5

1 0 0
                                    

"Handphone buat pajangan doang, ya?"

"Aku lagi jarang buka hp, Gen," gue membuka pintu utama kost, Genta ikut masuk ke dalam. "Duduk dulu. Mau minum gak?"

"Enggak."

Buset, serem banget!

Genta tuh jarang banget marah. Mungkin selama 4 tahun ini dapat dihitung jari berapa kali ia tampak emosional berlebihan.

Genta masih mengenakan seragam kantornya. Sepertinya ia dari kantornya di Cengkareng langsung ke sini, Bintaro.

"Kamu tuh nggak tau ya aku udah mikir kamu karena kamu kenapa-napa nggak balas pesanku, nggak angkat telepon." Gue duduk tertunduk di sofa bersebelahan dengan Genta memainkan nametag.

Terdapat satu set sofa dan meja kaca di ruang tengah rumah kost ini. Biasanya anak-anak menggunakan ruang ini untuk belajar bersama temannya.

"Maaf, aku beneran lagi jarang cek hp," gue nggak bohong. Selama di kantor gue selalu meletakkan hp di dalam tas. Pergi makan siang bareng anak-anak pun nggak bawa hp.

"Sesibuk apa sih, anak PKL? Sampe nggak sempat buka hp. Aku juga pernah PKL ya, Sa. Perasaan banyakan gabut deh daripada kerjanya."

"Aku kan nggak bilang sibuk, Genta. Aku lagi jarang buka hp aja," gue sadar suara gue sedikit meninggi sekarang.

Kostan ini berisi 8 kamar. 4 lantai atas, 4 lantai bawah. 5 kamar sudah kosong sejak masa UAS semester ganjil berakhir.

Mereka pada pulang kampung. 3 sisanya adalah mahasiswa tingkat akhir termasuk gue, dan hanya satu orang yang menetap di kost selain gue karena lokasi PKLnya di daerah Kebayoran Baru dan kamarnya di lantai atas. Yang satunya lagi PKL di daerah Bandung.

Jadi gue nggak terlalu khawatir suara gue maupun Genta akan mengganggu penghuni kost.

"Aku tuh udah kuatir kamu kenapa-napa di jalan pulang, atau di KRL, eh taunya pulang bareng cowok. Siapa tuh tadi?"

"Willy, alumni Smanda juga. Temen kelompok PKL aku,"

"Bareng dia tiap hari?"

Gue mengangguk.

"Pulang-pergi?"

Gue mengangguk lagi.

"Dan aku baru tau kamu pulang-pergi bareng cowok lain setelah seminggu PKL? Hebat!"

"Kita nggak pernah permasalahin hal ginian ya, Gen!"

"Tapi aku permasalahin itu sekarang!" Suara Genta ikutan meninggi.

"Aku selalu persilakan kamu nganter temen cewekmu kapan aja. Aku nggak pernah minta kamu buat izin dulu atau sebagai macam. Kenapa kamu permasalahin ini sekarang?!" Gue membuang napas kasar lalu bangkit dari sofa, berniat ke kamar sebentar meletakkan tote bag yang masih tergantung ke bahu. Sekaligus sedikit menenangkan hati.

Jujur gue takut. Genta nggak pernah seemosi ini.

"Sini dulu!"

"Aw!" Gue sedikit berteriak saat Genta menarik lengan gue menahan agar tidak kabur.

Gue udah mau nangis. Genta kenapa seperti ini? Dia nggak pernah kasar gini. Apa cemburu bikin dia berubah?

"Dia tuh lagi modusin kamu, Sa! Dan kamu ngeladenin modusan dia. Apa di kantor juga sering modus, makanya kamu jadi jarang buka hp?"

Gue mendelik, teramat tersinggung sama perkataan Genta barusan. "Apa maksud kamu ngomong gitu? Nggak usah ngawur!"

Gue benar-benar duduk menghadap Genta sekarang. Takut sudah berganti jadi amarah dan kesal.

PEKAELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang