Mata gue terasa berat, seluruh badan berasa nggak bertulang, lemas banget. Punggung tangan kiri gue terasa nyeri dan pegal.
Hidung gue menangkap bau antiseptik yang menyengat. Gue mencoba membuka mata yang beratnya udah kayak dosa.
Plafon putih yang pertama kali menyambut gue dari pingsan yang gue sendiri nggak tau berapa lama.
Gue berhasil membuka mata, dan menoleh ke arah kiri menemukan Mas Hilal sedang memainkan ponselnya dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya menggendong seorang balita yang sedang tertidur.
Itu siapa? Anaknya Mas Hilal?
"Eh, udah bangun. Bentar ya, saya panggilin suster dulu," Mas Hilal menyadari gue mulai membuka mata, lalu beranjak pergi.
Gue hanya diam saja. Berat sekali rasanya untuk berbicara.
Felly. Gue belum ngabarin Felly. Gimana kalau dia nungguin gue?
Gue mengumpulkan tenaga lalu mencoba bangkit, menoleh ke kanan dan kiri mencari totebag. Ternyata ada di atas nakas yang terletak di samping tempat tidur. Gue segera meraih benda itu lalu menyalakan ponsel.
Benar saja, sudah ada belasan pesan dan 5 panggilan tak terjawab dari Felly yang menanyakan keberadaan gue.
Baru saja akan membalas, Mas Hilal kembali bersama seorang perawat. Perawat itu mengotak-atik infus yang tergantung di tiang samping bangkar.
"Infusnya dihabisin dulu, ya sebelum pulang. Perut adeknya diisi dulu supaya lebih cepet pulih," perawat itu berkata kepada Mas Hilal lalu pergi.
"Kalau lagi sakit, nggak usah maksain ke kantor. Nggak papa kok sehari dua hari izin, kalau udah tumbang gini kan kamunya juga yang kasihan."
Oke. Mas Hilal bawel.
"Saya nggak sakit, Mas. Asam lambung lagi naik aja."
"Sama aja. Kata perawatnya gula darah kamu rendah banget, dehidrasi, kurang istirahat juga. Kamu nggak makan siang, ya? Semalam begadang?"
Gue menggeleng menjawab pertanyaan pertama. Ayam penyet yang tadi gue pesan sama sekali tidak tersentuh kecuali secuil tempe. Ketika asam lambung sudah naik, semua nafsu makan menghilang.
"Cari penyakit,"
Gue masih bingung. Kenapa Mas Hilal ada di gerbong itu? Bukannya dia punya mobil pribadi? Dan siapa anak kecil yang saat ini masih tertidur tenang di gendongan Mas Hilal?
"Mas maaf banget, bukan bermaksud mengusir. Tapi baiknya Mas Hilal pulang dulu. Kasihan itu anaknya," gue menunjuk bocah itu.
"Haha, ini bukan anak saya. Keponakan. Dari kemarin maksa mau naik KRL mumpung dia lagi di Jakarta. Biasalah anak kecil, saya masih di kantor udah diteror maksa mau naik KRL."
"Emang dia dari mana?"
"Lahat. Tau? Sumatera Selatan."
Gue jelas tau. Nenek dari pihak mama adalah orang Lahat. Tapi sudah lama pindah dan menetap di Palembang.
"Tau, kok. Nenek orang Lahat. Tapi saya nggak pernah ke sana. Palingan ke Palembang."
Mas Hilal menaikkan kedua alisnya yang cukup tebal itu.
"Jadi, kamu orang Palembang, dong?" Mas Hilal tampak excited.
"Eung...bisa jadi. Mama saya Palembang, Papa Indramayu, tapi saya lahir dan besar di Bandar Lampung," ini adalah template jawaban tiap orang bertanya gue orang apa.
"Ohh...baru aja mau saya ajak ngobrol pake bahasa Palembang," gue meringis karena nggak pernah bisa berbicara pakai bahasa Palembang.
Jika Mama telponan dengan Nenek pasti menggunakan bahasa Palembang. Gue dengan jiwa apatis ini sama sekali tidak tertarik untuk mempelajarinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
PEKAEL
General FictionKisah 8 mahasiswa yang menjalani kewajiban kampus berupa Praktik Kerja Lapangan (PKL) di sebuah instansi Pemerintah