Ganya Minerva, cewek yang terkenal tengil, bermulut pedas, irit bicara dan sayangnya diberikan tuhan otak yang pandai. Less talk, Do more adalah moto hidupnya. Cewek itu suka akan ketenangan, saking sukanya bahkan suara napas seseorang saja bisa membuatnya merasa terganggu dan jika ketenangannya di usik ia bisa saja berubah menjadi seperti singa yang siap memburu mangsanya kapan saja.
"Nya."
Ganya menoleh, mendapati Sarven -sepupunya- yang sudah membawakan dua buah kotak susu pesanannya dari kantin, cewek itu benci kantin karena terlalu berisik, hal itu tidak bisa ditolerir oleh telinganya untuk menerima rambat bunyi dengan baik dan itu bisa saja menghancurkan konsentrasi akan lingkungan sekitar.
Ganya memberikan sebuah kotak bekal berwarna abu tua sementara miliknya abu muda. "Nugget ayam, sesuai pesanan elo."
Simbiosis mutualisme, hal yang dilakukan antara Sarven dengan Ganya mulai awal menduduki bangku sekolah hingga tingkat dua SMA, jika orang yang tidak mengetahui hubungan persaudaraan antara Sarven dan Ganya mereka akan menganggap keduanya adalah sepasang kekasih yang sudah bersama dalam waktu yang lama karena keduanya sangat paham dengan kebiasaan masing-masing.
"Thanks, Nya. Oiya hari ini gue ada futsal, mau nonton?"
"Berisik, Ven."
Sarven mengangguk paham lalu keduanya mulai memakan bekal masing-masing. Rooftop adalah tempat ternyaman bagi Ganya selama berada di sekolah karena tidak akan ada suara lain yang mengganggunya, hanya ada suara Sarven yang bisa ia dengar secara jelas dan suara hiruk-pikuk yang seolah terendam di bawah sana yang sama sekali tidak menarik atensi indera pendengarannya.
"Murid pertukaran udah masuk, Nya. Masuknya di kelas elo."
Ganya melihat ke arah Sarven, mendengarkan cowok itu yang akan menambah ucapannya kembali. "Gibran Invandri, gue denger anaknya berisik. Sebisa mungkin jangan terlibat sama dia, kalo lo gak mau ribet. Oke?" ujar Sarven memberi peringatan.
Ganya mengangguk, memakan kembali sandwich telurnya. "Transferan dari mana?" tanya cewek itu, setidaknya ia bisa mencari asal cowok baru yang bila terpaksa harus berkomunikasi dengan dirinya nanti.
Sarven menoleh, ia yang sejak tadi sibuk menghayati kunyahannya kini mendadak cepat menyelesaikannya. "Yang gue dengar dari GPS. Lo tau sendirikan citra murid di sana gimana?"
Ganya hanya mengangguk, tidak ingin melanjutkan obrolan tentang cowok yang wujudnya saja belum ia ketahui. Baik Ganya maupun Sarven sudah menyelesaikan acara makannya, cewek itu lebih dahulu bangkit. "Gue duluan, gue sama sopir aja pulangnya." pesan cewek itu sebelum melangkah pergi meninggalkan Sarven.
Lo baik, Nya. Mereka aja yang terlalu bejat memperlakuin sampai segini buruknya. batin Sarven melihat punggung Ganya yang sudah hilang menuruni tangga. Ganya bagi Sarven seperti adik, umur mereka hanya terpaut beberapa bulan lebih tua Sarven maka dari itu ia menyanyangi Ganya seperti adiknya sendiri.
Ganya masuk ke dalam kelas XI IPA 1 dengan wajah datarnya, suasana kelas mendadak hening padahal bel masuk belum juga berbunyi. Cewek itu meletakkan kotak bekal ke dalam laci mejanya yang tepat berada di sudut ruangan lalu menduduki kursinya dan menyumbat telinga dengan sepasang earphone.
"Nya."
Ganya mendongak, melepaskan sebelah earphonenya melihat ke arah Radit -ketua kelas- dengan pandangan bertanya. "Gibran duduk di samping lo ya, stok yang bagus habis di gudang dan semuanya sedang dalam perbaikkan, baik meja ataupun kursi."
Ganya menoleh pandangnya ke samping, tepatnya di kursi kosong karena pemiliknya sudah pergi dan takkan kembali lagi. Cewek itu mengangguk sekali. "Lo harus mastiin dia gak berisik selama duduk di samping gue. Bisa?" tanya Ganya menyunggingkan senyum setannya.
Radit mengangguk hapal betul bagaimana sifat cewek itu. "Iya, nanti gue bilang sama dia."
Setelah Radit pergi, wali kelas mereka masuk dengan seorang cowok yang masuk ke dalam spesies 'pujaan kaum hawa', memiliki hidung bangir, tubuh atletis yang pas untuk ukuran anak SMA, rambut hitam legam dan bulu mata lentik serta fakta bahwa senyum cowok di depan sana setara dengan glukosa.
"Anak-anak kalian kedatangan murid baru. Ayo perkenalkan diri kamu."
Setelah dipersilakan wali kelas, cowok itu berdeham sebentar. "Pagi semuanya, saya Gibran Invandri, murid transferan dari GPS. Senang bertemu dengan kalian semua dan semoga ke depannya kita bisa berteman baik." ujarnya tersenyum ramah.
"Okey, Gibran kamu bisa duduk di samping Ganya." ujar wali kelas tersebut menunjukkan meja paling belakang yang sudah di isi dengan seorang cewek.
Gibran berjalan ke arah meja yang sudah di tunjukkan, wajahnya tersenyum menyapa Ganya tapi tidak di balas dengan ramah oleh cewek itu. Setelah wali kelas mereka ke luar, guru mata pelajaran masuk dan pembelajaran mereka pun di mulai. Ganya tampak serius mendengarkan penjelasan guru di depan sana sementara, Gibran sibuk penasaran dengan sikap Ganya yang seperti tidak menyambutnya bahkan tidak suka dengan kehadirannya.
"Gue Gibran, salam kenal ya." Gibran mengulurkan tangannya.
Uluran tangan tersebut tidak bersambut malahan kini sebelah alis cewek itu meninggi menatap tangan dan wajah Gibran bergantian. "Gue gak budek, jangan sok akrab. Kalo lo paham sama tata krama, bisa jangan berisik."
Nada ketus dari Ganya membuat senyum Gibran luntur, cowok itu menegakkan tubuhnya menatap ke depan, sedikit menyesal telah bersikap akrab kepada cewek di sampingnya ini. Cakep-cakep sombong banget nih cewek, awas aja nanti. batin Gibran merasa tidak terima.
Bel istirahat kedua sudah berbunyi, Ganya belum bangkit dari duduknya karena rutinitas cewek itu ketika istirahat kedua hanya duduk di kelas menunggu Sarven datang membawakan sesuatu ataupun hanya untuk bercerita dengan dirinya.
"Lo gak ke kantin?"
Ganya menoleh melihat ke arah Gibran lalu matanya mencari keberadaan Radit. "Dit!" panggilnya sedikit kencang sampai sang pemilik nama menoleh.
"Ada apa, Nya?"
Ganya memiringkan kepalanya ke arah Gibran. Radit yang bingung menatap Gibran. "Ada apa, Bran?"
"Gue mau ke kantin ngajak nih anak." ujar Gibran menunjukan Ganya.
Radit yang mendengar itu sedikit kaget. "Lo kalau mau ke kantin bareng gue aja. Jangan ngajak Ganya, percuma sampek mulut lo berbusa juga gak ada gunanya." ujar cowok itu sesekali melirik Ganya.
"Emang kenapa? Fobia kantin nih cewek?" tanya Gibran melirik Ganya dengan tatapan menantang.
Ganya memutar bola matanya malas melihat cowok baru yang dengan lancang mengusik hidupnya bahkan mereka baru berkenalan lebih kurang 2 jam lamanya. Sementara, Radit tampak serba salah melihat ke arah Ganya.
Ganya melirik ke arah pintu, terlihat Sarven masuk dengan dua kantong plastik di tangannya. Cewek itu bangkit menubruk bahu Gibran dengan sengaja. "Minggir!" ujarnya ketus.
Ganya berbalik memandang sinis ke arah Gibran. "Napas lo aja ganggu! Kalo mau hidup tenang di sekolah ini jangan kebanyakan bacot!"
Sarven bingung melihat Ganya yang tampak marah. "Ada apa, Nya? Dia ganggu kamu?"
"Enggak, cuma napas dia ganggu!"
Hai👋🏻
Kembali menyapa kalian semua
Sabar menunggu yaaa...
KAMU SEDANG MEMBACA
Ganya
Teen Fiction"Bisa jangan ribet? Jangan berisik! Jangan banyak bacot! Napas lo aja ganggu! Yang gue butuhin cuma kehadiran elo aja! Bukan suara lo yang buat kuping gue sakit!"