Lukis menyelesaikan ulangan hariannya tepat lima menit setelah bel pergantian jam berbunyi. Perutnya terasa mual, hanya karena dihadapkan lima soal uraian fisika.
Salah satu pelajaran yang tidak disukainya.
Alasannya karena baginya fisika tidak penting di kehidupan. Selain itu ia tidak minat masuk IPA, jika saja mamanya tidak mengatakan padanya sewaktu sebelum ujian nasional SMP. "Lukis, masuk IPA itu bukan salah satu pilihan. Tapi harus!" kata mamanya waktu itu. Akhirnya ia dapat masuk ke jurusan IPA, walaupun namanya hampir di barisan terakhir.
"Lukis, udah mengumpulkan formulir ekstrakurikuler belum?" temannya yang bernama Ainaya menarik kursi ke sebelahnya.
Lukis menepuk jidatnya, "Ah astaga, belum aku isi malahan" lalu mencari di dalam tasnya selembar kertas formulir.
"Sama sih, aku bingung mau ganti apa ekstra nya"
Awal semester dua dikelas sepuluh, mereka mendapat selebaran formulir ekstrakurikuler. Mereka dapat mengubah ekstrakurikuler-nya dari yang sebelumnya, atau boleh saja jika tidak berubah.
Sebelumnya Lukis mengikuti ekstrakurikuler English Club dan juga Matematika Olimpiade. Tentu saja bukan dari keinginan Lukis, mamanya sendiri yang mengisi formulir tersebut. Tetapi sama saja, Lukis nyaris tidak pernah berangkat ke-keduanya.
"Kamu mau ganti gak, Kis?" Ainaya bertanya sembari memperhatikan Lukis yang hendak melingkari kategori ekstrakurikuler di selembar formulir itu.
Lukis terhenti sebelum pena-nya berhasil melingkari satu kategori yang sebenarnya tidak ia minati. Ia tampak berpikir, "Kalau aku ganti ekstrakurikuler, mama bakal tahu tidak ya kira-kira?"
Ainaya tersenyum tipis, ia sedikit paham dengan permasalahan Lukis dan keluarga. "Sorry aku bilang gini— apa gak sama aja sih kalau seumpama kamu ikut ekstrakurikuler yang diharuskan mamamu tapi kamu-nya gak pernah berangkat?"
Iya juga.
Lukis menggaruk pipinya, "Ya terus apa dong, Ai. Aku bingung nih"
"Kamu minatnya di apa? Atau kalau gak waktu dulu di SD atau SMP kamu ikutnya apa?"
"Ah iya, waktu SMP aku ikut karawitan, tapi serius gak minat sama sekali. Gak pernah berangkat juga hehe" Lukis melihat ulang formulir di tangannya, "Hmm, seni tari ide bagus gak? Tapi terakhir ikut waktu SD kelas lima"
"Serius mau tari?? Setauku kamu minat di kepenulisan deh, Kis"
"Ya minat banget sih, tapi gak deh kalau ikut ekstrakurikuler" Lukis melingkari kategori seni tari di formulir itu, "Kalau seumpama gak menyenangkan diseni tari, yaudah berangkat diawal doang"
Lukis tertawa, sedangkan Ainaya mendengus. Setelah mereka selesai dengan urusan formulir ekstrakurikuler, tidak lama kemudian guru mata pelajaran matematika datang. Semua beringsut menuju tempat duduk masing-masing.
"Selamat pagi anak-anak"
"Pagi, pak"
"Pertemuan kemarin kita sudah melaksanakan ulangan harian, dan hari ini nilai sudah bisa dibagikan"
"Waduuh pak, gak siap" seruan orang-orang dibarisan belakang.
Jo, pria berkaca mata yang menjabat sebagai guru matematika itu tertawa pelan, "Kelas ini tuh kalau yang nilainya bagus ya bagus banget, kalau yang jelek pun juga jelek banget. Bagus, setidaknya seimbang"
KAMU SEDANG MEMBACA
Khatulistiwa
Teen Fiction"Gak masalah, setiap cerita selalu memiliki happy endingnya sendiri" Lukis Bentala, adalah satu diantara banyaknya manusia yang merasa tidak pernah disyukuri hadirnya di dalam keluarga. Yang ia tahu, hidupnya, adalah milik kedua orang tuanya yang te...