Tidak sengaja yang disengaja

42 6 0
                                    


Kalau akhir pekan begini, runtinitas sebagian besar manusia adalah bangun siang. Rama menendang malas selimutnya, suara kucing yang entah kelaparan atau sengaja mencari perhatian cukup berhasil mengusik tidurnya yang baru dimulai selepas azan subuh.

Ternyata salah satu kaki kucing itu tersangkut pada gorden jendela kamarnya. Kucing-kucing yang ia tampung waktu itu cukup aktif untuk memporak-porandakan kamarnya yang memang sudah berantakan pada dasarnya.

Rama menggulung penutup jendelanya supaya tidak mampu digampai sekumpulan anabul jahil itu. "Lo pada jangan berisik, gue butuh tidur. Kalo gue sakit, lo pada yang rugi kagak ada yang ngasih makan"

Ya mau tidak mau, sekarang Rama punya beban hidup lain selain menafkahi dirinya sendiri yang saban hari cuma bisa makan nasi bungkus atau indomie pada malam hari.

Belum sempat kembali ke dunia mimpi, pintu kamarnya yang memang tidak pernah dikunci, dibuka dengan tidak manusiawi dari luar.

"Gue pinjem motor dong Ram" manusia yang menyapanya dengan tidak manusiawi itu berdiri sambil menyusuri ruang, mencari kunci motor  dibanding meminta izin untuk meminjam, ini lebih mirip seperti perampasan bukan sih?

"Deket galon" Rama menjawab seadanya, mempercepat pencarian yang menunda tidurnya.

"Oh oke. Thanks bro" dan bam, pintu kembari ditutup dengan suara yang tidak kalah keras seperti saat tadi di buka.

"Setan lo Yo" sedang orang yang diumpat kemungkinan besar tidak bisa mendengarnya, atau memilih untuk tidak menanggapinya dan Rama sudah terlalu kesal untuk sekedar melanjutkan tidurnya.

Sialan.

Terlalu pagi untuk bangun diakhir pekan dan terlalu malas untuk kembali tidur, Rama menyalakan dispenser, menunggu air dingin mendidih. Bersiap menyeduh kopi tanpa gula.

Mencuci muka dan menyikat giginya, Rama menemukan pantulan wajahnya dengan sisa-sisa oli mesin semalam yang terlalu malas untuk ia bersihkan. Kalau bukan karna dapat upah dua kali lipat daripada saat jam kerja normalnya, Rama jelas tidak akan mau membenarkan mobil mogok di jam 3 pagi.

Tempat yang terlihat menyeramkan waktu malam, akan terlihat lebih manusiawi diwaktu begini. Kawasan pemukiman dekat rel kereta, di jam-jam segini akan banyak anak-anak yang siap turun ke jalan, entah untuk menjual koran, cangcimen atau mengutil di tempat-tempat ramai demi menambah jatah makan.

Sebenarnya tempat ini tidak jauh lebih baik dibanding gang buntu sialan itu, tapi tempat ini tidak pernah menjajakan manusia untuk ditawarkan. Setidaknya itu sedikit lebih baik, untuknya.

Menarik kaos oblong hitam yang sudah lusuh dari sudut ruang, memakainya sebelum keluar kamar untuk mencari sarapan di ujung jalan.

"Mau kemana bang?" Adit, anak kecil yang biasa menjual tissue dan koran di lampu merah depan menyapanya.

"Makan. Mau ikut lo?"

"Udah punya gue" Adit menunjukkan sterofom putih yang ia bawa bersama plastik hitam besar berisi dagangannya.

"Abang mau? Noh di bawah jembatan ada yang bagi makanan"

"Tiati lo nerima makanan dari orang asing"

"Dih suuzon. Dia mah tiap minggu emang nangkring di sana, numpang tidur" Adit menunjuk mobil yang terparkir tidak jauh dari kolong jembatan.

"Balik sana lo"

"Emang mau balik gue" Adit menjulurkan lidahnya lalu berlari menjauhi Rama.

Rama memang beberapa kali pernah melihat mobil itu terparkir di sana, tapi tidak pernah tahu itu milik siapa. Atau lebih tepatnya ia tidak pernah berniat mencari tahu, untuk apa kan?

Tapi kali ini Rama sedikit ingin tahu, siapa orang yang katanya membagi makan pada anak-anak dan numpang tidur di tempat seperti itu. Orang normal mana yang akan melakukan hal semacam itu?

Ia hanya mengamati sepanjang jalan menuju warteg, berhubung ada di satu arah yang sama, tidak masalah bukan kalau ia sekalian memastikan?

Ia melihat seonggok tubuh duduk berselonjor menyandar pada tiang jembatan, wajahnya tidak begitu kelihatan. Tapi kalau dilihat dari perawakan, orang itu pasti perempuan.

Dirasa sudah cukup rasa ingin tahu konyolnya itu terpenuhi, Rama berbelok kenuju warung yang ada tepat di belakang masjid.

________________

Suara dering telfon yang berbunyi membangunkan Agia dari tidur menjelang siangnya. Tantenya menelfon, menanyakan ia ada dimana dan berbasa basi sedikit untuk menanyakan apa ia butuh sesuatu untuk dibawakan.

Agia tidak tahu mengapa, tapi tempat yang tidak nyaman sama sekali ini bisa membuat ia tidur terlelap hampir satu jam lamanya. Membawa tubuhnya berdiri, Agia memutuskan untuk berjalan menyusuri rel kereta.

Berjalan entah kemana, hanya membawa kakinya lurus jalan ke depan mengikuti rute rel kereta.

"Jam segini gak ada kereta" sebuah suara membuat Agia menoleh. Menemukan seseorang yang berdiri tidak jauh darinya dengan tangan menenteng kantong makanan.

Agia menatapnya tanpa bicara, tidak mengerti apa yang dimaksud laki-laki itu pada awalnya, tapi ia lalu tertawa.

"Lo mikir gue mau bundir?" Agia berujar sambil terus terkekeh.

"Bagus kalo bukan" laki-laki itu mengangguk, hendak berbalik dan melanjutkan perjalanannya.

"Lagian kenapa orang milih mati di tumbur kereta? Apa bagusnya meninggalkan tubuh yang hancur" Rama mengernyit mendengarnya.

"Lo pikir mereka masih bakal mikir ke sana?"

"Ah iya. Bener juga" Agia mengangguk.

"Berapa kali lo liat kejadian kayak gitu? Apa yang lo rasain? Kasihan?" Agia kembali bertanya dengan mentap lawan bicaranya.

"Mereka udah terlalu banyak dikasihani tanpa dikasih jalan keluar. Jadi kalau itu jadi satu-satunya keputusan, siapapun gabisa menyalahkan. Karna gaikut merasakan" pft, Rama hampir menertawakan diri sendiri dengan apa yang baru saja dia katakan. Coba lihat siapa yang berbicara, titisan mendadak Mario Tegah?

"Uuuuu. Gue ketemu orang bijak ternyata, tapi gimana kalo itu cuma jadi alasan buat enggak mau berjuang lebih lama?"

"Entahlah, tiap orang punya keputusan buat dirinya sendiri" Agia hanya mengangguk mendengarnya.

"Apa lo punya situasi semacam itu?" Agia melanjutkan.

"Mati?"

"Ya"

"Tiap orang bakal mati juga kan? Caranya doang yang gak sama"

"Kalo boleh milih, mau mati yang gimana?"

"Memang apa bedanya?" Dan lagi-lagi Agia hanya mengangguk, sependapat dengan laki-laki asing di hadapannya.

"Gue Agia" Agia mengulurkan tangannya lalu tersenyum. Rama yang tidak mengerti situasi macam apa ini, hanya ikut menjulurkan tangannya menjabat Agia lalu menyebutkan namanya.

"Gue harus pergi sekarang, sampai jumpa lagi? Rama?" Agia tersenyum, lalu melangkah tanpa menunggu Rama membalas salam perpisahannya.

Memangnya dimana mereka bisa bertemu? Ya lagipula apa yang diharapkan dari basa-basi semacam itu? Jadi yang dilakukan Rama hanya melihat punggung itu menjauh, lalu kembali ke kamarnya dengan nasi bungkus yang hampir dingin.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 09, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

C H A O STempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang