Aku pernah menonton acara di salah satu stasiun tv swasta. Ada sebuah kutipan kata-kata yang menggelitik telingaku saat itu, kira-kira seperti ini bunyinya ‘Hujan turun bersama ribuan kenangan, menghantarkan dinginnya udara diiringi dengan kenangan masa lalu yang hangat.’ Jujur, awalnya aku hanya menyukai kata-kata itu. Tapi setelah ku pikir-pikir, ada benarnya juga.Saat itu pagi telah mendung, hujan pun perlahan lahan turun membasahi bumi. Berjatuhan dengan ringan membuat suasana negeri tropis ini berubah menjadi suasana negara Eropa. Aku memang sering berkhayal, dan ketika itu aku menganggap gerimis kecil adalah salju yang turun dengan apik. Perlahan ku buka jendela kamarku. Kemudian mengusap permukaan kaca yang mengembun, oh.. Betapa ku ingin menikmati semua ini dengan damai. Jika saja kalau bukan adikku yang paling menyebalkan meminta untuk diantarkan ke sekolah. Dengan gaya ala bos besar, ia berkacak pinggang sambil melototiku yang hanya memandangnya malas.
“Oke. Oke.. Kakak anterin.”
Ku ambil kunci motor matic-ku, bergegas ke luar dan langsung menuju ke pekarangan rumah di mana motorku berada. Ku lihat Deka -adik perempuanku- mendengus sebal, ku pikir dia sudah terlambat. Melihat gelagatnya yang tidak tenang membuatku berasumsi bahwa ia kesiangan hari ini. “Cepet Kak. Aku udah gak punya banyak waktu lagi.” Begitu menyebalkan wajahnya saat ini. “Iya.. Iya..”
—
Aku menerima helm yang diberikan oleh Deka. Gadis bertubuh kecil itu langsung melengos pergi tanpa susah-susah untuk memberi salam padaku. Selain menyebalkan ia juga tidak sopan. Dingin. Saat itu masih hujan, dan perjalananku pun masih cukup jauh untuk sampai di rumah. “Neduh dulu aja kali ya?” Akhirnya ku putuskan untuk meneduh di halte yang lokasinya tidak jauh dengan sekolah Deka. Aku duduk di kursi paling pinggir karena ternyata ada beberapa orang yang membawa motor meneduh juga di sini. Tidak enak juga menghabiskan banyak ruang mengingat rata-rata di sini adalah para orangtua yang menurutku habis mengantar anak-anak mereka.
Detik jam mulai terdengar mengingat di sini tidak ada yang mengeluarkan suara, semuanya hanyut dalam lamunan sambil menatap ke arah langit. Perlahan, ku ikuti arah pandang mereka, melihat bagaimana hujan turun dengan lebat namun tidak mengurangi ke indahannya. Beruntung tidak ada petir yang ikut meramaikan suasana ini, karena bisa jadi aku sudah menutup kepalaku dengan tas yang ku pinjam dari orang lain. Tiba-tiba dari arah samping kananku, terdengar seseorang melantunkan dengan lirih lagu ‘Hujan-Utopia.’ Sontak aku mengerutkan dahi, sinetron sekali. Tapi anehnya aku malah menikmati alunan lagu yang dinyanyikan oleh seseorang itu. Ya meski ku akui suaranya tidak terlalu bagus, tapi entah mengapa suaranya sangat cocok menyanyikan lagu ini. Apalagi dengan suasana seperti sekarang. Tunggu. Kalau begini siapa yang lebih sinetron?
Selalu ada cerita..
Tersimpan di hatiku..
Tentang kau dan hujan,
Tentang cinta kita yang mengalir..
Seperti air..Jantungku langsung berdegup cepat.
“Jangan hujan hujanan, nanti kamu sakit.”
“Ya kamu juga hujan hujanan kali. Tuh lihat bajunya basah. Pake jaketnya! Kenapa malah dibuka sih?”
“Dasar gak peka. Ini jaket buat kita berdua, anggep aja ini payung.”
“Ish. Tapi sama aja masih basah.”
“Ya kan so sweet sayang.”Wajahku memerah, kenapa kenangan itu hadir lagi? Sudah tiga tahun lamanya. Setelah dia pergi meninggalkanku, aku mencoba untuk merangkak perlahan untuk bangkit. Satu per satu retakan hati mulai ku perbaiki kembali. Meski tidak utuh, aku tidak apa-apa. Asalkan sakit itu hilang meski hanya untuk sekejap. Bertahun-tahun aku bertahan untuk tetap berdiri tanpa dia. Tanpa senyumnya. Tanpa kehadirannya. Tanpa semua yang berkaitan dengan dirinya. Tapi.. Mengapa hanya karena hujan dan kenangan itu muncul, hatiku yang sudah mengeras bisa luluh lantah kembali? Hanya karena kenangan? Yang benar saja. Aku mendengus, namun pikiranku masih kembali ke masa lampau dimana aku dan dia menjadi tokoh utama dalam cerita.
‘Bikinin kata-kata dong. Kamu kan pinter tuh ya ngerangkai kata-kata jadi satu puisi. Ayo dong sayang, bikinin yaa.’ Aku tersenyum. Waktu terasa berjalan lebih lambat. Kenangan itu merasuk ke dalam otakku, seakan sudah terprogram potongan demi potongan mozaik itu bersatu dan menjadi sebuah gambar hidup yang terus berputar bagai kaset rusak. Aku diam sesaat. Sebelum akhirnya menyadari bahwa… Aku merindukannya, sangat.
—
Yesterday. Ku pandangi satu kata yang baru saja ku ketik di laptop. Menatapnya kosong di kolom judul yang ku buat. Ah, sudahlah. Mengapa setiap membahas masa lalu yang membawa dia aku selalu seperti ini? “Ey. Gue bikin cerpen?” Ucapku pada diri sendiri saat menatap tulisan di laptop yang penuh dengan ceritaku satu minggu yang lalu. Ketika hujan turun dan awal dari ke-baperanku saat ini. Bicara tentang Baper, semenjak aku pulang dari halte sehabis hujan itu. Aku mulai memikirkan tentangnya hingga saat ini. Ugh andai aku bisa mengulang waktu, ingin rasanya aku tidak berteduh di halte bus itu dan tidak mengingat kenangan bersamanya yang disebabkan oleh bawaan suasana. Kalau itu tidak terjadi, mungkin aku tidak akan uring-uringan memikirkannya seperti ini.
“Kak. Ada yang nyariin tuh!” Aku mengerutkan dahi saat Deka tiba-tiba datang dan mengatakan bahwa ada yang mencariku. Siapa? Dengan penasaran, aku bangkit dari dudukku. Berjalan ke luar untuk menemui siapa yang mendatangiku malam-malam begini. “Rio?” Belum sempat aku mencapai ruang tamu, sosok itu dengan mudah ku kenali. Aku menatap tidak percaya akan apa yang ada di depanku saat ini. Baru saja aku uring-uringan memikirkannya dan sekarang dia… Ada di sini?!
“Hai, Dee..”
Aku meneguk ludah. Mataku turun melihat penampilanku yang berantakan seperti biasa, dan saat ku lihat penampilan lelaki itu. Wow. Tapi tunggu… Kemeja kotak-kotak. Celana jeans hitam. Sepatu converse. Kacamata minus. Dia orang yang bernyayi di sebelahku saat di halte?!!
KAMU SEDANG MEMBACA
I Love You Rain!!
Short Story{SEBELUM BACA FOLLOW DULU}✓ "memang benar hujan itu dirindukan, datang membawa ketenangan lalu pergi menjadi kenangan." WELCOME TO MY STORY(✿^‿^)