twenty eight

20.3K 1.9K 113
                                    

Adik-adik Lisa memang sudah tak lagi melayangkan tatapan sinis kepada Kevin. Namun mereka masih tidak mau berbicara panjang lebar dengan pria itu, tidak seseru dulu ketika Kevin menginjak bangku SMA.

"Permisi." tiba-tiba saat berkumpul bersama di ruang tamu di malam hari, seseorang datang mengunjungi mereka.

Lisa dan adik-adik serta orang tuanya menoleh ke sumber suara. Kevin datang bersama seorang pria yang tak dikenali, dahi Lisa mengernyit bingung melihat aura permusuhan dari orang di samping ibunya.

"Pak Rudy. Ada keperluan apa anda repot-repot datang ke sini?" tak ada nada ramah. Hardi malah menatap tak suka lawan bicaranya.

"Saya ingin membicarakan perancangan penambahan taman pada hotel Pak Kevin." jawab Rudy ramah, senyum canggung terpatri di wajahnya.

Perlahan, semua adik-adik Lisa beranjak dari duduknya. Sedangkan Lisa mengambil sebuah dokumen di kamarnya, selaku sekretaris Kevin dia harus siap di mana pun perannya dibutuhkan.

"Silahkan masuk Pak. Saya buatkan teh." Laras tersenyum ramah, tak sadar hal itu membuat rahang Hardi mengetat.

"Terima kasih Bu Laras." sorot mata Rudy memandang Laras penuh kekaguman.

Hardi berdecak dalam hati. Istrinya selalu berbicara pada Kevin kalau pria itu bisa menganggap rumah Hardi adalah rumahnya sendiri. Dia boleh bebas membawa rekan kerjanya di jam berapapun, selama ini Kevin tak pernah menggunakan kekuasaan yang diberikan Laras.

Sebenarnya mengajak Rudy ke rumah Hardi bukan kemauan Kevin. Namun keadaan yang memaksanya untuk mengajak Rudy berbincang mengenai perbaikan hotel Adrian yang ingin di ubah di beberapa bagian.

Frans berada di Bali. Dia melimpahkan tugasnya selama 4 hari kepada kakaknya.

Laras datang membawa segelas teh ke hadapan Rudy dan Kevin. Baru dirinya ingin beranjak, tapi Lisa menginterupsi kegiatannya.

"Mama, Lisa mau tanya pendapat." Lisa meminta Laras tetap tinggal. "Papa bisa pergi ke kamar kalau pengen langsung tidur."

Hardi mendelik. Anak macam apa Lisa ini, membiarkan ibunya digondol lelaki lain. Tak paham situasi jika Hardi cemburu?! Anak tidak peka. Kedudukannya sebagai suami terancam kalau begini caranya!

"Papa juga ingin melihat hasil rancangan Rudy."

Peran Laras betul-betul dibutuhkan Lisa. Kakeknya yang tak lain ialah ayah ibunya seorang arsitek terkenal dan berpengalaman. Laras mengetahui banyak hal tentang rancangan seperti sekarang.

Yang tidak dibutuhkan itu peran Hardi. Hanya melotot tak membantu apapun, maka dari situ Lisa simpulkan ayahnya sedikit menjadi beban.

Rudy menggelar kertas yang dibawanya lalu menaruh laptop di samping rancangannya. Dia mulai menjelaskan bagian-bagian yang tidak diketahui Hardi. Sesekali Laras menimpali dengan memajukan tubuhnya lalu menunjuk lokasi yang tidak dia ketahui maksudnya.

"Jadi taman bermain anak-anak akan saya perlebar, lalu dari hasil survei kemarin. Hotel tersebut tidak memiliki kolam khusus anak-anak. Sedangkan anak-anak banyak lebih tertarik bermain air daripada orang dewasa."

Hotel Adrian yang dibahas tergolong hotel yang di khususkan untuk keluarga. Sebagian besar penghuni hotel yang menyewa tempat di sana juga sebuah keluarga.

"Menurut saya semua yang Pak Rudy rencanakan sudah baik." puji Laras. Rudy tersenyum malu dipuji terang-terangan oleh wanita yang dia kagumi.

Bukan kecantikan Laras yang membuatnya kagum. Wanita itu memiliki wawasan luas, terlihat pintar di berbagai acara. Tak mempermalukan suaminya di depan khalayak dan pandai menempatkan diri.

Wanita smart pasti terlihat cantik. Tapi wanita cantik belum tentu terlihat pintar.

Kevin mengangguk paham. Semua pertanyaan sudah terjawab dan sekarang waktunya dia membicarakan kapan pembangunan itu dilaksanakan.

Setelah semua setuju. Rudy mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Menyodorkan benda itu ke meja, lebih tepatnya ke arah Laras.

Lisa menyimpan kertas yang berisi catatannya ke dalam map. Dia ikut menatap bingung undangan dari Rudy.

"Apa anda ingin menggelar pernikahan?" terselip suara penuh kemenangan dari kata-kata datar Hardi.

"Bukan saya yang menikah. Tapi anak saya." bantah Rudy. "Saya harap Bu Laras datang." lanjutnya penuh harap.

"Saya dan istri saya pasti datang." sela Hardi.

"Undangannya untuk berdua bisa Pak? Kalau cuma bisa satu undangan, satu orang. Saya bisa datang sendiri." balas Laras. Diam-diam Lisa tertawa melihat wajah pias ayahnya, seru sekali epribadi. Manusia bucin jika sudah disindir pasti terkena mental.

"Ma." Hardi meremas jemari Laras yang sedari tadi terus di dalam genggamannya.

"Berhubung Pak Rudy juga hanya memberi satu buah undangan."

Hardi beranjak dari duduknya. Lama mendengar ucapan istrinya dia semakin tak tahan. Jadi seperti ini rasanya kalau dia memberitahu diajak berangkat menghadiri suatu acara bersama rekan kerja kepada istrinya.

Ternyata menyesakkan.

"Huuu, baperan!" seru Lisa setelah tubuh Hardi menghilang dari balik tangga. Biarkan kaki ayahnya pegal menaiki tangga dari lantai satu tinggal lantai 3.

"Bu Laras bisa menghadiri acara anak saya bersama siapapun. Tak ada batasan orang di setiap undangannya." sahut Rudy tenang seolah tak mengerti yang terjadi di sekitarnya.

Rudy berdiri, dia menjabat tangan Kevin, Lisa dan Laras secara bergantian. Dia berpamitan pulang dan meninggalkan tiga orang di ruang tamu menoleh pada Laras.

"Apa?" tanya wanita itu polos.

"Papa ngambek." balas Lisa.

"Bodo amat."

"Tante gak seharusnya berbuat seperti itu di depan Om Hardi." ucap Kevin membela calon ayah mertuanya. Dia tentu tahu apa yang dirasakan Hardi sekarang. Dia juga akan marah bila ada pria yang berniat mendekati Lisa.

"Kak," Lisa menengahi sebelum ibunya mengeluarkan suara. Jika Kevin berpihak pada ayahnya, Lisa berada di garda terdepan mendukung ibunya. "Papa boleh berinteraksi sama semua orang. Gak perduli itu pria atau wanita, sampai ada perempuan yang berniat deketin Papa dengan modus mengajak berangkat bersama. Kenapa Mama enggak? Kesannya gak adil dong di Mama."

"Tapi Sa—"

"Dan apa kemarin? Papa minta ijin sama Mama. Berarti itu sama Papa kasih lampu hijau ke wanita itu kan? Ngapain berangkat bareng cewek yang gak ada hubungan apa-apa sama Papa?"

"Om Hardi cuma gak mau mengecewakan rekan kerjanya."

"Ya udah. Itu yang dilakuin Mama. Om Rudy rekan kerja Papa. Otomatis Mama harus menjaga supaya tetap baik di mata Om Rudy. Toh mereka gak berangkat bareng, Mama cuma datang ke acara resepsi pernikahan anak Om Rudy. Berbeda sama Papa yang 'mungkin' berangkat bareng Bu Ayu." Lisa menekan kata mungkin agar tidak ada yang salah paham.

Kevin terdiam tak membalas. Bahkan mereka tak sadar Hardi menguping dari balik tembok pembatas antara ruang tamu dan ruang perpustakaan di lantai satu. Dia tak jadi pergi ke lantai tiga.

"Jangan menendang jika gak mau ditendang. Sebelum ngomong lebih baik sadar diri sama kelakuan sendiri. Dirinya sendiri belum bisa bener, gak usah sok ngatur orang lain." tambah Lisa tak suka. "Mama gak sepenuhnya salah, Mama cuma ngasih tau gimana rasanya digituin sama orang yang dia cinta."

Lisa menarik tangan Laras menjauh dari Kevin. "Udah, Mama hari ini tidur di kamar aku aja kalau Papa masih marah."

*******

Ada yang kangen Laras-Hardi? Bab berikutnya mungkin mendominasi percakapan mereka.

Buat pembaca yang belum tahu Laras-Hardi. Bisa cek di profilku, judulnya Duda.

Me And Mr. Billionaire [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang