Dia itu?

18 0 0
                                    

Melarikan diri dari suatu salah, belum tentu menyelesaikan persoalan. Ingat, masih ada dosa yang mengikuti kemana pun tangan kotor disembunyikan.

****
"Menunggu apalagi? Segera tolong, wanita ini!" tegas perempuan berkemeja biru itu. Ia semakin kesal, sedari tadi tidak ada tindakan dari lelaki di dalam mobil berwarna hitam itu.

Ia menopang badan Alina di atas pangkuannya. Sesekali tangannya menggoyang tubuh tak berdaya itu, mengharap segera sadar.

Nico menggaruk rambut. Begitu melihat sosok wanita yang pingsan itu, ia enggan menolong. Sebaliknya senyuman sinis malah keluar dari bibir tebal pria itu.

"Eh, Pak, masih punya hati 'kan?" celetuk perempuan itu meletakkan map. "Atau jangan-jangan wanita ini, istrimu."

Perempuan itu berdiri, ia melangkah ke arah mobil Nico. Ia mendadak marah, memaki pria yang hanya bergeming itu.

"Jangan pura-pura tuli."

"Iya, aku mendengar, Nona," sahut Nico terbangun dari lamunan. Tangan kekarnya membuka kenop mobil. Secepat kilat ia keluar, gegas mendekati tubuh terkulai di atas aspal.

Naluri kemanusiaan pria itu kembali bangun, membuang segala rasa kesal dan kebencian di hatinya. Padahal melihat sosok Alina, ia sangat berkeinginan segera lari.

"Dia?" bisik hati Nico. Mata pria itu semakin lekat memperhatikan wajah Alina. 

Sesaat pikirannya kembali melayang, bayangan itu datang. "Akh!" pekik Nico membuang jauh potongan puzzle masa lalu di kepalanya.

Di bawah guyuran derasnya hujan, Nico berjongkok, mengangkat badan Alina. Perlahan melangkah menuju mobil, dan memasukkan Alina ke dalamnya.

Nico memposisikan Alina terduduk sambil bersandaran di jok penumpang, tepat sebelah jok kemudi.

"Jaga, istrimu baik-baik," kata perempuan berkemeja biru sambil tersenyum, terlihat raut lega di wajahnya.

"Tentu!" sahut Nico menganggukkan kepala, tangannya melambai sebelum akhirnya menarik persneling dan melajukan mobil.

"Istri," kata Nico mengangkat alis. Matanya melirik ke arah samping, tepat ke wajah Alina.

"Istri!"

****

Melewati jalanan padat ibu kota dan menerobos derasnya hujan. Sekitar setengah jam, tibalah mobil berwarna hitam itu di depan rumah minimalis dengan cat berwarna coklat. Nuansa etnik Jawa terasa kental, sebelum memasuki halaman rumah itu. Meski, melalui pintu gerbang berbentuk gapura, lebih ke dalam ada bangunan serupa aula, dinamakan pendopo. Berguna untuk berkumpul, sekedar melepas lelah atau pun bercengkerama dengan keluarga.

Mobil melaju lambat, sebelum akhirnya berhenti di depan pintu rumah.

"Belum bangun juga, hah," desis Nico menoleh ke samping.

Alina masih pingsan. Wajah gadis itu semakin memucat. 

Lelaki berkulit sawo matang itu, mengusap wajah. Masalah baru sepertinya datang. Entah harus bagaimana ia, mengurusi wanita pingsan itu. Sementara tubuhnya sangat lemah, dibalut dengan pakaian basah kuyup.

Tadi ia hendak membawa ke rumah sakit, tetapi ia mengurungkan niatnya itu. Nico tak mau pusing berurusan dengan layanan umum. Memanggil dokter, Nico tidak memiliki relasi dengan manusia mulia di bidang kesehatan itu. Tentu, akan susah memanggil dokter ke rumah, sementara ia tidak mengenalnya. Di rumah juga tidak ada pelayan, hanya ada ia seorang. Ya, sekarang satu-satunya cara, ia harus menangani sendiri si Alina.

Nico membawa Alina ke kamar, ia membaringkan di atas ranjang.

"Harus, bagaimana?"



Mencari Ayah KandungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang