"Jadi sebenernya siapa yang selingkuh? Papa? Mama?"
Hening meliputi teras rumah berlantai marmer itu. Kedua sosok yang sedang bertengkar lantas bertatapan dengan alis terangkat seolah saling melempar batu. Mereka lupa bahwa pertengkaran itu terjadi di ruang terbuka. Parahnya lagi, keduanya lupa—lebih tepatnya memang tidak tahu—kapan anak lelaki satu-satunya pulang.
"Kenapa diem aja? Oh, apa justru kalian berdua sama-sama selingkuh? Hah! Apa-apaan sih ini!" Cengkeraman kuat pada tali tas refleks membanting tas berisikan buku pelajaran dan baju seragam. Masih dengan jersey basket nomor sepuluh yang ia kenakan sepulang latihan basket, Johan melanjutkan interogasi pada dua orang paling berharga dalam hidupnya. Tangannya berkacak pinggang lalu mengacak-acak rambut. Ia menarik ujung bibir kanannya dan sederet gigi rapi sekilas tampak dari balik bibir pucat itu.
"Oke, kalo nggak ada yang mau ngomong!"
"Johan!" Akhirnya sang ayah buka suara saat anaknya berpaling untuk meninggalkan rumah lagi. "Ayo, kita bicarain ini baik-baik di dalam."
Kaki yang hampir melangkah itu terhenti. "Anak Papa ini, sekarang, cuma mau tau siapa yang selingkuh di antara Papa sama Mama. Udah. Nggak butuh omong-omongan lain," ujarnya dengan netra yang menyipit, menatap sinis dua sosok di depannya.
Helaan napas panjang seorang wanita terdengar, "Kami nggak selingkuh. Kami berdua mau menikah lagi dengan orang lain atas persetujuan masing-masing dan—" Kalimat sang wanita terputus saat Johan meninju tiang kuda-kuda rumah.
Johan tertawa miris. "Nggak mungkin ada asap kalo nggak ada api. Nggak mungkin tiba-tiba kalian mau nikah lagi kalo nggak ada yang mengawali perselingkuhan dan perpisahan! Orang di depan kalian ini bukan lagi anak kecil yang perlu dikasihani!" Tatapan tajam dari sang anak sukses membungkam lisan keduanya.
Johan yang sudah jengah dengan kebisuan dari orang tuanya memilih pergi. Tak ia hiraukan panggilan di belakang punggung. Dengan cepat kakinya melangkah keluar gerbang, memasuki mobil, dan membiarkan tangannya mengendalikan setir mengelilingi Kota Bogor.
Perceraian dan pernikahan ulang dengan calon masing-masing—yang didapat dari hubungan rahasia di luar ikatan pernikahan. Kondisi tidak masuk akal seperti dalam sinetron yang biasanya menjadi bahan gurauan Johan dengan kedua sahabatnya.
"Bego! Ngapain ngelahirin gua kalo ujungnya cuma jadi rebutan? Anjir! Apa-apaan! Ngapain lu pada kerja sok keren di luar negeri, duit banyak, tapi sama-sama selingkuh? Itu dua orang tua bukan sih? Dikira 17 tahun gua hidup cuma butuh harta doang gitu? Bangke semua, anjir! Astaghfirullah, kumat lagi kan gua anjir! Astaghfirullah!"
Makian terus keluar dari lisan seorang Mahaprana Johan Arrayan, meski selalu ia tutup dengan ucapan mohon ampun pada Tuhan atas kata-kata kasar yang terlafal. Tangannya terus memukul setir yang tak bersalah. Sesekali ia mengembuskan napas bersamaan dengan sebuah teriakan. Beruntung, suaranya hanya bergema di dalam mobil yang tanpa sadar sudah ia bawa ke sebuah apartemen di daerah Jalan Pajajaran. Tanpa ragu, ia parkirkan mobilnya dan menggulir daftar panggilan terkini di layar ponsel.
"Jun, gua di parkiran apartemen. Mau mati rasanya. Bisa loncat dari rooftop nggak sih?"
***
Hai! Insyaa Allah akan mulai menulis lagi satu kisah dari trio Jun-Johan-Dee dalam Replenish!
Cerita ini diikutsertakan dalam 1st Anniversary Anfight Batch 8 yang dimulai tanggal 4 April 2021 dan insyaa Allah tamat pada 4 Mei 2021.
Selamat mengikuti kisah Mahaprana Johan Arrayan 😻
KAMU SEDANG MEMBACA
Replenish ✔ [TERBIT]
Aktuelle Literatur[SUDAH TERBIT] 🌸 Part Tidak Lengkap 📚 Pemesanan bisa ke: bit.ly/PesanReplenish --- "Buat apa mereka bikin dan ngelahirin gua ke dunia kalo ujungnya cuma dipasokin harta, kemewahan, terus ditinggalin gitu aja? Dikira gua bahagia makan harta doang?"...