As time goes by
My attitude towards everything is whatever
I'm sick of trivial hangouts and conversations
I don't like having to live up to other people's expectations-Still Lonely, Seventeen-
***
Pertama kalinya ia menginjakkan kaki di Kota Pelajar, Yogyakarta. Meski awalnya hanya ingin mengikuti jejak dua sahabat yang resmi menjadi mahasiswa dan berkuliah di sini, agaknya ada alasan lain yang bisa ia jadikan pegangan untuk bertahan.
Hampir saja dirinya menyerah untuk hidup karena perceraian dua orang yang paling dinanti kehadirannya demi sebuah pelukan pelepas rindu. Pertengkaran di teras kala itu, ternyata menorehkan kekecewaan hingga ia tak tahu lagi hidupnya untuk apa. Sedari kecil ditinggalkan, hidup sendiri, hanya ditemani asisten dan sopir rumah bayaran kedua orang tua.
Apa enaknya jadi anak diplomat yang lebih mencintai pekerjaannya di luar negeri ketimbang anaknya yang hidup sendiri? batinnya selalu memberontak setiap ada yang mengatakan bahwa ia begitu beruntung memiliki orang tua yang mampu membiayai dalam segala hal. Tidak perlu khawatir besok makan apa karena sekali gesek, kartu hitam itu bisa menebus apa pun yang ia inginkan.
Ya, apa pun. Kecuali, kehadiran dan belaian sayang kedua orang tua.
"Hm?" Tak ada salam yang saling berbalas saat ponsel ia letakkan di telinga kanannya."Udah sampai Jogja? Mama udah telepon Ares buat jemput kamu." Suara wanita yang sedikit nyaring langsung menyambar telinga.
Lelaki bersweter biru itu mendengus. "Udah dibilangin nggak usah. Kenapa maksa sih?"
"Johan, kamu itu nggak pernah pergi jauh sendiri. Di Jogja kan ada Ares, adik kamu. Mama lebih tenang kalo-"
"Hah, adik? Sejak kapan saya punya adik?" Nada suaranya terdengar sangat sinis. "Suruh aja balik itu si... siapa tadi namanya? Ah, otak saya memang nggak mau diajak buat inget nama orang yang ngerebut keluarga saya." Ia tertawa miris. "Saya udah ada tempat tinggal. Jadi, nggak usah ikut campur lagi. Urus aja keluarga Anda yang baru."
"Mahaprana!"
Sontak jempolnya menekan tombol merah untuk memutus telepon. Jika nama depannya sudah terucap, otomatis hanya akan ada nasihat demi nasihat terlontar untuknya. Ia malas mendengar ocehan wanita yang sok tahu akan hidupnya-meski itu adalah ibunya sendiri. Hati Johan selalu memberontak dan menolak apa pun perkataan wanita itu sejak ia tahu bahwa keretakan keluarga dua tahun lalu disebabkan oleh ketidaksetiaan sang ibu pada ayahnya.
Johan kembali menatap layar ponselnya dan menekan tombol tiga. Panggilan cepat itu segera diikuti nada sambung telepon dan berbalas setelah tiga nada tunggu berbunyi.
"Assalamu'alaykum," sapa suara di ujung sana.
Senyum mengembang di wajah Johan. "Yo! Kapten Dee! Sibuk nggak nih? Traktir gua dong! Baru nyampe Jogja, nih."
"Lah, tumben! Biasanya nggak pernah ngajak-ngajak kalo nggak diajak. Pergi sama Jun aja sono!"
"Ngapain gua nelpon lu kalo bisa sama Jun. Dia ada acara sama keluarganya. Kirim alamat kosan lu, yak! Gua samperin." Tanpa menunggu jawaban dari lawan bicaranya, Johan mematikan sambungan telepon dan segera membuka aplikasi taksi online setelah mendapatkan alamat tujuan dari sahabatnya, Adeera.
***
"Buset dah, jauh-jauh ke Jogja makannya KFC lagi," celetuk Johan setelah mereka duduk di meja dekat jendela besar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Replenish ✔ [TERBIT]
General Fiction[SUDAH TERBIT] 🌸 Part Tidak Lengkap 📚 Pemesanan bisa ke: bit.ly/PesanReplenish --- "Buat apa mereka bikin dan ngelahirin gua ke dunia kalo ujungnya cuma dipasokin harta, kemewahan, terus ditinggalin gitu aja? Dikira gua bahagia makan harta doang?"...