BAB 2

32 6 0
                                    

"Jo?" Raya masuk ke kamar Jonathan. Ia berjalan ke sudut ruangan, menarik sofa kecil lalu dipindahkan ke samping kasur.

"Udah tidur ya?" Raya mengelus kepala Jonathan. Menyisir pelan rambut-rambut itu ke belakang.

Notifikasi baterainya yang lowbatt membuat ia harus mencharge hpnya. Tetapi niat itu sempat urung karena tangannya yang tak dibiarkan pergi oleh Jonathan.

"Belum tidur?"

"Jangan pergi lagi."

"Gue mau nge-charge baterai. Satu menit." Genggaman itu dilepas tak rela oleh Jonathan. Membiarkan ia harus lagi dan lagi menunggu Raya.

"Udah. Tidur, katanya pusing?" Raya kembali duduk di sofa.

Jonathan mengangguk. Selimutnya ia tarik sampai menutup setengan wajahnya. Setengang lagi ia biarkan terbuka terkena angin.

"Jangan minum banyak-banyak kalau akhirnya gini. Gue nggak selalu ada kalau temen lo call suruh nyamperin, jadi jangan gini lagi ya lain kali?"

Jonathan menggeleng. "Enggak. Lo mau kemana?"

"Enggak kemana-kemana."

"Terus kenapa nggak bisa?"

Raya terdiam sebentar. "Ya karena gue cuma Raya, bukan makhluk super."

"Ah, Raya! Gue pusing!" Jonathan menguburkan mukanya ke dalam bantal.

"Tau, mangkanya gue di sini. Lo nggak punya susu beruang ya? Sabar ya, lagi dibeliin Evan. Atau lo mau gue bikinin jus sekarang?"

"Enggak! jangan pergi lagi gue capek nunggu lo."

"Okay," balas Raya, kembali mengelus kepala Jonathan. Telaten, elusan itu berubah menjadi puk-puk pelan. Ada sebuah hangat yang ingin Raya sampaikan pada Jonathan melalui tangannya. Dengan posisi yang masih tengkurap dan muka yang tertutup bantal, suara Jonathan samar-samar terdengar telinga Raya.

"Gue di sini, bukan di bawah. Jangan tengkurap, gue nggak bisa denger."

"Kemarin bokap gue telepon," beritahu Jonathan dengan mata terpejam.

"Terus?"

"Gue benci dipuji," kata Jonathan, mengambang. "Bokap gue selalu muji-muji gue tapi akhirnya selalu dibandingin sama kakak gue. Cuma gara-gara gue sering pulang malem dan kakak gue enggak, dia selalu bilang kakak gue anak baik."

"Bokap gue nggak tau gue pulang malem ngurusin organisasi. Sedangkan kakak gue selalu pulang tepat waktu karena dia nggak berani ikut organisasi. Jadi definisi anak baik itu gimana? Apa kehidupan kuliah gue masih diukur sama kehidupan anak tk yang siang harus tidur? Atau anak smp yang main nggak boleh lebih dari jam 6?" Jonathan mengusap wajahnya kasar.

"Gue capek selalu dianggap bukan anak baik-baik. Semua prestasi gue seketika lenyap cuma gara-gara jam malam. Anjing! Dipikir hidup ini yang ngatur dia?"

Raya mengangguk paham. Apa yang Jonathan katakan memang benar adanya. Ia adalah mahasiswa yang aktif, sangat aktif. Bahkan relasi di mana-mana. Harusnya orangtuanya paham bahwa ini lah kehidupan Jonathan.

"Lagi, Jo."

"Kenapa bokap gue nggak mau paham tentang berkembangnya hidup? Kenapa pola pikir bokap gue stuck di satu masa. Bangsat! Gue bukan orang dulu. Gue hidup sekarang! Kehidupan gue ya sekarang!" racau Jonathan. Dadanya naik turun setelah kalimat demi kaliat disampaikan dengan penuh emosi.

"Lagi,"

"Raya gue capek." Jonathan mencari tangan milik Raya untuk kembali di dekap. Setelah hal yang membuatnya memendam itu keluar, ia tampak tak menyesali sesuatu yang telah keluar dari mulutnya. Atau karena ia hanya tak sadar.

BerempatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang