Epilog

48 15 12
                                    

Mungkin sekitar dua minggu berlalu sudah sejak perpisahan dengan Ligri. Benar-benar meresahkan, dia tergesa-gesa pergi seperti wanita karier yang akan meninggalkan anak semata wayangnya di rumah sendirian. Tidak apa, aku justru mulai menyukai kerja di sini.

Fasilitas Komodo Corp sungguh luar biasa. Di lantai dua ini ada banyak sekali sarana yang mendukung hidup, di antaranya pakaian yang modelnya kusukai karena unik, makanan enak dan barang-barang canggih yang datang dari pengantar nan naik helikopter--ada helipad di atap bangunan belakang--sayangnya aku tidak boleh keluar untuk sekadar menyapanya.

Berkat Buku Panduan dan Buku Bantuan pula--yang perbedaannya akhirnya bisa kupahami--aku berhasil mengoperasikan fasilitas ini dengan baik. Seperti kata Ligri, tugasku hanyalah mengawasi jalannya penelitian dari subjek tes 1-3-6, seorang gadis yang mungkin pelajar yang akunya sukarela dijadikan bahan percobaan. Ternyata letak bilik betonnya tepat di sebelah ruang kerjaku, disekat oleh dinding tebal. Kali ini cat biliknya bukan kelabu, melainkan oranye kekuningan semacam warna cahaya matahari terbit.

Aku putuskan menamai gadis itu Tuganam, dari ejaan tiap angka. Meski kurang feminin dan malah condong ke maskulin. Tuganam sangat patuh dan cepat belajar. Saat ini kuberikan perintah lewat pelantang, tentang ajar membaca. Suara pria sonik pun terdengar menggema, lalu dari layar rekaman langsung kamera pengawas, Tuganam bergegas melaksanakan.

Waktu istirahatku tak lain tak bukan masa Tuganam tidur. Aku biasanya turun ke lantai pertama pakai elevator, kemudian jalan-jalan mengelilingi lorong per lorong dipandu peta yang diberikan khusus bagi supervisor. Memang benar bangunan ini bentuknya pentagon, dan lorong-lorong di dalamnya memutar, tampak bagaikan spiral.

Di saat hening seperti ini, aku tiba-tiba merindukan Ligri. Bagaimanakah nasib wanita itu di dunia luar sana? Dunia luar yang biasa dia ceritakan. Apakah akan sama sesuai ekspektasinya? Doa demi doa selalu terlantunkan dariku tiap malam berkunjung.

Dari sekian banyaknya alat, mesin, tombol-tombol, aku tidak ada masalah. Sayangnya aku belum dapat izin akses informasi lebih dalam mengenai Komodo Corp. Tentang manusia komodo naga, proses penelitiannya, tujuan utamanya, dan siapa yang mengawasi tiap-tiapnya. Aku benar-benar tak ada petunjuk.

Ini sudah lewat sebulan. Ada yang aneh dengan kondisi Tuganam. Katanya dia sakit, tetapi dari hasil pemeriksaan biosensor, negatif ada indikasi. Gejala gadis itu ialah sering melamun, lebih lambat merespons, hilang kesadaran jika capai. Aku sudah mengonsultasikan ke pengawas lain via obrolan grup, tetapi tidak ada yang menjawab. Dari catatan lama pun, nihil bantuan. Maka yang bisa kulakukan hanya menunggu dan berharap dia segera baikan.

Sepertinya delapan minggu telah berjalan. Tidak ada masalah di fasilitas ini, jika aku boleh bilang. Tuganam pun tampak sehat baik fisik maupun mental. Kecuali satu keresahan bagiku yakni pekerjaan mengawasi yang sangat membosankan dan banyak memberi tekanan. Tiba-tiba aku terkena ansietas.

Lalu, muncul satu ide cerdas.

Untung tidak ketahuan. Aku melirik sebuah karya luar biasa di satu sisi tembok yang terlihat piksel dari tempat duduk kerjaku. Kuhampiri bagian itu, lalu mendekatkan kepala. Kuajak bicara.

"Hai, selamat pagi! Hari yang cerah, ya!"

Terdengar balasan yang ragu dari seberang tembok. "Ah, selamat pagi juga ...."

"Namaku Ligro, salam kenal!" Kuulas senyum, berharap nada ceria tersampaikan.

"Salam kenal ...."

Dia terlihat hilang ragu. Aku pun memantapkan hati. Ini ialah tindakan yang berisiko, tetapi aku tak bakal mundur. Ada sekian banyak obrolan yang ingin kuutarakan, dan pastinya harus start dari:

"Siapakah namamu?"

Sentient LigriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang