[God will always protect my soul.]
###
“Pagi selamat! Ya cerah hari ini, aktivitas saatnya memulai—”
Aku merutuk sentimen dalam hati. Wanita sonik dari pelantang di pojok plafon terdengar lagi. Dari kata-kata yang terucap tak beratur itu, dapat kutebak bahwa hari sudah beralih. Maka saatnya bangkit tidur, menjalankan aktivitas jemu dari inisiasi sampai terminalnya waktu.
Ruangan bersarangku ini tersekat dinding kelabu lapis beton yang bisa saja membuat napas tersekat bagi pengidap fobia tempat sempit. Langit-langit berupa asbes dicat putih dengan lampu-lampu neon menyala terang-terang laras di tiap pinggirnya. Sedangkan, lantai terbuat dari emas biru, terdapat lubang mungil bertutup pori di pusat yang kadang menguar senyawa organik volatil mirip bau bawang—yang tidak sampai membuatku ingin makan bawang.
Sebelum menuju tengah bilik, kucek sekali lagi meja batu tinggi yang menempel pada pinggir tembok—biasa kupakai sebagai ranjang tidur—kemudian mulai bergerak karena menemukan hal nan ordiner. Lepas berdiri tegap di senter, aku mendongak guna perhatikan sinar putih merupa layar persegi besar yang terefleksikan ke dinding hadap, juga mencermati pelantang di penjuru plafon.
“Perintah Nomor 4321. Latihan membaca.”
Singkat, padat, jelas. Perkataan itu langsung disusul layar yang diisi barisan kata-kata beserta sejumlah gambar adiwarna di atasnya. Aku memperhatikan salah satu tulisan berwujud anjing dengan tulisan “anjing”, lantas coba mengeja penuh hayat.
“A-n-j-i-n-g, an-jing, anjing.” Guk-guk? Tambahan terakhir niatnya untuk bercumbu saja. Semoga tidak membuat murka si wanita sonik.
Tentu saja tidak mungkin tidak. Muncul serangkaian kalimat bernada geram, “tolong lakukan dengan serius” di layar. Tampilan layar sempat memendar merah lalu normal kembali. Karena aku takut makin menjadi atau nanti tidak dapat jatah tiwul meses, kuniati melafalkan semua kata dengan baik dan benar.
“Kerja bagus untuk hari ini.” Layar berubah jadi putih seperti awal.
Aku berseru dalam hati. Konteks “bagus” artinya hari ini bakal dapat makanan enak. Biasanya tiwul meses porsi besar yang mengenyangkan dan tentu mengatasi perut keroncongan. Aku tidak tahu, mengapa namanya seperti itu? Seingatku tidak ada kata ‘tiwul’ dalam kamusku—bisa saja penganan tradisional? Entahlah, sejujurnya si wanita soniklah yang menamainya.
“Tiwul meses.”
Bersamaan dengan itu, terdengar bunyi benda menggelinding, seketika dari atas—yang entah dari mana tepatnya?—jatuh sepotong kue kering dengan tatal cokelat, ukurannya jumbo selebar telapak tanganku. Segera kupungut kudapan kaya serat tersebut dan kumakan dengan lahap, kunyahan menghasilkan suara ‘krenyes-krenyes’. Langsung lambung pun dibuat penuh padahal sekadar tiwul meses belaka, barangkali karena adisi nutrisi kompleks yang dikandungnya.
Kuusahkan tidak heran dengan segala kepelikan yang kadang kurang rasional ini, karena aku diwajibkan menuruti semua suruh, walau permintaannya aneh-aneh.
Aku masih ingat kala pertama kali siuman di sini dan langsung mendapat suruh. Tentang perintah untuk menjawab kuesioner yang diberikan. Cara membalasnya, aku diminta menggeleng sebagai “ya” atau mengangguk sebagai “tidak”. Aku bingung. Padahal itu terbalik, tetapi aku tak bisa protes. Mungkin saja tujuannya untuk membuat pusing belaka. Ya sudah, aku manut.
Pertanyaan kesatu, “Apakah kamu sadar bahwa tubuhmu ada?”
Aku menganggut.
Pertanyaan kedua, “Apakah kamu ingat siapa dirimu?”
Aku menganggut.
Pertanyaan ketiga, “Apakah kamu merasa akan senang berada di sini?”
Aku menggeleng.
Sret!
“Tiwul meses.”
***
Puas sarapan, sekarang aku merasa sangat lelah dan renyah. Aku harap bisa tidur, mengistirahatkan tubuhku. Akan tetapi, layar di hadapan berganti, kini menampilkan perintah dengan tahap demi tahapan merupa gambar bersambung. Tertera “push-up” sebagai judul.
Aku tak mengerti apa maksudnya, tetapi perkataan yang muncul mau tak mau terpaksa membuatku melakukannya. “Perintah Nomor 4322. Lakukan push-up dengan tahapan posisi sesuai gambar.”
Rasanya hampir kolaps tubuhku ini. Kuamati satu demi satu gambar. Gambar pertama menunjukkan siluet pria dengan posisi badan menelungkup dan kedua lengan melipat di samping. Gambar kedua memperlihatkan siluet pria yang mengangkat badan, sementara gambar ketiga menurunkan badan.
Sungguh sulit meniru gerakan sesuai acuan. Mulanya tubuh kutiarapkan, dengan tangan menumpu lantai semen. Kemudian aku berjuang menaikkan badan—dada, perut, tungkai—tetapi terasa sangat berat. Kucoba mendorong pakai tenaga tangan, akhirnya sedikit terangkat. Namun, aku langsung terhantar.
“Tiwul meses.”
Rupanya suruh hanya sekali. Aku pikir harus banyak. Secara, jikalau melatih tubuhku dengan gerakan tadi, bisa membuat bugar dan stamina fit. Namun, apa boleh buat, kalau saatnya berhenti, ya, berhenti. Kugapai kue kering yang habis jeblok lalu lekas kulahap. Kala mengunyah makanan, fokusku terpecah jadi dua—satu menggerakkan rahang, satu lagi overthinking. Bagaimana tidak? Tampaknya semua kehidupanku diatur di sini.
Kuharap saat tiba masanya buang hajat nanti tidak harus menunggu keluarnya perintah dahulu.
Sudahlah, aku lejar. Aktivitas seharian ini mengakibatkan tenaga terkuras habis. Lagi pula, layar kembali putih dan pelantang mengatakan bahwa, “Waktu tidur.”
Naluriku memekik tertahan. Selesai makan, aku bergerak menuju meja batu tinggi, mengambil sikap berbaring paling nyaman. Berbaring ke kanan, menghadap tembok beton abu-abu yang tampak begitu suram lagi dingin.
Ketika mata mulai terpejam serta alam sadar hampir berkelana, tiba-tiba tertangkap suara samar-samar masuk liang kuping. Segera aku bangun ke posisi selonjor lalu mencari sumber. Ternyata asalnya dari dalam tembok. Lantas kudekatkan telinga, menyelisik lebih lanjut.
“Se-la-mat ….”
Selamat? Apa baru saja orang yang mengatakannya? Aku pun menajamkan indra. Suara itu masih terdengar, sepertinya berulang-ulang, tetapi berkekuatan lemah. Tak menemukan titik terang, aku menjauhkan kepala. Kucermati lekat-lekat dinding di depan.
Ternyata ada sebuah lubang kecil di sana, mungkin diameternya selebar ruas jariku. Maka kurekatkan telinga ke liang tersebut, lantas memperoleh suara nan amat jelas. Mirip si wanita sonik, tetapi lebih halus, bernada, juga feminin.
“Halo?”
“Selamat pagi! Hari ini cerah, ya? Saatnya memulai aktivitas—”
KAMU SEDANG MEMBACA
Sentient Ligri
Mystery / ThrillerSeorang pemuda usia dua puluh tahunan menemukan dirinya terisolasi di dalam bilik beton kecil tanpa memiliki ingatan bisa berada di sana. Dia menjalani kehidupan sehari-hari dengan mematuhi pengeras suara yang memberikan perintah sederhana, seperti...