[NADA] Semua Berubah Sejak Kenal Dia

221 22 12
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"B-Brian kan?"

Aku langsung menggigit bibir saat menyadari suaraku gemetar ketika memanggil cowok yang duduk di kursi paling ujung dan paling belakang tersebut.

Cowok itu nggak langsung menjawab pertanyaanku, melainkan menatapku dengan tatapan memicing dan sudut bibirnya yang sebelah kiri naik ke atas.

Ya elah, gayanya tengil banget!

"Ya," jawabnya setelah sekian menit berlalu.

'Ya doang?' Aku menahan diri untung nggak melongo begitu mendengar responsnya. Kalau ini zamannya handphone Esia yang harga SMS-nya dihitung per Rp1, pasti pulsanya nggak pernah habis dalam sebulan.

Geregetan, akhirnya aku menggeser kursi besi di sebelahnya dan duduk dengan cepat. "Minggu kemarin ke mana? Kok nggak masuk?"

Brian langsung menatapku seakan aku adalah alien yang baru turun di bumi dan mengatakan kalau kami adalah sahabat sejak kecil. 

"Minggu kemarin tuh Bu Budi nentuin kelompok dan kita satu kelompok buat tugas di semester ini," jelasku ketika tak ada harapan kalau Brian akan kembali bereaksi. "Jadi setiap pertemuan bakal ada tugas dan itu harus berdua ngerjainnya. Tiap minggu juga ada presentasi sesuai sama materi yang kita pelajarin di minggu tersebut. Kita kebagian presentasi di minggu keempat."

"Oh...."

"Brian, lo kalo ngomong emang beneran terbatas cuma satu kata ya?"

Lagi-lagi Brian menatapku dengan aneh, mungkin setelah ini aku harus terbiasa dengan tatapan seperti itu. "Nggak," jawabnya.

"Lha, itu satu kata juga!"

Brian mendengus pelan. Ia menaruh tasnya ke atas meja dan menelungkupkan kepala di atas kedua tangan yang ia lipat beralaskan tas.

"Oh my, semester ini gue hopeless banget," gumamku sambil menatap partner tugasku di mata kuliah Manajemen Pemasaran. Bu Budi terkenal strict, mana mau dia mendengar keluhan mahasiswa yang ingin ganti partner hanya karena si partner malas bicara seperti ini.

Kalau kayak gini mending sendiri nggak sih?

Aku menghela napas dan berusaha mengabaikan makhluk astral di sampingku ini. Hari ini adalah pertemuan kedua dan kelompok pertama sudah akan presentasi. Nantinya akan ada sesi-tanya jawab dan aku berdoa semoga aku nggak ketiduran di kelas kali ini.

Kalau sampai aku ketahuan tidur, bisa-bisa Bu Budi hafal namaku karena hal itu sampai aku lulus sepuluh tahun kemudian.

"Lo ngapain masih di sini?"

Pertanyaan itu membuatku menoleh, wajah Brian yang kini menghadap ke arahku terlihat tak senang. 

"Kan kita partner."

"Nggak mesti sebelahan kan duduknya?" tanya Brian balik dengan malas. Jelas sekali dia ogah dekat-dekat denganku.

"Harus sebelahan," jawabku dengan malas juga. Satu per satu mahasiswa kelas Manajemen Pemasaran ini mulai memasuki kelas dan tidak ada yang duduk di baris belakang—baris yang aku dan Brian tempati.

Sial.

"Makanya, kemarin tuh masuk." Aku memutuskan untuk meledek Brian, sesekali nggak apa-apa kan? "Kata Bu Budi, kalau sekelompok ya mesti duduk bareng. Kan nanti di akhir sesi presentasi bakal ada tugas lanjutan dari Bu Budi."

Terdengar "Hhh," dari mulut Brian yang kemudian mengubur wajahnya kembali ke lipatan tangannya.

"Nanti lo jangan lupa nyatet juga." Aku mencolek lengannya dengan pulpen, sedikit takut kalau tahu-tahu Brian mengamuk karena ulahku—meskipun aku belum pernah mendengar dia pernah mengamuk sih. "Takutnya catetan gue nggak lengkap."

"Hmmm."

"Lo kenapa milih duduk di belakang gini sih?" Aku mengeluarkan binder dan buku yang kupinjam dari perpustakaan. Haram hukumnya kalau masuk kelas Bu Budi tapi nggak bawa buku. "Mata gue minus, tahu. Udah pake kacamata sih, tapi tetep aja nggak keliatan. Ini kan meja kita berundak makin belakang makin naik, jadi makin jauh juga itu papan tulis."

Tubuhku terlonjak kaget ketika terdengar debuman keras dari sebelahku. Ternyata Brian sudah menegakkan tubuhnya dan menatapku dengan kesal. Mungkin suara tadi itu berasal dari tangannya yang menggebrak meja.

Entahlah, cowok ini aneh banget.

"Lo tuh berisik banget, bisa diem nggak sih?"

"Lha, ini kan belum dimulai kelasnya. Nggak ada yang nyuruh mengheningkan cipta juga kan," kilahku dengan malas. "Gue kan cuma nanya, Briaaan."

"It's Bri."

"Apa?" Aku menatapnya dengan clueless. Ditanya apa, dijawab apa—orang ini bener-bener aneh.

"Semua orang manggil gue 'Bri'." Brian mendengus pelan. "Dan kalo lo mau duduk di sebelah gue, nggak usah ngoceh panjang lebar."

"Selagi ini bukan tempat punya lo, lo nggak berhak ngatur gue karena status kita sama-sama mahasiswa juga." Aku memutar kedua bola mataku dengan malas. "Lo tuh kalo ngomel doang banyak ngomongnya. Coba tadi gue pas lagi nanya beneran, lo cuma jawab satu kata doang. Dasar pelit."

Brian melotot begitu mendengar ocehanku, tapi aku nggak peduli. Sebelum dia sempat membuka mulutnya, langkah Bu Budi yang sudah kuhafal terdengar dan benar saja, dosen senior di kampusku itu sudah masuk ke kelas lalu menaruh tumpukan bukunya di atas meja.

"Udah deh, Bri. Satu semester doang kok kita ketemunya. Nggak usah rungsing kayak lagi ngarep dapet arisan terus ternyata bukan nama lo yang keluar di kocokan," ocehku lagi. "Lo tahu rungsing kan?"

Lagi dan lagi (oke, mulai detik ini aku akan terbiasa), Brian menatapku dengan aneh dan mengembuskan napasnya.

Aku berdoa sepenuh hati saat kelompok pertama tengah melangkah maju menuju depan kelas.

Ya Tuhan, kuatkan Hamba di semester ini dan semoga Hamba bisa lolos mata kuliah ini meskipun partner-nya nyebelin banget.

TBC

Cieee, akhirnya selesai juga bab pertamanya~~ Bang Bri belum ngomong banyak di sini (dan entah di bab berapa, wkwkwk). Seneng banget deh bisa nulisin si Pibai alias Bright alias Mas Terang alias Nong Bright (HADUH BARU KALI INI SUKA BRONDONG), HUHUHUHUHU.

Jangan lupa vote dan komennya ya~~





Brighter Days with YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang