chapter 2

80 21 1
                                    

𝙩𝙚𝙣𝙩𝙖𝙣𝙜 𝙝𝙤𝙜𝙬𝙖𝙧𝙩𝙨

Dia bersembunyi di balik keras wajahnya. Meringkuk pedih dalam kesenyapan hujan. Tak peduli dengan riuh yang saling beradu di megahnya kastil sekolah.

Hogwarts. Memang selalu megah, menurutnya, tak ada tandingannya. Ibunya selalu berkata seperti itu, hal itu juga yang membuatnya menginjakkan kakinya di tempat ini.

"Hogwarts adalah sekolah yang bagus untukmu, Theo,"

Sangat bagus, saking bagusnya, mereka membiarkan para mudblood ikut bersekolah disini. Payah, hanya mencemarkan keluarga murni seperti dirinya. Itu kata ayahnya yang menentang keras keinginan ibunya.
Tapi dulu lelaki kecil itu menuruti anjuran ibunya sehingga dia berada di sini, sampai saat ini. Melihat orang-orang bodoh bertepuk tangan ketika si kembar mencoba ramuannya. Sedikit menyesal dia memilih ibunya.

Memang bodoh. Darah pengkhianat. Si lelaki mendecih kecil, matanya tak sengaja jatuh ke gadis yang tadi ia tolong, ia mengeleng kecil. Mengingat kejadian di kelas PTIH, bisa-bisanya dia membantu Mudblood itu, bukan hanya itu, kejadian di Dungeon juga sangat menggelikan, menyalakan obor untuk gadis itu? Idiot.

Gadis itu ikut antusias, tak berhenti menjulurkan kedua jempolnya untuk Weasley Twins. Decakan terdengar dari mulutnya, sangat lucu, Mudblood mendukung Pengkhianat.

Tanpa disangka, mata mereka bertemu, si gadis tersenyum dengan manis ke arahnya. Mereka saling bertatap, sampai pada akhirnya si lelaki itu menyinggungkan senyumnya.

---

𝙨𝙖𝙡𝙞𝙣𝙜 𝙗𝙚𝙧𝙗𝙖𝙡𝙖𝙨

Keadaan masih sama, malah sekarang menjadi sangat bising satu sama lain. Mereka berbincang mengenai pemenang Hogwarts.

"Juara dari Durmstang adalah Viktor Krum," Belum selesai pemilihan juara, si lelaki beranjak dari tempatnya duduk. Semua orang hanya fokus pada satu titik, kemeriahan turnames triwizard sehingga tak ada mata yang memperhatikannya keluar.

Kakinya melangkah ke Menara Astronomi. Sangat sepi, tak ada suara bergelora seperti di Great Hall. Dia mengusap wajahnya kasar, bagaimana bisa dia tersenyum pada gadis itu. Menyebalkan. Otaknya tidak bisa diajak kerjasama. Cukup lama keheningan menemani lelaki itu.

"Kau tidak penarasan siapa yang juara dari Hogwarts?" Lelaki itu terkejut mendengar suara yang tak asing baginya. Gadis itu lagi. Mengapa harus sekarang mereka bertemu, dia belum siap.

"Tidak," Jawabnya singkat.

"Diggory, seeker quidditch Hufflepuff dan Potter,"

"Sudah kubilang aku tidak penasaran,"

"Menurutmu, kenapa ya Potter bisa masuk, padahal dia belum berumur 17,"

"Tidak tau dan tidak peduli,"

"Seharusnya ada Ravenclaw disana,"

"Tidak, seharusnya Slytherin,"

Angin malam menjadi saksi bisu ke-saling-berbalasan mereka. Saling unjuk unggul asrama masing-masing, menerka Potter yang bisa juara, sampai kenapa rambut gadis itu pirang.

Tak ada yang penting. Tak ada yang bermakna. Tak ada yang substansial. Hanya, lelaki itu tak lagi menunjukkan matanya kosong, dia lebih hidup.

---

𝙜𝙞𝙡𝙖

Manik abu terlihat sangat jernih, dia tak bisa berhenti tersenyum kecil saat turun dari menara astronomi, dia juga tidak tau apa yang ia rasakan.

Nyaman.

Mungkin itu kata cocok disandingkan ketika dirinya bersama gadis itu. Si lelaki mengeleng. Belum sehari dia mengejek darah kotor milik gadis itu, tadi dia sudah bercengkrama hangat dengannya.

"Kemana saja kau, mate?" Tanya temannya yang berambut pirang. Rambut mereka mirip, sama-sama pirang. Lelaki itu kembali tersenyum kecil.

"Astaga! Kau memang sudah gila, Theo!" Ujarnya temannya itu bergidik ngeri melihat kelakuan si lelaki. Tersenyum sendiri, lebih parah lagi kalau senyum itu untuknya.

"Aku masih tertarik dengan perempuan, Draco," Balas si lelaki dan memasuki common room asrama mereka.

"Kau belum menjawab pertanyaanku, dari mana kau tadi? Kau tau ti-"

Draco belum selesai berbicara, lelaki itu sudah menyelanya. "Tau, pasti Potter," Jawabnya cepat, sedikit kesal dengan lelaki ini, sepertinya semua yang dilakukan Potter adalah salah, Potter bernapas juga salah menurutnya.

"Bagai-" Lelaki itu langsung menyela pertanyaan Draco lagi, tak membiarkan Draco berbicara.

"Tidak tau, tanyakan saja pada Potter,"
Lelaki itu menaiki pualam tangga ke kamarnya. Pertanyaan yang diajukan Draco dan gadis itu sama.  Lelaki itu kembali mengeleng sambil tersenyum, lagi-lagi dia. Mengapa gadis itu selalu ada dalam otaknya akhir-akhir ini?

"Kau gila! Mate!" Teriak Draco geli melihat kelakuan temannya.

"Ak-

"Tidak, jangan dekati aku! Aku masih ingin menikah dengan perempuan," Sela Draco sambil berlari kecil, meninggalkan temannya yang gila itu.

---

hai, vie balik. sengaja mau lanjutin cerita ini lagi!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 11, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

gwenneth.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang