Punggung tegap itu ... masih melekat jelas diingatannya. Dari jauh, diam-diam diamatinya wajah itu. Rahang tegas masih setia membingkai wajahnya juga masih setia menjadi bagian yang dia suka. Wajahnya memang cukup tirus, namun dia rasa itu berseri dan menenangkan setiap kali ditatap. Laki-laki itu ... jauh lebih berseri dari beberapa waktu lalu.
Tanpa sadar, Nadhiya tersenyum tipis. Gadis itu dapat melihatnya. Ya, dia melihat laki-laki itu tepat di depannya. Laki-laki berlesung pipi itu menoleh dan memberikan senyuman khas. Sementara, Nadhiya terpaku, bingung harus bereaksi seperti apa. Otaknya terus memikirkan kata apa yang harus dia lontarkan untuk pertama kalinya.
"Hai," katanya sore itu.
Untuk beberapa saat, gadis itu masih terdiam. Dalam hati, Nadhiya bertanya seribu kali, apakah ini benar dia? Dan sepersekian detik kemudian, laki-laki itu menjentikkan jarinya, membuatnya terkesiap. Itu benar kamu, batinnya.
"Lama nggak berkabar, Nadhiya." Dia kembali mengulas senyumnya.
Masih sama. Senyum itu masih menjadi candu. Tapi, bolehkah gadis itu bersikap egois untuk meminta senyum itu hanya menjadi miliknya?
"H-hai," balas Nadhiya dengan terbata-bata.
"Ini...," dia meraih sesuatu dari tasnya dan menyerahkannya kepada gadis itu, "sampai ketemu nanti ya, Nadh."
Juli, 2023.

KAMU SEDANG MEMBACA
Afternoon
Teen Fictiontentang harapan yang seringkali tak sejalan dengan kenyataan, tentang rasa yang tak selalu berbalas, dan tentang segala sesuatu yang seharusnya diperjuangkan. - Nadhiya, 2023.