🏁 3

55 3 0
                                    

Pasien terakhir untuk siang ini sudah menghilang dibalik pintu, Woobin meregangkan badannya terlebih dulu sebelum kembali ke Ruang Residen yang berada di wilayah rumpun ilmu bedah bagian orthopedi. Duduk dan membuka laci untuk mengecek ponsel, ternyata sudah ada panggilan video yang masuk, dari kekasihnya, Serim. Karena di ruangan lumayan sepi, Woobin menerima panggilan video itu dan wajah Serim langsung memenuhi layar ponsel. Ia tertawa, dan segera mengambil earphone dari dalam tas, mencolokkannya ke lubang, ia pun menyapa, "Hei."

"Hai!" Suara Serim sangat antusias, dan itu membuat Woobin tak kuasa menahan senyum. "Apa aku mengganggu?"

Woobin menggeleng. "Tidak, aku baru saja selesai dari Poli. Sekarang waktunya istirahat."

Senyuman Serim di sana lebar sekali. "Mau makan apa siang ini?" Perhatiannya juga, membuat lelah Woobin terangkat seketika.

Kembali menggeleng, Woobin, "Belum ada rencana. Enaknya makan apa?"

"Bagaimana dengan nasi bumbu? Dan ayam."

"Nasi bumbu?"

"Ya, itu adalah nasi yang dibumbui berbagai macam rempah-rempah sehingga warnanya jadi kuning. Hampir setiap hari aku makan itu, belakangan ini."

Menimang-nimang saran itu, Woobin, "Kalau begitu, berarti aku harus pergi ke restoran timur tengah? Jaraknya cukup jauh dari sini, jadi, tidak."

Serim tertawa geli atas putusannya, lalu kembali bicara. "Aku bertemu dengan Jungmo. Tadi saja, baru kuantarkan pulang."

"Kau bertemu dengannya? Bagaimana bisa?" Woobin benar-benar tidak menyangka bahwa Jungmo akan mencari jalan untuk bertemu dengan Serim. Apa dia,

"Dia bilang kau sangat merindukanku."

Woobin mendesah napas lelah untuk dugaan yang ternyata adalah sebuah kenyataan, tapi bibirnya menyungging geli, Serim tahu karena kekasihnya itu hanya menutup sebagian wajah atasnya saja dengan tangan.

"Ceritanya panjang, lebih baik kau bertanya padanya. Aku hanya tahu dia ke sini untuk menonton pertandingan bersama sepupunya, dan malah berakhir di karavan Wonjin."

Pupil mata membola, mulut menganga, "Dia, apa?"

Serim hanya meresponnya dengan senyum kecil. Lalu mengalihkan topik pembicaraan. "Jadi, haruskah aku pulang sekarang juga?"

Ingatkan Woobin untuk menanyakan detail lebih jelasnya pada Jungmo nanti, sekarang, mari fokus kepada yang dirindukan. "Habis ini lanjut ke mana?"

"Portugal, untuk seri balap yang ketiga. Aku bisa pulang dulu jika kau ingin." Serim mengakhirinya dengan senyum lebar.

Woobin mendengus tawa. "Kau tidak bisa."

"Yup, betul sekali." Ia tidak bisa mangkir begitu saja dari kegiatan tim. "Tapi kita bisa meluangkan waktu lebih sering untuk tatap muka dari yang hanya dua kali seminggu." Ada jeda sebelum Serim mengucap, "I miss you."

Woobin tersenyum kecil, juga membalas, "Miss you too." Woobin lalu menimang-nimang saran yang satu itu. Mereka memang hanya berkomunikasi dua kali seminggu melalui video call, beberapa pesan pun juga dikirim tapi tidak terlalu sering. Kala Woobin membalas pesan dari Serim, pemuda itu pasti akan membacanya dua belas jam kemudian. Perbedaan waktu yang cukup jauh nyatanya bisa menjadi penghalang. "Apa tidak merepotkan? Aku tidak mau mengganggu waktu istirahatmu dan aku juga tidak mau diganggu saat sedang beristirahat."

"Makanya kirimi aku pesan lebih sering."

Woobin tertawa karena yang di seberang sana merajuk. Ia akui, jadwal kerja yang suka berubah tiba-tiba membuatnya malas untuk mengirim satu atau dua pesan singkat, lebih baik digunakan untuk beristirahat selagi ada waktu, atau membaca buku. "Ya, aku akan lebih sering mengirim pesan."

AttainableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang