka suara. Karena nyatanya aku yakin dia akan menentang apa yang aku katakan barusan.

"Bukankah seharusnya kita fokus pada pembicaraan yang harusnya harus dibicarakan sejak awal?" tanyaku.

Rafa mengatupkan bibirnya ketika dia tidak berhasil untuk mengungkapkan apa yang dia ingin ucapkan.

Senyuman sinis kini dia layangkan di kala aku mengeluarkan beberapa lembar foto ke atas meja kerjanya.

"Keponakanmu terbukti telah melakukan kekerasan kepada keponakanku," jelasku setelah menampilkan dengan jelas beberapa foto tersebut kepadanya.

Rafa tampak mengeryitkan dahi saat melihat foto yang aku berikan. Hingga sesaat setelah itu suara tawa meledak memenuhi seluruh ruangan.

"Rara Handoko, seharusnya kamu lebih mengetahui dunia para pria." Rafa mengambil satu lembar foto dan menunjukkannya kepadaku. Di sana terlihat Kevin, keponakanku yang berada di pihak korban tengah dijambak oleh Romeo, keponakan Rafa yang dikenal sebagai biang onar.

"Kekerasan kecil seperti ini kami anggap hanya sebagai gigitan serangga. Tentu saja, jika kamu memberikan bukti selain ini maka aku dengan senang hati akan mencebloskan keponakanku ke penjara." dengan gerakan yang begitu cepat, Rafa sudah menyentuh sebelah pipiku dan mengelusnya perlahan, "Mengenai kekerasan yang aku maksud seharusnya kamu mengerti karena ketika kita bersama dahulu kamu sering melihatnya."

Aku menepis sentuhannya dan langsung bangkit dari kursi. Pandangan benci aku berikan tatkala Rafa meresponku dengan seringainya yang begitu menyeramkan.

"Jangan kurang ajar!" teriakku berang sambil menunjuk ke arahnya.

Rafa menaikkan kedua bahunya sembari memasang raut wajah tidak bersalah.

"Aku berharap kalian berdua masuk ke penjara sekaligus. Jika bisa langsung masuk ke neraka!" teriakku kembali seperti orang kesetanan.

Hatiku sakit di saat dia mengungkit masa lalu kelamku. Kala aku hanya bisa terdiam tanpa berbuat apapun ketika Rafa melakukan tindakan di luar batas dengan menyakiti orang yang pria itu tidak sukai.

Kepalaku nyeri di saat kemarahanku mulai meledak-ledak, membuatku tanpa sadar menyentuh dahi dan menekannya perlahan.

"Aku rasa ini adalah pembicaraan terakhir kita. Mengenai kasus yang menimpa keponakan kita, segala urusannya aku limpahkan kepada pengacara."

Setelah mengatakan demikian aku bergegas pergi meninggalkan Rafa yang menatapku dengan pandangan tajamnya--- seolah pria itu tidak menyukai perkataan yang aku lontarkan barusan.

Saat menutup pintu ruangannya, tubuhku langsung roboh. Aku terduduk di lantai sembari menyandarkan diri pada tembok.

Tenagaku terkuras habis dan sekarang aku berada di titik terlemahku.

Padahal kami baru bercengkrama kurang dari setengah jam. Tetapi mengapa aku merasa bahwa aku baru saja menghadapi monster level akhir selama berjam-jam?

Lihatlah, bahkan kedua tanganku bergetar sekarang.

Sungguh, intensitas Rafa tidak dapat kupermainkan sama sekali.

Tadinya aku menganggap remeh pertemuan kami karena yakin aku tidak lagi merasa takut kepadanya.

Tetapi sialannya malah keadaan berbanding balik, berbeda dari apa yang aku ekspetasikan.

Aku menggeleng cepat, meneguhkan diriku agar tidak terlalu goyah dengan ketakutan yang terus membayangiku.

Karena mulai hari ini aku akan terus mengibarkan bendera perang terhadap tunanganku--- ralat...

Lebih tepatnya mantan tunanganku.

Coming Soon


BreakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang