Bab 1

19 2 0
                                    

Bab 1.

Yang terburuk sudah tertutup di hatinya—memang tidak selalu manis, itu harga yang cukup pantas mengingat tabungan lelaki itu agak menipis dan membiarkan fantasi istimewanya bersama Frank Sinatra dan empat sekawan anak-anak Annihilator di Auditorium, bernyanyi bersama mengumandangkan album Leo Sayer yang diterbitkan tahun 1973. Dia duduk di teras, menepis senja dan menahan syahwat ketika dua gadis yang baru saja menerima gaji pertama bekerja di sebuah toko makanan ikan dengan memvisualkan dalam usaha keras; dua gadis yang hanya mengenakan celana dalam dan tanpa Bra, berjalan melintasi depan pekarangan; tanpa bunga atau tumbuhan indah tertanam di sana, hanya tanah kering, seperti mayat mati lusa dengan kulit terkelupas tetapi memaksakan bangkit dari kubur dan menepis butiran tanah-tanah kering itu di sana.

Apalagi yang diminta Hendra Syah; selalu ingin kehidupan yang manis, tetapi sudah dua Bulan dia menganggur dan berharap istrinya mematung dengan prinsip diam tanpa merengek dan menyemburkan opini-opini yang dapat melukai hatinya. Kedua anaknya; Nisa dan Rian, tingkahnya memang manja, syarat emosional terlalu rendah; begitu manis dan penuh harapan, mereka berpikir tentang kehidupan di sekolahnya yang baru jika sang ayah nantinya bersedia menjual rumah ini. Tapi malam-malam yang telah dijalani, hanya ada satu pertanyaan di kepala anak-anak itu; kapan rumah ini akan direnovasi; dapurnya yang terlalu berdempet dengan kamar mandi, memang agak menyesakkan, jijik pun tidak terlalu, tapi itu gila. Kau akan bebas tertawa ketika ayah dan mamamu berencana untuk memisahkan dapur dan kamar mandi di posisi yang agak jauh. Lagipula, siapa yang betah masak ikan kaleng di saat aroma kotoran seseorang menguar dari kamar mandi. Kurang ajar betul, Kawan. Itu sungguh merugikan. Tuhan Yang Maha Esa, berikan hamba kesabaran dari orang-orang yang jorok.

Karena tingkat kecemasan kedua remaja itu telah membiarkan ruang kegelisahan sang ayah terbuka tanpa hambatan yang biasa dijelaskan Iblis di Neraka, akhirnya rumah itu terjual hanya dalam waktu beberapa jam saja. Pembelinya seorang lelaki tua berumur 65 Tahun dan meracau tentang diskon celana katun yang tidak diperolehnya hanya karena telat lima menit saja untuk sampai di gerbang toko pakaian itu, dan tiba di rumah, lelaki tua berkelit, menendang termos seraya meludah dan mengumpat tentang rambut Jhonny Tilotson yang seperti cacing pita bergumul dan mengutuk anak sulungnya yang salah memberi info bahwa diskon toko pakaian tersebut hanya diperuntukkan khusus remaja dan bukan lansia.

Hari-hari selanjutnya mengawali suhu berkisar 30°C, Andri Jermawan sebagai lelaki tua tersebut, mendengar kabar dari kawan lama, bahwa seseorang akan menjual rumah dan dia berpikir dengan kecepatan di atas rata-rata sangat mewah, untuk membeli rumah itu, dan mungkin—memang semestinya begitu, dia merasa yakin akan mendapatkan sejumlah kenyamanan jika berpisah dengan sang anak. Andri tidak ingin lagi satu rumah bersama anak sulungnya dan dia merasa ambisinya suatu kelebihan yang bergairah dan patut disyukuri dengan cara memutar Jhoony Cash dengan gramofon tua yang diperolehnya sejak 40 Tahun yang lalu di suatu toko musik yang sekarang toko itu sudah berganti dengan bangunan tua yang dihuni sekelompok remaja pemuja cinta yang tidak dapat membedakan wajah nenek-nenek dan wajah gadis.

Mereka bertemu di suatu tempat yang membutuhkan rasa pantas untuk membiarkan harga diri semakin melonjak dan terhalang dinding penyiksaan dunia yang tak ada habisnya. Hendra semakin takjub menyadari gaya bicara Andri yang menurutnya seperti ada sistem kepentingan tersembunyi di sudut bibir lelaki tua tersebut, dan kepercayaan diri itu semakin meningkat, telah lama rasanya sesuatu itu tidak muncul dan mengapung di hatinya. Dua jam mereka membiarkan kepercayaan diri itu dipertemukan—dan rumah itu akhirnya sudah menjadi milik Andri. Bisnis sudah selesai. Waktunya makan enak.

Hendra kembali ke rumah dan lelaki tua memberi waktu tiga hari untuk segera angkat kaki dari rumah tersebut. Terpaksa rasanya menyedihkan, tapi dia butuh uang dan uang akan membuat istri dan kedua anaknya bahagia. Sudah pasti akan munculnya proses demi proses tentang menjalani kehidupan dan suatu waktu, akan terbit peristiwa yang paling agung sekalipun demi mencakupi apa yang disebutnya sebagai biaya hidup sehari-hari.

Dalam rangka pencarian rumah baru, Hendra hanya membutuhkan waktu dua hari untuk menemukannya dan itu terjadi saat hujan deras, berteduh di warung kopi bersama penjual rumah dan memaksakan suatu kehendak kepentingan sendiri, atau bahkan kepentingan keluarga sekalipun. Pagi-pagi sekali Hendra membawa keluarganya ke rumah baru sementara barang-barang perabotan sudah tiba sejak tadi malam dan itu sangat praktis hanya dengan menyewa truk dan tiga orang untuk memindahkan semua benda-benda itu.

Di depan pekarangan rumah baru, tentu sebuah keluarga yang hendak masuk akan menyempatkan sedikit waktu untuk melihat suasana sekitar.

"Jadi ini rumah baru kita, Yah," Nisa selalu menjadi gadis yang merasa sebagai penanya pertama.

Dan sudah waktunya kegembiraan itu menjadi lebih praktis ketika Hendra menjawab pertanyaan anak sulungnya, "Betul, bagaimana menurutmu?" kemudian dia menoleh pada istrinya.

"Sangat bagus, Mas," dan keinginan memeluk sang suami, tampaknya dirasakan betul oleh Mia.

Hendra berkata pada anak bungsunya, "Rian, kamu suka tidak dengan rumah ini?"

Sebenarnya tidak ada pertanyaan yang sulit hanya karena menahan rasa mual, dan Rian hanya mengangguk. Dalam perjalanan tadi, sungguh tidak enak rasanya di tenggorokan, remaja itu hanya diam dan menahan rasa ingin muntah. Tetapi sebenarnya cara remaja itu bereksprimen menahan muntah, dilakukannya dengan melihat gambar-gambar aneh di internet dan mungkin kau bisa beranggapan bahwa itu adalah gambar gadis-gadis seksi.

Tidak heran membayangkan visual kedatangan Ray Charles atau Paolo Maldini sekalipun menyambut kedatangan mereka di liang pintu, akan tetapi, rasanya telah betul cukup aneh ketika Hendra maju selangkah menuju pintu. Dan istrinya merasakan apa yang memang terjadi pada gerakan lelaki yang tiba-tiba berhenti melangkah cukup mengejutkan.

Kamu kenapa, Mas?" tanya Mia yang memungkinkan sebagai sekadar basa-basi. Tentu itu bukan pertanda yang baik

"Perasanku jadi nggak enak," dan Hendra melirik ke sana kemari, seperti sudah tugas mulia dan kepingan misteri muncul ke permukaan.

''Kamu pastinya lelah, aku tahu itu, nanti aku masakkan ikan kaleng, ya," Mia adalah kenyamanan dan kegembiraan, seperti yang kaubayangkan, wanita unggul betul selama di dapur dan pria hanya menikmatinya di ranjang. Sungguh laki-laki kurang ajar.

TEROR DI SEKOLAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang