Rupanya Malang tak jauh berbeda dengan Jakarta, Bandung, dan kota besar lainnya. Polusi tetap menyumbat hidungnya. Kereta tiba di stasiun Malang, sudah sekitar 2 jam yang lalu. Harysa masih terduduk di kursi area stasiun itu. Menyusun rencana kemana arah langkahnya akan melanjutkan jejak.
"Sya, udah sampe Malang?" Pesan masuk dari sebaris nama 'Roy'
Harsya tak membalas pesan itu, ia lekas memanggil langsung via telepon.
"Roy, gua udah di stasiun. Jemputt.!"
Seru Harsya
"Njir, dari dulu lu nyusahin emang." Sahut Roy"Yaelah Roy, buruan jemput. Gua mau istirahat.!"
"Iye-iye tunggu, gua otw nih. "Roy Dwipangga, adalah teman sebangku Harsya semasa SMA, ia berada di Malang karna tengah melanjutkan studinya di salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Malang.
Setelah beberapa saat menunggu, Roy tiba di stasiun. Menyapa kerumunan dengan berjalan ditengah-tengahnya mencari batang hidung Harsya.
"Roy... Hei. !" Suara Harsya dari kejauhan.
"Har ... " Suara Roy sembari menyiapkan tangan untuk berjabat.
"Makasih Roy, udah mau jemput gua, mana mobil lu.." belum sempat Roy melanjutkan bicara, Harsya nyelonong sembari menepuk bahu Roy.
"Ayo dong gas panas disini, gua gerah. Di mobil lu pasti ada AC nya kann pasti adem." Sekai lagi Harsya mengajak Roy tanpa rasa bersalah.
"Bangke lu." Jawab Roy sembari memasang muka masamnya.
* * *
Diantara tenangnya malam, ada kekacauan dalam sesaknya dada Hanin. Tentang penolakan yang dulu ia busungkan dan kemudian penerimaan yang sekarang ia harapkan, bermukim dalam pikiran Hanin. Setidaknya seperti itulah yang sekarang ia rasakan.
"Hanin, gua punya kabar penting buat lo." Pesan masuk dilayar gawainya.
"Soal apa. Ujian akhir? Maba? Dosen muda? Perset*an lah.!" Kesal Hanin
"Ihs bukan, soal Harsya..!" Ungkap Arda
Ada benang harapan yang tak terlihat dalam diri Hanin. Lagi-lagi Harsya yang membuat nadinya kembali berdenyut.
"Oke lanjut." Jawab Hanin datar.
"Sok datar lu, senengkan gua punya info soal Harsya." Ejek Arda seolah tau apa isi hati Hanin.
"Ih udah buruan."
"Harsya sekarang lagi di Malang. Di kontrakan elit sama Roy. Lu tau kan si Roy, anak tajir sesatu angkatan kita SMA."
"Oiya dia, gua tau Ar." Jawab Hanin
Setelah informasi penting itu, pesan demi pesan dari keduanya kembali datar. Bahkan Hanin ingin segera mengakhirinya.
Ada keingin yang meledak-ledak dalam diri Hanin. Ia sungguh ingin mengunjungi Malang demi lelaki itu. Tapi bukankah beresiko untuk seorang perempuan layaknya Hanin, terlebih lagi ia akan menghadapi ujian akhirnya semester ini. Mengorbankan masa depannya untuk mencari lelaki yang sudah tak peduli bukan sebuah jawaban.
Tetapi perasaannya kian menggerogot. Satu pesan ia kirimkan dengan penuh keberanian
"Sya, aku mau ikut sama kamu. Boleh aku jemput kamu.?"
Jantung Hanin berdebar lebih cepat dari biasanya, hingga kembali teratur setelah sekian menit kemudian.
Boneka disampingnya menatap penuh kekosongan, lampu kamar setengah redupnya kian hampa.
Menunggu dering tanda kedatangan pesan masuk."Sebegini menyiksa kah, dia bukan satu-satunya."
Gumam Hanin*Trrriiinngg Triiingg*
Matahari terbit lebih awal, pesan dari Harsya tiba di ponselnya."Fokus aja sama ujian akhirmu, perihal kita bakal bertemu lagi atau nggak itu hanya soal waktu. Dan memiliki gak harus saling sering berpapasan, tapi saling dan sering memperbaiki."
Sial, lelaki itu benar-benar how do men behave. Meski itu tampak jawaban menggantung. Lebih dari itu, ada percikan simpati yang kembali tumbuh dari Harsya untuknya.
Pesan balasan darinya menjadi pukulan telak bagi Hanin. Ia tak sanggup menyangkalnya lagi.
Dilain tempat, Harsya tampak sedang memotret panorama suasana malam pusat kota. Roy heran mengapa dirinya begitu gemar dengan kamera sederhananya."Sya, lu sejak kapan suka potografi gini. Perasaan lu dulu bucin beut dah." Diiringi tawa renyah dari Roy.
"Setiap manusia punya fasenya masing-masing Roy." Sanggah Harsya sembari mengecek hasil jepretannya di layar kamera.
"Roman-roman gara gara ditolak Hanin nih.. haha." Roy memancing pembicaraan.
"Bisa jadi, tapi diluar dari semua itu, pelarian pada sesuatu jauh lebih sopan Roy, daripada pelarian pada seseorang. Anggap aja sekarang gua lagi jeda. Sebelum gua menemukan orang yang baru." Pungkasnya.
"Setuju, Oiya lu bisa tinggal disini sampe masa jeda lu habis Sya, itung-itung temenin gua lah, gua kan sendiri. " Ungkapan Roy bak angin sejuk baginya. Setidaknya ia tak perlu lagi memikirkan harus tidur dimana sekarang.
Selama bisa saling menguntungkan, pertemanan yang sehat selalu mendatangkan keberkahan dan kemanfaatan bagi sesiapapun pelakunya yang bijaksana.Jam 1 malam, keduanya belum lekas kembali ke kontrakan. Teguk demi teguk obrolan mereka telan dengan balutan candaan. Kian malam kian sunyi, lampu jalanan klasik menyoroti keduanya dengan syahdu.
Ikut berdialog, bahwa dibawahnya ada dua orang lelaki yang tengah saling memeluk kesepiannya masing-masing, rahasia yang tak pernah benar-benar rahasia diantara keduanya."Sya. Tar kalo gua wisuda, lu hadir ya. Sekalian ntar ketemu deh sama orangtua gua, udah lama kann. Terakhir pas kelulusan SMA." Ucap Roy
"I will be there, Roy. Oiya orangtua lu lada sehat-sehat aja kan. Adek lu gimana sekarang, udah SMA gasih? Jawab Harsya
"Sehat kok, biasa sibuk terus mereka. Untungnya gua maklum. Siapa si Dea? Iya dia sekarang kelas 2 SMA."
Percakapan demi percakapan kian melarut. Hingga keduanya pergi. Meninggalkan jalanan yang kembali cemberut kesepian.
Vote gaes, biar saya smngt lanjut ceritanya v:
Salam hangat,
Penulis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pada 1/3 Malam
Teen FictionBahwa semua ingin dapat ditengadahkan melalui doa, lalu diwujudkan melalui usaha, terkabulnya doa adalah bonus. Menghargai apa yang pernah terlewati sebenarnya adalah makna, ketika harus diuji dan dicoba olehNya, hal yang harus dipertahankan ketika...