8

2 1 1
                                    

Kepalanya tertunduk di atas meja. Bahunya berguncang pelan. Gue bisa mendengar isakan kecil dari sana.

Sofi tiba-tiba menangis di kantin kantor setelah melihat Mas Hilal berlalu.

Gue awalnya sedikit ragu sama hal possible apa yang memicu tangisan tiba-tiba Sofi tengah hari ini.

"Sof, kenapa?" Hana mengusap pelan punggung Sofi. Cowok-cowok hanya diam saja. Sepertinya benar-benar clueless sama apa yang terjadi sekarang, dan tidak tau juga harus ngapain.

"G-gue putu-s shh huaa.."

Dugaan gue benar.

Sofia Avril Yohana. Baru saja patah hati karena harus berpisah dengan pacar muslimnya. Gue tau Dewa, pacar -eh mantannya Sofi, dari Willy. Ternyata Willy dan Dewa adalah satu kelompok saat ospek.

"Ngabisin waktu sih, menurut gue pacaran sama yang beda iman,"

"Nggak ngabisin waktu juga, Wil, menurut gue. Pacaran kan tujuannya nggak harus ke pernikahan. Bisa aja emang mau mengenal, mencari pengalaman, atau emang nyoba-nyoba aja,"

"Nyoba-nyoba, terus terlanjur sayang, pas mau pisah berat."

Itu adalah cuplikan percakapan gue dan Willy di suatu sore saat pulang dari kantor setelah berpapasan dengan Dewa dan Sofi di lampu merah dekat kantor.

Gue nggak tau kenapa mereka tiba-tiba putus padahal beberapa hari yang lalu mereka masih makan siang bersama. Gue hanya ikut-ikutan mengusap punggung Sofi agar ia sedikit lebih tenang.

¤¤¤

Setelah kejadian di kantin hari itu, entah kenapa kelompok PKL ini terasa lebih mendung. Apa karena ada 2 anggotanya yang baru saja patah hati?

Kami sudah mulai jarang makan siang bareng. Hana mulai membawa bekal sendiri karena merasa boros selalu makan di luar tiap hari. Rafi juga ikut-ikutan bawa bekal. Gue sih paham banget tujuan tuh cowok ngapain ikut-ikutan bawa bekal.

Modus.

Karena terlalu malas untuk menyiapkan bekal, gue tetap mengorder go-food tiap harinya. Untung selalu ada saja promo seakan tau kantong gue mulai tipis.

Hari ini gue memutuskan untuk beli nasi tempe orek aja di kantin kantor. Keuangan makin menipis. Gue nggak mau terpaksa puasa di akhir bulan.

"Gabung, ya?" Sebuah piring tiba-tiba terletak di depan piring gue. Mas Hilal mengambil kursi tepat di depan gue.

"O-oh, iya mas, silakan," gue segera menutup aplikasi twitter yang sejak tadi gue scroll up-scroll down sembari makan.

"Mana yang lain? Biasanya kayak anak bebek, solat barengan, makan barengan," Mas Hilal tertawa karena kalimatnya sendiri, gue juga ikutan tertawa. Ternyata kami beneran kayak anak bebek yang kemana-mana barengan.

"Nggak tau deh, Mas. Lagi pengen makan sendiri-sendiri kali," Gue menyesap es teh manis menyudahi acara makan siang ini. "Mas sendiri tumben makan di sini?"

Gue jarang banget lihat pegawai makan di makanan di kantin. Kalaupun makan di sini, paling membawa makanan sendiri. Makanya nggak terlalu banyak variasi makanan di sini. Kurang laku, mungkin.

"Oh, itu, saya bosen aja sih makan di luar. Mager juga,"

Gue hanya mengangguk-angguk. Sebenernya udah mau cabut, tapi nggak enak Mas Hilal masih makan.

"Kamu bilang nenek orang Palembang, kan? Tinggal di daerah mana? Kali aja saya tetanggan sama nenek kamu," pertanyaan Mas Hilal sukses bikin gue garuk-garuk kepala.

Masalahnya gue nggak begitu tau nama daerah rumah nenek. Iya, gue seapatis itu.

"Umm, pokoknya deket Jakabaring, Mas. Saya juga nggak tau nama daerahnya,"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 25, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PEKAELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang