"Ganti gue yang nanya." Jeve memalingkan wajahnya guna menghisap vapornya kuat-kuat sebelum kembali bicara.
"Bang Satria, menurut lo arti kehilangan itu apa?"
Si objek mengusap wajahnya dengan tangan yang masih mengapit batang rokok ketiganya. Beralih pandangannya dari asbak ke jalanan kota.
Ada yang tidak terima di sudut sana saat pertanyaan itu terlontar.
Belum sempat Satria menjawab, suara seseorang itu sudah masuk menggema.
"Giliran Satria nggak asik banget pertanyaannya. Tadi waktu gue nanyanya aneh-aneh!"
Seseorang itu adalah Evan, melempar kulit kuaci yang habis disesapnya pada Jeve yang memberi pertanyaan.
"Jorok, bangsat! Yaudah, lo jawab deh! Paling ngaco juga. Udah apal gue sama lo, Bang!"
Evan tertawa mengikuti yang lain. Tidak salah sebetulnya apa yang dikatakan Jeve. Malah bisa dikatakan akurat 99%.
Namun entah mengapa malam ini pertanyaan itu masuk begitu saja ke dalam otaknya. Bukan lagi jadwal servis kucing, nama mobil hrv kesayangannya atau kekurangan seribu saat ganti kaca mobil tiga hari lalu di bengkel langganannya.
Akhir-akhir ini topik kehilangan selalu berhasil mencuri atensi Evan.
"Gue lagi nggak merasa kehilangan apa pun, kecuali waktu. So it doesn't really feel like a 'thing'. Everything that happens every day, kita nggak bisa mutar kan? Jadi ya gitu, so so." Satria menatap teman-temannya begitu mereka selesai tertawa. Kalimat itu begitu enteng keluar sebagaimana kenyataannya.
Satria memang tak sedang kehilangan. Hidupnya sedang berjalan normal, setidaknya tanpa rasa tersebut. Jadi yang ia katakan adalah sebenar-benarnya.
Memang ekspektasi apa yang Jeve punya pada jawaban Satria hingga mukanya ditekuk setelah tanda titik fana itu terbentuk?
"Kalo mau cari jawaban mellow, tanya Evan. Dia juga meng-volunteer kan diri buat jawab. Pasti relate lah sama kisah selingkuhnya." Pedas. Kalimat Satria bahkan tak disensor sedikit pun.
Tawa Jonathan dan Jeve meledak tak terkendali. Sedang yang dimaksud ingin marah pun tak bisa, memang benar, kan?
"Gue lagi," cicit Evan pasrah.
"Sikat, lah! Udah dikasih panggung juga, masa nggak naik?" Jonathan mengompori Evan.
Kesannya. Sebetulnya ia paham ada sisi Evan yang butuh didengar. Meski Evan salah, sakitnya tetap harus divalidasi, kan?
"Gue tuh kayak anjing lah! Nyesel gue nyelingkuhin Freya. Goblok. Dulu lo mikir apa sih, Van? Cewek lo udah hancur, lo remet-remet lagi!" Evan menjambak rambutnya. Reflek yang teman-temannya tak suka.
Jeve menepis tangan Evan. "Nggak punya otak kali, Bang, lo dulu. Sekarang otak lo juga kecil, kan, sampe jambak-jambak rambut?"
Perkataan sikecil yang selalu bisa menbuat Satria dan Jonathan diam-diam bertepuk tangan.
Evan akan sulit mengatur emosinya sendiri saat-saat seperti ini. Apa pun asal tak membahayakan diri sendiri, ketiga temannya akan diam saja.
Biar Evan yang sudah masuk itu semakin terjerat dengan rasa bersalahnya.
Sebab bukan kali pertama Satria, Jonathan, dan Jeve dihadapkan pada hal semacam ini.
Jauh-jauh-jauh sekali sebelumnya Evan sama saja.
"Frey, gue kasihan sama lo tapi gue lebih kasihan sama temen gue," Jonathan menatap nanar Evan yang dengan tak wajar menghisap kuat-kuat Marlboro-nya.
Di sepanjang hujan menuju fajar yang mereka habiskan di sebuah warmindo, dengan lampu kuning remang dan kursi kayu kuno sejenis milik rumah kakek-nenek Evan itu mereka seakan mendekam.
Tiga diantaranya dengan pikir yang terisi atas apa yang sudah di depan mata dan satu yang masih menimang-nimang apa langkah selanjutnya.
"Kalo waktu bisa diputar—" Evan kembali dari diamnya namun segera dipotong oleh Jeve.
"Waktu bukan komedi, bukan juga hidup lo yang isinya ha ha hi hi. Nggak usah ngarep diputar-putar. Es putar, lo?"
Jeve benci sisi melankolis Evan. Ia jauh-jauh lebih senang bila dipalak batagor daripada harus mendengar kata dari serangkaian pikir di otak Evan.
"Lo sebenernya kehilangan apa, Jev?"
Tatapan lurusnya adalah ancaman bagi Jeve. Satria dengan batang rokok yang baru saja tersulut itu menatap adik tingkatnya heran.
Sebetulnya ada manusia lain yang butuh didengar?
Berkedok tanya tapi sebenarnya punya rasa?
Garukan kepala tak gatal itu menjelaskan semuanya. Benar. Apa yang Satria duga itu benar.
"Sesi Evan selesai. Sekarang adik kecil ini mau cerita apa?" ucap Jonathan dengan mendayu.
Buah tangan berupa geplakan dari Satria itu mengiringi kikikannya.
Geli! Jonathan harus ingat bagaimana image itu sudah dipastikan seratus persen berbeda dengan apa yang dirinya tunjukkan sekarang.
"Gue? Enggak," jawab Jeve singkat. "Cuma mau memastikan analisis gue bener atau enggak. Kehilangan sama kesepian itu beda ya, bang? Maksud gue dalam kategori percintaan, ya, especially cewek. Secara kan gue nggak pernah suka sama orang."
"Mangkanya lo jangan wibu."
"Emang apa salahnya? Anime ada wujudnya. Katria noh, sepupu lo, suka sama cowok novel. Dengernya aja udah aneh, cowok novel? Terus kalo cowok kamus tuh ada juga nggak?"
Sebagai ras yang terbully di bumi ini, Jeve sudah menyiapkan banyak mental bila identitas kebanggaannya itu dihina orang lain.
"Nggak usah bawa-bawa Katria, udah punya cowok. Nggak kayak lo ngomong doang ada wujudnya tapi mana?" cecar Jonathan.
"Yaelah bang, sabar. Gue lagi memperhitungkan langkah buat deketin cewek."
"Pantesan deketin Bila nggak ada progres, orang lo ngitung remed mulu. Gini ya Jeffrey Versa anaknya Pak Versawan, Bila itu cantik, baik hati, rajin menabung, anak radio yang kenal banyak, harusnya lo sadar kalo inceran lo itu bukan cewek biasa. Apalagi yang deketin modelan nggak sat set gini. Duh! Gue sih jadi Bela juga ogah!"
Jonathan sampai mengetuk jarinya menekan kata demi katanya. Jeve ini lambat. Abang-abangnya sudah mendukung penuh usaha Jeve dekat dengan cewek, tapi yang didukung tidak tau diri.
Mereka itu sadar mudah bagi Jeve dekat dengan Bila dengan satu catatan, MENTAL JEVE KUAT.
Sudah dibilang kan Jeve cupu masalah beginian.
-17.6.2022
Haloo, lanjut ga nih?
KAMU SEDANG MEMBACA
Berempat
General Fictionft. Seungwoo, Johnny, Seungyoun, Jaehyun "Menurut lo berempat itu apa?" "Angka." "Nggak, tolol! Berempat itu masalah lo semua jadi satu bikin gue mumet." "Kayak sendirinya nggak bermasalah aja!" - Berempat adalah kisah tentang mereka, Satria, Jonath...