"AH!"
Gadis itu menatap seseorang yang baru mengeluh. Jujur saja, kondisinya pun tak jauh berbeda dengan Farah. Sementara di sekelilingnya, anak-anak sejurusan, beberapa sudah ada yang tumbang. Hanya tersisa beberapa saja di antara teman seangkatannya yang masih kuat berkutat dengan tugas yang mereka sebut penjajahan tiga hari terakhir ini–tepat setelah First Gathering digelar.
Kini pelataran masjid telah berubah fungsi, dari yang seharusnya digunakan sebagai tempat untuk menunggu waktu beribadah menjadi lautan anak-anak yang mengerjakan tugas ospek. Gadis dengan kemeja lengan pendek itu pun yakin mereka–lautan anak-anak–seangkatan dengannya juga tengah sibuk dengan segala macam atribut ospek yang harus dikenakan besok. Iya, ospek baru dimulai besok, namun masa penjajahan ini justru dimulai sejak First Gathering.
Ya, katakanlah ini sebagai masa penjajahan. Pasalnya, mereka bahkan sampai lupa kapan waktunya beristirahat dengan tenang.
"Seminggu, Far. Seminggu doang," ujar Nadhiya berikutnya, hitung-hitung sembari menyemangati dirinya sendiri.
Farah tersenyum getir. "First gath apaan, anjir!" serunya diikuti berbagai sumpah serapah tak lolos sensor lainnya.
"Kamu kayak baru pertama kali di ospek aja sih, Far."
"Harta karun tiba!"
Sebuah suara tiba-tiba menginterupsi. Anak-anak yang dari tadi rebahan pun seketika duduk dan menatap orang yang baru datang itu dengan mata berbinar. Ya, dia penyelamat bagi perut-perut anak-anak jurusan Statistika yang tidak berdaya.
"Siapa yang pesen dada?" Laki-laki bernama Zaki itu mengacungkan sekotak makanan.
"Kagak ada dada, jadi ganti paha atas aja ya, masih sama-sama gede kok."
Manda bangkit, menghampiri Zaki yang baru saja berbicara. "You're my superhero, Zak."
Kalau boleh dikatakan, Zaki ini tipe laki-laki yang sangat bisa diandalkan. Nadhiya rasa tak ada seorang pun yang tidak menyukainya. Dia ramah, pintar bergaul, dan yang terpenting super fast respon untuk segala hal.
Sore menjelang malam itu, satu persatu tugas sudah terlihat kabar selesainya. Namun, hari itu masih sama seperti hari-hari lainnya. Hampir menyentuh tengah malam, kerumunan mahasiswa baru bisa menyentuh lantai kamarnya masing-masing.
Yah, mau bagaimana lagi.
Nadhiya merebahkan tubuhnya di sudut paling nyaman yang ada di ruangan kamarnya. Yap, tentu saja itu kasur. Belum ada lima menit mata itu terpejam, satu dentingan dari benda di atas meja belajar itu berbunyi. Dengan malas, dia ulurkan tangannya untuk menggapai benda itu.
Raihan, 23.39
Nadh, udah di kostan?Kalau diingat-ingat, rasanya sudah agak lama gadis itu tidak bertemu dengannya. Oh tunggu, biar dia hitung. Tiga hari! Itu waktu yang terbilang cukup lama untuk tidak bertemu dengan laki-laki paling rese yang pernah Nadhiya kenal, bukan? Dengan mata yang setengah sadar, digerakkannya jari itu untuk mengetikkan beberapa kata singkat sebagai balasan dari pesan Raihan. Namun, tiba-tiba Nadhiya terlonjak kaget ketika benda di genggamannya tak berhenti bergetar.
"Gue udah di depan kost." Suara berat itu terdengar di seberang sana.
"Kost siapa, Rai?"
Dapat ia dengar laki-laki itu mengembuskan napas. "Ya, kost lo dong Nadhiya manis." Dia tampak memberikan jeda sejenak.
"Lo udah di kostan, 'kan? Abis gue WhatsApp nggak dibalas-balas sih, jadi gue langsung cabut ke sini aja."
"Saya udah balas kok, Rai."
KAMU SEDANG MEMBACA
Afternoon
Novela Juveniltentang harapan yang seringkali tak sejalan dengan kenyataan, tentang rasa yang tak selalu berbalas, dan tentang segala sesuatu yang seharusnya diperjuangkan. - Nadhiya, 2023.