Notes from Author:
Kalau ada yang typo serta kalimat-kalimat yang membagongkan, mohon diberitahukan ya! Happy Reading gaes! :)
.
.
VANYA POV.
Aku berlari untuk membukakan pintu. Pastilah itu sang pengantar makanan. Robert yang terdiam memaku di depan anak tangga sebenarnya memiliki jarak lebih dekat dengan pintu depan, namun mana mungkin aku mau bersikap tidak sopan pada tamuku? Masa' mentang-mentang ia yang paling dekat, aku harus menyuruhnya untuk membukakan pintu? Dasar aku si gadis yang makin tidak tahu diri. Sudah dibelikan makan siang olehnya, masih saja tidak tidak tahu berterimakasih dan tidak tahu diri.
Namun melihat langkah kaki Robert yang melambat dan raut wajahnya yang tak bisa kutebak meninggalkan rasa penasaran di punggungku. Ada apa dengannya? Mengapa wajahnya... seperti itu?
Bunyi di perutku mengalihkanku. Ah, sial. Tatapan mata Robert bertemu denganku dan dengan cepat kusembunyikan wajahku dan langsung membukakan pintu depan. Tak tahu malu! Sungguh kebodohan yang hakiki. Perutku berbunyi di saat seperti ini.
Aku dapat merasakan bahwa Robert terkekeh di belakang punggungku. Rasa panas memenuhi kedua pipiku. Hah, aku menjadi udang rebus sekarang.
Pintu terbuka dan sang pengantar makanan tanpa basa-basi lebih lanjut, hanya melihatku sekilas dan langsung memberikan seluruh makanannya kepadaku. Melihatku pun tidak, jelas karena aku si gadis biasa. Ia tidak tertarik. Keramahan juga tidak ia lontarkan sedikit pun. Jelas berbeda dengan Robert dan Radith. Hmm, aku mulai memahami dua kesamaan mereka di sini. Dua orang yang memiliki awalan huruf R, mungkin itulah yang membuat mereka sama karena anehnya masih betah untuk berada di sekitarku. Berani bertaruh, nama sang pengantar pasti tidak berawalan huruf R.
Sungguh pemikiran yang konyol sebagai bentuk pengalihan rasa maluku kepada Robert tadi.
Pintu depan kembali tertutup, menyisakan kembali kesunyian dan kami keberadaan kami berdua saja di rumahku. Kegugupan mulai menjalari perutku. Rasanya ada segenggam kupu-kupu mulai berterbangan di perut. Aneh sekali.
Robert langsung berada di sampingku. Kupikir ia juga pasti merasa lapar. Aku tersenyum kecil padanya dan memberikan bungkusan besar makanan yang kelewat banyak untuk kami makan berdua saja. Robert mengangkat sebelah alisnya dan tersenyum hangat. Ah, lagi-lagi senyum favoritku.
Tunggu dulu, senyum favorit? Sial. Sudah mulai gila rupanya aku ini.
"Makanlah, Vanya. Kau kelihatan kelaparan. Kasihan perutmu," ucapannya. Dapat kurasakan pipiku pastilah kembali memerah. Rasa panas yang menyengat di kedua pipiku, rasanya cukup menyebalkan juga. Kutundukkan kepalaku. Sungguh aneh. Beberapa saat yang lalu aku merasakan perasaan terancam karena dirinya. Mengapa sejarang justru tidak? Seakan ada perasaan lain yang menutupi perasaan takutku bercampur kemarahan aneh itu kepada Robert.
Kucoba abaikan perasaan ini. Kalau tidak, ini bisa berbahaya. Aku tidak mau kembali sakit seperti dulu seperti yang kurasakan kepada Radith semasa sekolah.
Aku duduk di meja makanku, begitu pun dengan Robert. Ia dengan sigapnya menyingkirkan laptopku di atas meja yang awalnya kusulap menjadi meja belajar dandigantikan dengan bungkusan makanan besar. Kerutan di kening Robert mendalam, ia tampak tidak suka dengan suasana di mejaku. Aku sedikit khawatir tentang hal ini, mengapa ia terlihat membenci meja makanku?
"Aku rasa sudah saatnya kau mengganti meja makanmu," keluhnya. Kini aku yang mengerutkan keningku.
"Kenapa?" tanyaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
AURA (20++) (SELESAI)
FantasyVanya; seorang gadis biasa yang hampir tak pernah dianggap oleh sekitarnya. Untunglah masih ada Radith, sahabat yang selalu bersamanya sejak kecil. Meskipun pernah terlibat dalam friendzone, mereka tetap berhasil melaluinya. Hal itu menimbulkan jeja...