"Brownies kukus coklatnya satu mbak."
Aku menerima bungkusan berisi makanan yang aku inginkan dari penjaga kasir setelah beberapa menit menunggu. Aroma harum coklat yang baru saja dipanggang menyeruak, membuat aku yang mencium aromanya tidak bisa menahan diri untuk tersenyum.
"Kalau mau, beli aja satu lagi."
Suara Rafa terdengar dari belakang, sontak aja akibatnya aku tanpa dengan mendengus.
"Lagi diet," balasku singkat.
Setelah menyerahkan bayaran aku berbalik badan hingga akhirnya aku bisa melihat Rafa yang berdiri di belakangku barusan.
Setelah melihat Rafa aku tanpa sengaja melirik ke samping.
Dari jarak satu meter aku bisa melihat paparazi tengah memotret kami.
"Kamu yang suruh?" tanyaku--- lebih ke arah menghardiknya ketika kami telah keluar dari toko.
Rafa menggelengkan kepalanya, dia kemudian membukakan pintu mobil untukku.
"Berita tentang hubungan kita kembali sudah tersebar sejak kamu memilih pergi bersamaku keluar dari rumah sakit hari ini," jelas Rafa setelah selesai masuk ke dalam mobil dan memasang sabuk pengamannya.
Aku menghela nafas frustasi.
Segabut itukah orang-orang sampai sibuk dengan urusan yang tidak ada sangkut pautnya dengan kehidupan mereka?
Tepat di kala mobil mulai dijalankan oleh Rafa tanpa kuduga keringat dingin lantas membanjiri tengkukku.
Aku menatap langsung ke arah Rafa sembari lengannya aku sentuh.
"Kayaknya gak cukup brownies deh, martabak manis gimana?"
Rafa menoleh sebentar hingga kemudian kembali fokus ke arah jalan.
"Gak perlu, kalau kebanyakan makan manis diabetes mama bisa kambuh."
Aku menurunkan sentuhanku, dengan tampang lesu aku menyenderkan punggungku pada kursi.
Sungguh, aku belum siap bertemu dengan orang tua Rafa, karena itulah aku mencari banyak alasan agar aku tidak secepatnya bertemu dengan mereka.
Beberapa detik kemudian, otakku terlintas ide lain. Aku dengan sumringan kembali menatap Rafa.
"Kopi gimana? Papa kan suka kopi."
Untung saja aku masih mengingat kesukaan mantan calon mertuaku.
"Kopi?" tanya Rafa memastikan hingga setelahnya pria itu tersenyum, yang artinya dia setuju dengan usulanku.
"Kalau gitu kita beli di tempat bias..."
"Tempat biasa itu udah biasa Raf." Aku melipatkan kedua tangan di bawah dada.
Dengan seringaian licik--- entah Rafa menyadarinya atau tidak, aku melanjutkan ucapanku. "Aku punya tempat yang favorit untuk cari kopi yang bagus dan pastinya papa tidak akan kecewa setelah mencobanya."
Rafa mengangguk mengiyakan yang pada akhirnya membuatku bisa bernafas lega walaupun sesaat.
Santai, aku menikmati udara AC mobil sembari menunggu Rafa melajukan mobilnya ke tempat yang aku mau.
------
Beberapa kantong belanjaan dan juga kresek hampir memenuhi bagasi mobil Rafa. Aku berada di depan barang-barang tersebut yang kini tengah dikeluarkan kembali oleh Rafa mengingat kami telah sampai di rumah orangtuanya hanya dapat tersenyum bahagia mengingat bagaimana perjuanganku hari ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Break
RomanceRara terpaksa harus kembali menghadapi Rafa Uvano terkait kasus kekerasan yang melibatkan kedua keponakan mereka. Merelakan pelariannya selama lima tahun ini, dia berusaha agar tidak goyah terhadap mantan tunangannya yang dia anggap sebagai monster...