chapter 1

114 27 4
                                    

𝙤𝙗𝙤𝙧 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙢𝙚𝙣𝙮𝙖𝙡𝙖.

Gelapnya malam menjadi teman sepi diantara keheningan mereka. Tak ada yang berucap dan tak ada yang membalas. Mungkin, saling merantai kisah masa lampau atau hanya sekadar kebingungan mencari topik untuk dibicarakan.

Gadis itu masih belum bisa mengalihkan tatapannya dari mata sang lelaki yang tak risih ditatap, membiarkan si gadis menjelajahi matanya yang tenggelam dalam kekelaman dunia. 

"Bolehkah obornya dinyalakan?" Tanya gadis itu hati-hati. Si lelaki tidak menjawab, ia berdiri, menggerakkan kedua kakinya, dan berjalan menuju obor terdekat, mengayunkan tongkat sehingga obornya menyala

Namun, lelaki itu tetap berjalan menuju asramanya, meninggalkan si gadis berambut pirang itu terduduk sendiri dengan cahaya obor.

"Pureblood," Suaranya terdengar lebih baik dari awal mereka bicara, terdapat rasa di nadanya walau hanya satu kata. Gadis itu tersenyum kecil mendengarnya, kemudian pergi ke menara asramanya.

Obor itu masih menyala disana sampai pagi, tidak ada yang mematikan obor itu, walaupun sudah tidak berguna karena matahari sudah datang.

--

𝙥𝙚𝙧𝙩𝙖𝙝𝙖𝙣𝙖𝙣 𝙩𝙚𝙧𝙝𝙖𝙙𝙖𝙥 𝙞𝙡𝙢𝙪 𝙝𝙞𝙩𝙖𝙢

Gadis itu melihat daftar kelasnya tanpa semangat, awal kelasnya selalu sama, tidak pernah berubah. Pertahanan Terhadap Ilmu Hitam, membosankan. Untung saja, Hogwarts suka sekali mengganti guru PTIH mereka.

Nama professor baru mereka adalah Alastor Moody, gadis itu tau siapa guru baru mereka, auror terkenal. Penangkap yang orang-orang yang jahat, gadis itu terkekeh kecil, untung tidak semua yang jahat tertangkap, jika hal itu terjadi, bagaimana yang baik ada?

Gadis mengelengkan kepalanya, mencerna kata-katanya sendiri sok rasional tentang jahat dan baik. Hal ini mengingatnya pada lelaki itu, kapan lagi mereka bertemu? Jangan bilang jika malam saja, gadis itu ingin lihat wajahnya dengan sempurna ketika bersama sinar matahari datang.

Gadis itu berjalan dengan gontai ke kelas PTIH, sepertinya dia sedikit terlambat, hampir semua kursi telah terisi, hanya satu yang belum. Kursi paling belakang pojok kanan. Si gadis melangkah kesana, tak ada yang memperhatikannya, ini adalah keuntungan besar dari tidak dianggap. Tidak diperhatikan jika terlambat, artinya dia tidak perlu merasa malu.

"Bolehkan aku duduk disini?" Ujar si gadis pada lelaki yang duduk di kursi yang kosong, lelaki itu hanya berdeham mengiyakan. Gadis itu hapal suaranya.

Dia, lelaki yang semalam.

--
𝙠𝙪𝙩𝙪𝙠𝙖𝙣 𝙥𝙚𝙢𝙗𝙪𝙣𝙪𝙝

Tak banyak pembicara yang ada, gadis itu juga terdiam mendengar pengajaran professor Moody. Namun, ada sesuatu yang menghantuinya.

Cahaya hijau dan Avada Kedavra.

Mereka sama sekali tidak asing, gadis itu sedikit bergetar ketika Professor Moody melancarkan kutukan pembunuh, jantungnya juga berdebar kencang tanpa rasa, sesuatu yang lama kembali datang padanya memberinya ketakutan, orang-orang menamai hal itu trauma.

Gadis itu trauma dengan hal itu, dia pernah melihat di depan matanya dengan jelas bagaimana hal itu terjadi.

Menakutkan, seperti terjun dari ketinggian tanpa tau dimana dasarnya berada.

Sepertinya, laki-laki di samping gadis itu tau, dia mengangkat tangannya, izin pergi ke luar dengan mengajak gadis di sebelahnya.

"Ayo,"

Professor Moody mengizinkan, mereka keluar kelas, banyak dari mereka menatap sang lelaki tanpa melihat gadis itu. Di luar lebih tenang, walaupun tak ada angin menerpa gadis itu, dia merasa lebih dingin.

"Lebih baik, kau tetap disini," Ujarnya kemudian masuk ke kelas. Si gadis kembali tersenyum, sekarang mereka saling berucap, semoga tak lama lagi saling berbalas.

--

gwenneth.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang