Redup

40 4 0
                                    

"Cukup Harsya, angkat kaki dan pergi dari rumah ini, jangan kembali dan muncul di depan wajah saya lagi." Suara parau dari lelaki dewasa yang tengah dilanda kemarahan pada seseorang didepannya.

"Oh, gitu pak. Sejak awal saya pun tidak pernah setuju pernikahan anda dengan ibu saya. Saya akan kembali karena ibu saya, dan anda tidak berhak menginjak-nginjak hak saya untuk bertemu dengan ibu suatu hari nanti.!" Tandas Harsya dengan wajah memerah yang mulai berkaca-kaca.

Cukup dua kalimat saja dari keduanya yang membuat seisi rumah menjadi neraka, Ibu yang sedang mengidap kanker harus dirawat di rumah sakit, tidak tau kejadian ini.
Harsya dengan cepat mengemasi barang-barang dan meninggalkan rumah yang sedari kecil berlindung dari panas hujan dibawahnya.

'Sekarang mungkin aku harus ke rumah sakit memberitahu ibu... Soal aku akan pergi, bukan perihal pertengkaran dengan bapak,' Harsya dalam hatinya.

Sore hari terasa lebih tentram dari sore sebelumnya, dari balik jendela angkutan kota, Harsya melihat sinar jingga dari ufuk barat yang menyapa hangat. Hiruk pikuk seisi angkot yang menerima telepon, menjaga belanjaan, yang sedang asyik dengan gawai pun ada. Semua orang dalam latar belakang yang berbeda berkumpul dalam satu kendaraan, dalam satu perjalanan.

RUMAH SAKIT SENTOSA, nama yang sudah terpampang dan tertera pada sebuah gedung pinggir jalan kota yang mulai tampak oleh Harsya.

"Kiri mang." Harsya pada sopir angkot yang tengah menyetir sembari menyesap tembakau di tangannya.

Jalanan Braga tak jauh dari rumah sakit itu, ia harus segera bergegas menemui ibunya, lalu segera ke Braga.

Baginya Braga adalah tempat istirahat pikiran, rumah hanya tempat istirahat raga, Harsya pulang pun hanya karena ibunya.

Setelah bertanya pada lobi rumah sakit dan bertanya daftar nama pasien atas nama ibunya, Harsa mulai menyusuri lorong gedung rumah sakit itu.

Ruang 24-2, tempat ibunya dirawat dirumah sakit itu. Tampaknya pintu ruangan itu tengah terbuka.

"Bu, Assalamualaikum." Harsya mengucap salam pada seisi ruangan itu.
"Waalaikumsalam, ... Eh Harsya . Sini nak." Jawab ibu memaksakan diri untuk duduk menyambut putranya tersebut.

Kemelut di dadanya meletup-letup ingin memeluk, tapi gengsi seorang anak lelaki menyumbatnya.
Mencium tangan adalah kesopanan sederhana dari yang seharusnya anak lakukan pada orangtua.

"Gimana kondisinya Bu, mendingan?"
Buka Harsya pada ibunya.

"Ibu sehat, jangan khawatir. Sakit adalah kewajaran yang seperlunya bagi setiap manusia. Mungkin satu persen di dunia ini yang selama hidupnya tidak terkena penyakit Sya."
Jawab ibu dengan bijak.

"Harsya mau pergi Bu, ibu baik-baik di Bandung. Semoga lekas sembuh ya." Harsya mengalihkan pembicaraan pada tujuannya.

Tak ada jawaban beberapa menit dari keduanya. Ibu hanya melirik anaknya lalu mengusap kepala Harsya, menyadari anaknya kini telah mempunyai jalan hidupnya, mungkin ini saatnya melepas, mungkin ini saatnya ibu ikhlas. Tidak tahu, apakah semua ibu seperti itu ketika mempunyai seorang anak lelaki.

"Pamit sama bapak mu udah?"
Tanya ibu.
Harsya hanya diam mematung.

Tak lama, cinta pun dapat merubuhkan gengsi lelaki, Harsya memeluk ibu erat, menangis tanpa bersuara. Tak ada kebisingan yang ada hanya derai yang deras dari keduanya.

"Pamit Bu, doakan Harsya. Selalu beri energi positif buat Harsya. Suatu saat ada waktunya untuk Harsya pulang, lekas sembuh seiring tumbuh."
Kalimat itu adalah bincangan akhir dari Harsya dan ibunya. Satu cahaya redup, dalam seisi rumah dari sebuah keluarga itu.

Tapi setiap redup akan ada yang berpijar, selalu seperti itu.
Harsya menuju Braga menghilang dari pandangan ibunya.

Braga hanya tempat lepas landas, sebuah definisi sepi di tempat ramai jelas tergambar dari suasana itu. Harsya terduduk sendiri, apa dan kemana selanjutnya dirinya akan tetap hidup.
Bandung hanya tempat dirinya dilahirkan, bukan tempat dirinya berpetualang. Satu-satunya tempat untuk dirinya berisitirahat adalah teman.

Tiba-tiba bunyi dering handphone nya memecah suasana.

'Arda,? Ngapain dia telpon.!?' gumamnya melihat nama kontak yang berusaha menghubungi dirinya.

"Iya assalamualaikum, Hallo Ar, ada apa?" Buka Harsya pada teman SMAnya dulu.

"Main kerumah Ar, ada Hanin nih dirumah." Jawab Arda samar dalam suara speaker gawai tua milik Harsya.

"Gimana ya, yaudah tapi mungkin gua cuman mau mampir buat istirahat aja, gimana gapapa kan Ar.?" Tukas Harsya.

"Yaudah sini deh ya cepet."
Tuuuttt... Tuuuut.. Arda mengakhiri panggilannya.

Harsya malam ini mungkin akan menentukan kemana arahnya dirumah Arda. Dia hanya perlu istirahat semalam dirumah temannya itu.

****
Tok tok tok (ketukan pintu)
"Assalamualaikum, Ar... Ardaa?"
Salam Harsya depan pintu rumah temannya.

"Waalaikumsalam. Eh .. siapa ini, Harsya bukan ?"
Jawab seorang perempuan paruh baya seumuran ibunya yang menyambut dibalik pintu.

"Iya. Tante Reni, ibunya Arda kan ya." Harsya mencoba menerka dan menyambut kembali hangat senyum ibu Arda.

"Iya, masih inget juga kamu. Hmm nyari Arda ya. Arda nya ada di basement, sama temannya tadi juga datang kesini." Jawab Tante Reni

"Iya Tante, maaf ya ganggu Tante."
jawab Arda yang hanya diselingi anggukan tanda setuju dari Tante Reni.

Harsya sudah tahu dimana letak basement rumah temannya, SMA dulu, mereka berdua sering kesana dan berbagi apapun yang mereka punya. Yang pasti bagi Harsya, tempat lama selalu memberi cerita lain meskipun kita datang ketempat itu berulang-ulang.

"Tuh datang orangnya, Sya sini ada yang mau ketemu nii.." sambut Arda kedatangan teman lamanya.

Wajah merah Hanin terpancar, setelah sempat memukul pelan Arda.

"Eh, gimana kabarnya Ar, San, hmm Hanindita." Harsya menyalami satu persatu orang-orang yang ada di basement.

"Jawab kali Nin bengong terus." Sandra menyenggol Hanin.

"Eh iya, kabar baik. Kabar kamu gimana.?" Hanin membalas

"Iya baik, gimana kuliah kamu?" Jawab Harsya datar.

Bincangan demi bincangan berlanjut hingga larut. Dari keempatnya hanya Harsya yang selalu datar dan enggan berbicara. Ia hanya ingin istirahat malam ini. Besok ia harus memulai perjalanannya, entah sebagai apa.
Pikirannya redup, dan Hanin menyadari itu. Sempat ingin ia tanyakan perihal apa yang terjadi dengan Harsya. Tapi sepertinya Hanin sadar Harsya butuh istirahat.
























Lanjutan dari cerita sebelumnya,
Bukan melenceng dari cerita, tapi tokoh baru yang diperkenalkan akan menjadi pelengkap cerita agar terasa dan tersampaikan apa yang hendak disampaikan penulis .
Sampai jumpa di bab berikutnya
Vote dan share ya🤗

Salam hangat,
Penulis


Ig: @maul.24_

Pada 1/3 MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang