[NADA] Ganteng sih, Tapi....

131 15 6
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Gila kali dia, Mei?! Masa udah seharian duduk bareng dia nggak tahu nama gue?" omelku yang tak sanggup memendam kekesalan ini sendirian. "Gue tahu ya gue tuh nggak terkenal, bukan anak organisasi, nobody lah pokoknya—"

"Nah, tuh tahu!" sela Meira atau yang biasa kupanggil Mei biar singkat, padat, dan jelas itu dengan menjengkelkan. "Wajarlah dia nggak tahu elo. Lo siapa, anjir?!"

"Tapi kita kan pernah satu kelas!!" tambahku masih tak terima. "Gue aja tahu orang-orang karena ngeliatin setiap dosen absen. Gue nggak ngarep dia tahu makanan favorit gue, minuman favorit gue, cita-cita gue, golongan darah gue, atau apalah yang biasa kita tulis di binder waktu SD.

"Tapi nama aja lho, Mei! Nama!!!" Aku menggertakkan gigi dengan gemas. "Nama gue aja dia nggak tahu. Ya Tuhan...."

Di depanku, Meira hanya menghela napas dan menyendokkan es buah miliknya kepadaku. Aku pun menerima suapannya dengan sepenuh hati. Rezeki nggak boleh ditolak.

Meira dan aku sudah berteman sejak kami masuk ke universitas ini. Karena sama-sama sendirian dari SMA asal, kami jadi mudah dekat sejak hari pertama duduk di kelas yang sama. Sayangnya ketika harus memilih konsentrasi, dia memilih Keuangan dan aku berakhir di Pemasaran.

Sudah hampir 24 jam sejak pertemuan pertamaku di semester ini dengan Brian dan kekesalan itu masih melekat sempurna di kepalaku. Semalam saat sedang merenung sambil ditonton Netflix (iya, aku hanya memutar film secara asal supaya ada suara saja di kamar selagi aku melamun), aku baru ingat kalau kami pernah satu kelas di mata kuliah Bahasa Inggris.

Mata kuliah itu ada di semester satu, aku juga baru ingat karena semalam scrolling akun Instagram dan menemukan foto kami sekelas di hari terakhir kuliah sebelum UAS. 

Brian ada di foto itu, berdiri paling belakang dan paling ujung karena dia paling tinggi.

Bayangkan, empat belas pertemuan dengan dua kali hari ujian, masa iya dia tidak ingat namaku?

"Udah?"

Pertanyaan Meira membuyarkan lamunanku. Aku tahu, yang dia maksud adalah apakah aku sudah puas melampiaskan kekesalanku yang dianggap angin tanpa nama oleh seorang Brian.

"Udah." Aku meraih sendok yang Mei pegang dan mengambil isi mangkoknya. "Semoga gue tahan satu semester sama dia."

"Tahan-tahaninlah. Ganteng juga kan dia, hitung-hitung cuci mata."

Senyum jahil di wajah Meira membuatku melengos. 

"Emang sih ganteng, tapi... percuma kan kalau nggak bisa diajak ngomong?" 

Dinding ditempelin mukanya Donghae juga ganteng!

Kalau udah gitu kan sama aja kan kayak Brian—ganteng tapi nggak bisa diajak ngomong!

Meira langsung tertawa ngakak di hadapanku dan mengundang perhatian orang-orang di sekitar kami, lebih tepatnya di jajaran meja yang ada di PJP—Pusat Jajanan Pancoran, yang letaknya memang di sebelah kampus kami dan jadi area tongkrongan tetap sebagian besar mahasiswa.

"Bener juga sih. Tapi kan bisa diajak pacaran."

"Lha, percuma pacaran kalau nggak bisa ngomong. Mau diajak ngapain dong?"

"Ciuman?"

"Orang gila!"

Meira kembali tertawa saat aku menoyor kepalanya dengan kesal.

"Eh, lo follow dong Instagram-nya." Meira bergerak cepat mengambil handphone-ku yang tergeletak di atas meja. "Biar jadi bestie, Nad. Partner presentasi harus akrab, biar nanti pas maju ada chemistry." Meira terdiam sejenak lalu berkata, "Wow, omongan gue ada rimanya!"

"Please deh...."

Meira tak memedulikan protesku. "Gue juga belum temenan sama dia sih, tapi kayaknya si Edo temenan sama dia. Kita cari dari following Edo aja."

"Edo yang anak Mapres?"

"Iya, mereka katanya tetangga."

"Oh, si Brian rumahnya diapit rumah manusia juga?" Aku menopang daguku dengan tangan kanan. "Gue pikir rumahnya di hutan sendiri, makanya nggak bisa komunikasi sama manusia."

"Damn, you're so funny, Nad." Entah untuk yang ke berapa kalinya Meira tertawa karena omonganku hari ini. "Ikut lomba stand up comedy dong, Nad. Wakilin anak mene*. Biar lo nggak jadi nobody lagi."

"Yang ada baru mau buka mulut di depan mic, gue langsung dilempar tomat busuk," jawabku dengan malas. "Mei, lo nggak beneran mau follow dia pake akun gue kan?"

"Ya kali gue ngomong doang," sahut Meira. "Nah, ketemu nih."

Tadinya aku nggak mau melihat akun si Brian itu, tapi lirikan jahil Meira yang seakan-akan berkata 'Yakin nggak mau ikut liat cogan?' membuatku akhirnya mencondongkan tubuh ke depan, ikut nimbrung melihat akun Brian yang tengah dilihat Meira menggunakan akunku.

"Lha, sepi amat kayak kuburan," celetukku saat melihat akun Instagram Brian yang tidak ada isinya.

Tidak ada foto sama sekali. Tidak ada tulisan di bagian bio-nya.

"Cowok cool kan emang biasanya jarang pasang foto, Nad."

"Cool-kas kaleee."

Meira terkekeh dan dengan santainya menekan tombol Follow di akun Brian. "Done!" kata Meira dengan riang.

"Haduh, nambah-nambahin jumlah following gue aja lo, Mei," keluhku sambil mengambil alih handphone-ku dari Meira. "Belum tentu juga kan di-follback sama dia."

"Emang lo pengen di-follback sama Brian."

"Iyalah!" jawabku dengan cepat. "Biar jumlah following gue nggak timpang sama followers gue, Mei!"

"Bodo amat, Nad." Kali ini ganti Meira yang menoyor kepalaku. "Eh, taruhan yuk, Nad. Di novel-novel yang gue baca, orang kalau taruhan pada seru deh."

"Lo kebanyakan baca Wattpad."

"Kayak lo nggak aja," cibir Meira. "Tapi serius, buat seru-seruan aja nih. Gue sih tahu pasti gue yang menang."

"Dih, songong." Aku mendelik kesal kepada Meira. "Taruhan apaan sih? Lo nyuruh gue bikin Brian naksir gue dalam tiga puluh hari?"

"Lo pikir ini film jadul? Lagian kita realistis aja, Nad. Goals taruhannya kalau itu terlalu tinggi buat lo dan gue."

"Sial!"

Meira malah tertawa senang selagi aku keceplosan mengumpat beberapa kali. "Ayo, kita taruhan. Sampai akhir semester ini, lo bisa nggak bikin foto lo di-upload dengan sukarela dan hati lapang di akunnya Brian? Taruhannya, yang kalah harus traktir Hokben setahun full."

Brian upload fotoku di Instagram-nya?

Tanpa pikir panjang, aku segera menggebrak meja hingga (lagi-lagi) mengundang raut wajah penuh tanya dari orang-orang di sekitar kami.

Tapi bodo amat! Enak aja taruhannya begitu! Itu sih jelas aja aku bakalan kalah....

"Mei gilaaa! Susah bener!"


TBC

Hahahahaha, ini terakhir update kapan ya? Gara-gara kangen Bright jadi nulis ini deh, lumayanlah, menjernihkan otak sejenak.

*mene: sebutan untuk jurusan Manajemen 


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 18, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Brighter Days with YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang