SATU

6 1 0
                                    

GADIS itu sepenuhnya menyadari, jika dirinya bukan lagi seorang gadis yang bebas berkeliaran ke mana-mana. Juga bukan lagi remaja labil yang bebas bertindak sesuka hati. Terhitung sejak tiga puluh hari yang lalu, ia resmi menanggalkan status kejombloannya. Tugasnya kini bertambah—tak hanya sebagai seorang anak dan pelajar—tetapi juga sebagai seorang wanita yang mengabdi terhadap imamnya.

Hal pertama yang Ranisya lakukan ketika baru saja turun dari angkutan bewarna kuning cerah (baca: Lin) itu dalah menyapukan pandangannya ke seluruh area parkir. Embusan napasnya berangsur normal ketika tak menemukan apa yang ia cari. Sepanjang perjalanan pulang, jantungnya tak hentinya berdentam. Blus satin berwarna tosca yang ia kenakan kini sedikit basah oleh keringat. Ranisya bergidik ngeri, baru melihat mobilnya saja reaksi tubuhnya telah berlebihan seperti ini, bagaimana jika ia bertemu dengan sang pemilik mobil, nanti?

Tadi ketika ia akan menemani sahabatnya untuk berbelanja beberapa potong baju di roxi square, pandangannya menangkap sebuah toyota camry silver—dengan nomor polisi yang sudah familier di otaknya—melintas dari Jalan Sumatra. Impuls, Ranisya langsung membatalkan niatnya dan meminta sahabatnya untuk menurunkannya di dekat bundaran DPR.

Dari situlah ia menyetop lin jurusan kampus untuk pulang menuju indekosnya di Jln. Karimata, yang kebetulan masih satu lokasi dengan daerah perkampusan. Dan di sinilah ia sekarang, di depan gerbang kos-kosan yang telah melindunginya dari panas dan hujan selama dua tahun belakangan.

Ranisya memindahkan helmnya pada tangan kiri, sementara tangan kanannya ia gunakan untuk mendorong pintu gerbang. Semua kamar penghuni kos berada di lantai dua, sedangkan lantai dasar difungsikan sebagai kantor notaris. Sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling, Ranisya berjalan menuju pintu samping—yang notabene merupakan satu-satunya pintu yang dapat menghubungkan langsung pada tangga yang menuju lantai dua.

"Baru pulang, Dek?"

Ranisya berjengit, helm pink yang berada di tangan kirinya hampir saja terlepas. Seorang pemuda berbadan tegap menyambutnya dengan raut wajah sedatar papan triplek. Suaranya yang tegas membuat telinga Ranisya sedikit berdenging. Netra sehitam jelaga tersebut menatap Ranisya yang tengah meremas-remas ujung blusnya gelisah. Suatu kebiasaan yang selalu gadis itu lakukan ketika gugup ataupun salah tingkah.

"Ehh, I—ya." Ranisya menjawab kikuk. Sedetik kemudian otaknya mengirim signal perintah pada tubuhnya untuk segera mengambil telapak tangan pemuda tersebut lalu menyalaminya. Impuls, tangan kanannya merespon perintah tersebut dengan tindakan nyata. "Mas sudah lama sampai?"

"Nggak juga."

"Mas naik apa ke sininya?" Ranisya bertanya hati-hati. Ia teringat jika tak menemukan mobil pemuda tersebut di depan sana.

"Naik mobil, diantar Pak Amin. Sekarang Pak Aminnya masih pergi makan siang."

"Lalu, Mas sendiri sudah makan siang?"

"Belum."

"Kalau gitu, kenapa nggak sekalian aja makan sama Pak Amin?

"Belum lapar."

Jawaban yang singkat, padat dan jelas!

"Kamu nggak berniat nyuruh Mas nunggu lebih lama lagi di sini kan, Dek?

Kening Ranisya mengernyit. Ia masih tak dapat mencerna maksud pemuda yang telah resmi menjadi suaminya ini. Menunggu lebih lama lagi? Memang siapa yang memintanya datang mendadak begini?

"Mas capek. Berangkat dari Surabaya jam delapan pagi tadi."

Ranisya masih belum ngeh akan kode dari sang suami. Ia melihat jam tangannya, jarak dari kota Surabaya ke Jember kurang lebih lima jam jika menggunakan kendaraan pribadi. Dan saat ini waktu menunjukkan pukul satu tepat. Ternyata suaminya ini tidak berbohong.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 11, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sedetik SelamanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang