Ganya sampai di rumah yang baginya mirip seperti penjara, perempuan itu masuk tanpa menyapa siapapun seperti biasa. Rumah besar itu dalam keadaan sunyi seperti biasa ketika ia pulang, hanya ada mbok Mila di dapur sedang menyiapkan makanan untuk makan malam.
Mbok Mila adalah ART sejak Gwensa -Kakak laki-laki kedua Ganya- lahir, mbok Mila adalah saksi semua hal yang terjadi di rumah ini, hal apapun itu termasuk perubahan sikap Ganya.
"Non Nya udah pulang toh. Baru aja mau mbok panggil, mbok baru aja goreng ayam kalasan kesukaan non Nya sama sambel kecapnya." ujar wanita yang umurnya hampir menyentuh 50 tahun lebih itu dengan tersenyum lembut.
Ganya tersenyum mendengar itu, hanya mbok Mila yang mengerti bagaimana dirinya. " Sebentar ya, mbok. Nya ganti baju dulu baru makan." ujar perempuan itu buru-buru melangkah menuju kamarnya yang ada di bawah tangga.
Mbok Mila hanya tersenyum melihat betapa antusiasnya Ganya hanya karena ayam goreng kalasan dan sambal kecap. Ganya begitu sederhana tapi tidak ada yang ingin tahu tentang kesederhanaan gadis itu, seluruh keluarga ini sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing tanpa ingin tahu satu sama lain.
Sudah dua potong ayam habis ia makan, Ganya menggeser piringnya pertanda ia sudah selesai dengan acara makannya. Perempuan itu bangkit dari duduknya sembari membawa piring ke wastafel, sebelum sempat memegang sabun mbok Mila sudah masuk ke area dapur dan menghentikan kegiatannya.
"Non Nya, mau ngapain? Udah biarin aja piringnya, biar mbok yang cuci. Non Nya duduk aja." ujar mbok Mila sembari mengambil alih busa cuci piring yang sudah berada di tangan Ganya.
Ganya tidak membiarkan mbok Mila mengambil alih busa cuci piring itu. "Udah deh, mbok. Gak usah, ini juga bekas piringnya cuma sedikit, biar Nya aja yang cuci." perempuan itu langsung melakukan kegiatan mencucinya.
Mbok Mila membiarkan Ganya mencuci piring sesuai dengan permintaan perempuan itu, telepon rumah berdering. Mbok Mila segera pergi ke ruang keluarga rumah itu untuk menjawab panggilan telepon tersebut.
"Halo." ujar mbok Mila setelah memegang gagang telepon.
...
"Baik, Bu. Akan saya siapkan semuanya." ujar mbok Mila setelah mendengar perintah dan penjelasan panjang dari seberang telepon.
Mbok Mila melangkah menuju dapur, ingin menghampiri Ganya sekaligus menyampaikan berita yang mungkin saja akan direspons biasa aja oleh perempuan itu.
"Non." ujar mbok Mila memanggil.
Ganya mengangkat kepalanya melihat mbok Mila yang sudah berdiri beberapa langkah tak jauh darinya. "Langsung aja, mbok." ujar perempuan itu, terlihat tidak senang berbasa-basi tentang hal apapun.
"Bapak meninggal, non."
Ada jeda beberapa detik setelah ucapan itu selesai mbok Mila sampaikan dan beberapa detik itu pula, tangan Ganya berhenti melakukan kegiatan mencuci piringnya. Perempuan itu melihat ke arah mbok Mila dengan ekspresi tak terbaca lalu hanya mengangguk.
"Makasih kabarnya, mbok. Mbok bisa langsung urus apa yang diminta mama, biar saya yang urus dapur." ujar perempuan itu terlewat tenang, tidak ada ekspresi yang menggambarkan raut kehilangan bahkan kesedihan pun tidak ada. Mbok Mila pergi meninggalkan Ganya di dapur, ia harus mempersiapkan apa yang diminta Gina -mamanya Ganya-
Ganya menghela napas beberapa detik, tidak ada kesedihan yang tergambar di wajahnya, sedikit pun tidak ada. Perempuan itu segera menyelesaikan kegiatan mencuci piringnya, mungkin lebih baik ia berada di dalam kamarnya karena ketika keluarganya pulang ia akan hanya dianggap pengganggu pandangan mereka, itulah peran Ganya di keluarganya sendiri maka dari itu ia lebih senang untuk berada di kamarnya yang nyaman.
Ganya yang akan menuju ruang tengah tempat kamarnya berada berhenti karena melihat Sarven yang masuk ke dalam rumah seperti sedang kebingungan mencari-cari seseorang.
"Cari siapa?" tanya Ganya akhirnya karena tidak tahan dengan gerak gerik Sarven yang tampak membuat pandangannya terganggu.
Sarven yang mendengar suara Ganya langsung melihat perempuan itu dengan serius. "Cari elo, Nya. Dari mana sih? Gue baru aja dari kamar elo, gue ketuk cuma elo gak jawab-jawab jadi gue kecarian." ujar laki-laki itu melangkah menghampiri Ganya yang masih berdiri di area masuk dapur.
"Gue dari dapur, kenapa cariin gue? Karena papa meninggal? Gue enggak akan nangis meraung-raung kok." balas Ganya santai, melangkah menuju kamarnya diikuti Sarven yang berjalan di belakang perempuan itu.
Sarven hanya diam setelah Ganya mengatakan hal itu, ia tahu hal-hal seperti itu tidak akan terjadi karena perasaan perempuan itu sudah mati sejak dulu dan penyebab utamanya adalah yang meninggal sekarang ini. "Gue tau, Nya. Gue cuma mau nemenin elo kok." ujar Sarven.
Ganya tak menggubris apa yang diucapkan sepupunya barusan, perempuan itu membuka pintu kamar lalu masuk ke dalam ruangan yang dikombinasi warna abu muda itu. Sarven ikut masuk, keluar masuk kamar Ganya sudah biasa ketika sang pemilik berada di tempat jadi tidak akan ada omongan yang akan menyebabkan fitnah dikemudian hari.
"Nya, gue numpang mandi ya. Kaos gue masih ada yang di sinikan?" tanya Sarven yang ingin duduk tetapi mengurungkan niatnya kembali. Ganya mengangguk, gerakkan wajahnya menunjuk ke lemari pakaian perempuan itu.
"Ambilin, Nya. Sekalian handuknya." ujar laki-laki itu bak memerintah tapi tetap dituruti Ganya tanpa banyak bicara.
Sarven masuk ke dalam kamar mandi di kamar perempuan itu, sementara sang pemilik kamar memilih duduk di kursi yang menghadap jendela. Ganya memutuskan tetap di dalam kamar saja sampai jenazah sang papa dikebumikan, ia khawatir jika keluar nanti ekspresi wajahnya jadi bahan omongan orang lain karena tidak merasa kehilangan bahkan sedih sama sekali pun tidak.
Sebelum Sarven selesai mandi, pintu kamar Ganya diketuk dari luar. Ganya yang enggan membuka hanya menyuruh orang tersebut masuk, pintu kamarnya dibuka oleh Gwensa -sang kakak laki-laki-. Ganya hanya melirik sekilas lalu kembali menghadap jendela.
"Lo gak keluar?" tanya Gwensa menghampiri Ganya.
"Emang keberadaan gue penting, dibutuhkan dan dianggap kalau di luar?" tanya Ganya balik mengeringkan rambutnya di depan kaca, ia habis mendinginkan kepalanya agar tidak memancing emosi-emosi jahat yang lain.
"Kalo lo enggak keluar sekarang, semakin banyak mulut jahat ya akan cibirin lo nanti." ujar Gwensa masuk ke dalam setelah menutup pintu kamar.
"Sejak kapan Lo peduli dengan gue dan orang-orang yang muluti gue?" Ganya berujar sembari menghentikan segala aktifitasnya.
Ganya yang mendengar itu menoleh ke arah Gwensa. "Baru sekarang lo ngakuin gue adik? Setelah 13 tahun lamanya. Akhirnya gue punya kakak." ujar cewek itu tersenyum mengejek lalu kembali menghadap kaca riasnya.
"Gue akan keluar nanti, sebagai formalitas."
![](https://img.wattpad.com/cover/266067854-288-k934437.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Ganya
Teen Fiction"Bisa jangan ribet? Jangan berisik! Jangan banyak bacot! Napas lo aja ganggu! Yang gue butuhin cuma kehadiran elo aja! Bukan suara lo yang buat kuping gue sakit!"