Prolog

478 40 2
                                    

Malam itu begitu sunyi, senyap dan gelap. Diiringi rintikan air hujan yang semakin lama kian deras dengan hawa dingin yang menusuk hingga ke dalam pori-pori kulit. Jika saja persediaan mie instan tidak habis atau kakaknya yang tidak lupa berbelanja bulanan, ia mungkin tidak akan memberanikan diri dengan berjalan seorang diri menuju minimarket di ujung gang. Ah, paling tidak jika sang kakak tidak terlihat depresi setelah bergadang mengerjakan skripsinya, ia tidak harus kedinginan di tengah hujan dengan bermodalkan hoodie hitam kebesaran.

"Sekalian isi pulsanya, Kak?"

"Nggak," jawabnya dengan jutek.

Gadis berambut hitam sebahu itu hanya memandang dalam diam pada kasir minimarket yang tengah menghitung total belanjaannya, sebelum akhirnya keluar dengan tergesa. Sayangnya, ia harus menelan kekecewaan saat melihat hujan yang justru semakin deras. Selain itu, hanya dirinya seorang yang tidak membawa payung seperti orang bodoh.

"Ris, Ris. Gobloknya ngga pernah ilang," gerutu gadis itu.

Tak ada pilihan lain, akhirnya ia memilih untuk menerobos derasnya hujan. Mungkin kasir minimarket itu akan menganggapnya seperti orang bodoh dan idiot.

Gadis itu berlari dengan sedikit pelan karena penglihatannya yang sedikit buram ketika malam hari. Dan lagi, dengan bodohnya ia tidak memakai kacamata minus miliknya. Benar-benar sangat merepotkan bagi dirinya yang rabun jarak jauh. Langkahnya terhenti saat melihat seseorang yang berjalan dengan bertopang pada tembok tinggi di sepanjang gang.

Ia langsung menutup mulutnya saat seseorang itu jatuh dan menyandarkan tubuhnya pada dinding tinggi itu. Seolah tak peduli akan rintikan air hujan yang membasahi tubuhnya. Gadis itu berjalan dengan kaku, hatinya ragu hendak mendekat atau menjauh. Ia bisa saja pulang dengan memutar jalan lain, meskipun membuatnya lebih lama untuk sampai di rumah. Namun, bukan dirinya jika tidak berbuat nekat.

Tubuh gadis itu menegang kaku dengan raut wajah terkejut saat ternyata seseorang itu terluka. Mau tak mau ia harus menolongnya, hitung-hitung mencari pahala setelah banyak timbunan dosa.

"Lo nggak papa?" tanyanya dengan setengah gagap saat menyadari bahwa seseorang itu berjenis kelamin laki-laki.

Gadis itu lantas menepuk jidatnya. Sudah tahu jika orang di depannya sedang terluka, ia justru bertanya hal bodoh. Tak hentinya ia mengumpat dalam hati.

Hening.

Sepertinya orang itu pingsan atau mungkin saja ia malas menjawab pertanyaannya yang sangat bodoh. Tangan gadis itu terulur hendak menyentuh laki-laki itu, sebelum sebuah suara sedikit serak dan berat itu terdengar.

"Sshhh ... don't touch!"

Gadis itu langsung tersentak saat sebuah netra abu-abu yang menatapnya tajam juga sangat dingin, bahkan melebihi dinginnya udara malam ini.

"Tangan gue banyak virusnya kali yah?" gumamnya pelan.

Gadis itu memundurkan langkahnya dengan sedikit ketakutan saat laki-laki itu berdiri dan berjalan mendekatinya. Tubuhnya bergetar dengan keringat dingin yang mulai bercucuran.

Tap

Tap

Tap

Terdengar langkah kaki beberapa orang yang semakin mendekat. Pria itu langsung waspada akan sekitarnya. Kesempatan ini membuat gadis itu untuk berteriak meminta pertolongan.

"To--hmpfftt!"

Terlambat. Laki-laki itu langsung membekap mulutnya. Tanpa kata, laki-laki itu menarik tangan gadis itu dan membawanya pada celah sempit tembok gang dengan tangan yang masih membekap mulut gadis itu.

Tubuh gadis itu semakin menegang kaku dengan ketakutan yang sangat besar. Terlebih lagi, celah sempit itu hanya diperuntukkan satu orang. Sehingga, tubuh laki-laki itu mengukung dan menghimpitnya. Tak hanya itu, matanya membelalak ketika melihat pisau berlumuran darah menempel di lehernya.

Dalam hati ia banyak-banyak berdoa untuk keselamatan dirinya. Seharusnya ia tidak sok berani atau sok malaikat dengan menolong laki-laki di hadapannya ini, jika pada akhirnya ia yang akan mati sia-sia. Sial! Tidak mungkin kan dia mati dua kali.

"Diam atau mati?"

Tubuh laki-laki itu semakin mendekat hingga hembusan nafas berbau mint itu menghembus pada wajahnya. Suara langkah kaki beberapa orang semakin terdengar jelas, sebelum akhirnya langkah kaki itu menjauh lalu tak terdengar lagi.

Laki-laki itu langsung melepaskan tubuh gadis dalam kukungan tubuhnya. Perlahan, ia menarik gadis itu kembali pada jalan gang.

"Tetap diam! Jangan berteriak!" Gadis itu hanya mengangguk dalam diam.

Beberapa saat, pria itu nampak mengamati sekitarnya. Secara perlahan ia melangkahkan kakinya menjauh, sebelum sebuah tangan mungil menarik ujung hoodienya.

"I-ini," ucapnya pelan dengan kepala tertunduk seraya mengulurkan sebuah plaster bergambar hati.

Laki-laki itu mengangkat alis dengan tatapan yang masih dingin juga tajam. Membuat gadis itu ketakutan lagi, juga sedikit ragu.

"I-ini plaster."

Gadis itu langsung menepuk jidatnya dengan pelan. Melakukan kebodohan berkali-kali dalam semalam. Pasti laki-laki menyeramkan itu menganggapnya aneh seperti orang lain kebanyakan.

"Lo luka. Siapa tau, lo butuh plaster ini."

Tanpa menunggu balasan laki-laki itu, gadis berambut hitam sebahu itu langsung melangkahkan kakinya menjauh. Meninggalkan laki-laki itu yang masih terpaku menatap plaster berbentuk hati di tangannya.

Laki-laki itu menatap plaster dan luka pada perutnya secara bergantian. Lalu, sebuah smirk perlahan muncul pada bibirnya.

"Stupid girl."

Bersambung....

Love From The Darkest Side Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang