Gibran Invandri

16 2 0
                                    

"Enggak, cuma napas dia ganggu!"

Gibran melotot mendengar ucapan teman sebangku barunya itu. Suara napas gue? Ganggu? Gila nih cewek. batin Gibran tersinggung ingin menyusul Ganya yang sudah pergi dengan cowok yang entah siapa itu tapi bahunya ditahan oleh Radit. "Please, jangan lo perpanjangan. Cewek itu gak pernah main-main sama ucapannya."

Alis Gibran meninggi, jelas bingung karena dirinya ditahan oleh sang ketua kelas, seolah sedang mepertegaskan jangan mengganggu cewek yang bernama Ganya itu.

"Lepas."

Radit mengangkat tangannya dari bahu Gibran. "Jadi lo ke kantinnya?"

Gibran mengangguk. Hal pertama yang dilihat Gibran saat sampai di kantin adalah manusia yang sedang berdesak-desakan antri untuk membeli makanan. "Jadi, cuma ini kantinnya?" tanya cowok itu melihat ke teman sekelas barunya.

Radit menggeleng. "Ada tiga, ini kantin yang paling lengkap dan tentunya lo bisa lihat gimana ramenya kan, terus yang kedua ada di lantai 2 tepatnya bisa dibilang itu kantin senior dan di timur sekolah ini ada kantin khusus tongkrongan anak berandal." jelas cowok itu.

Gibran mengangguk paham. "Balik aja deh, mendadak gue kenyang ngeliat suasana kantinnya kayak gini."

Keduanya berjalan kembali menuju ke arah kelas tapi tepat di depan tangga langkah Gibran berhenti. "Itu... tangga ke mana?"

"Rooftop."

Setelah mendengar jawaban Radit, Gibran sudah menaiki tangga meninggalkan Radit yang mau tak mau harus menyusul cowok itu. Sebelum sampai di tangga teratas, Gibran mendengar suara sayup-sayup orang sedang bercerita apalagi setelah mendengar suara merdu tawa seseorang.

"Elo!"

Dua orang yang sejak tadi sibuk bercerita berhenti, memandangi Gibran dengan ekspresi berbeda lalu melanjutkan obrolan kembali tanpa peduli. Gibran yang mendadak penasaran dan sedikit kesal dengan perlakuan Ganya tadi menghampiri cewek itu. "Lo berdua pacaran ya?" tanya laki-laki itu, tanpa berdosa duduk di samping Ganya.

Ganya yang mendengar pertanyaan itu hanya mengangkat alisnya tidak peduli, melanjutkan obrolan dengan Sarven jelas jelas lebih menyenangkan daripada menanggapi Gibran, makhluk asing yang entah dari mana asalnya dan mendadak mengusik hidupnya tanpa permisi.

"Lo budek?" tanya Gibran kesal karena tidak ditanggapi oleh Ganya.

"Lo berisik!" ujar cewek itu sinis.

Sarven yang tidak ingin ada keributan melirik jam tangannya. "Ayo, Nya. Udah mau masuk." ujar cowok itu mulai membereskan bekal dan tempat minum yang Ganya bawa untuk mereka. Ganya hanya mengangguk menunggu Sarven selesai membereskan barang bawaan mereka tadi.

"Duluan ya, Dit." ujar Sarven kepada Radit yang diangguki laki-laki itu sementara Ganya berjalan terlebih dahulu meninggalkan sepupunya itu.

"Jadi mereka pacaran?" tanya Gibran lagi kepada Radit.

Radit menggeleng. "Enggak, mereka itu sepupu. Kakak-adik lebih enaknya." ujar laki-laki itu membuat Gibran beroh ria mendengar itu.

Radit dan Gibran juga memutuskan untuk kembali ke kelas, di tengah perjalanan mereka menjadi pusat perhatian karena kehadiran Gibran si siswa transferan. Pesona Gibran Invandri memang sulit ditolak tapi hal itu tidak mempan untuk membuat seorang Ganya jatuh.

Kelas keempat mereka dimulai, guru matematika sedang menjelaskan di depan dan dikarenakan cara belajar di sekolahnya yang lama berbeda dengan di sini maka Gibran sedikit kesulitan untuk memahami materi yang sedang diajarkan.

Ganya yang merasakan hal itu melirik laki-laki itu sekilas lalu menyodorkan buku catatan kecilnya di depan Gibran, laki-laki itu yang semula bingung tiba-tiba tersenyum lalu tanpa banyak kata iya menarik buku itu dan membacanya dengan seksama.

Setelah materi penjelasan selesai, pembagian kelompok teman sebangku untuk mengerjakan tugas pun dilaksanakan. Ganya dan Gibran mendapatkan materi transformasi geometri.

"Lo paham?" tanya Ganya tanpa melihat.

Gibran yang merasa disepelekan memutar bola matanya malas. "Gue tau lah." ujarnya sengit.

Ganya yang mendengar nada tinggi dalam kalimat itu hanya melirik sinis. Nyesel gue ngasih tuh buku sama nih anak. batinnya mendengus dalam hati.

"Pembahasan materi, soal dan jawaban akan dilanjutkan pada pertemuan berikutnya. Sesuai dengan kelompok yang sudah disepakati bersama. Sekian untuk pertemuan hari ini, selamat siang semuanya." setelah mengucapkan kalimat panjang berisi pesan itu, guru itu meninggalkan ruangan kelas.

"Mau kerja kelompok di mana? Luar atau rumah lo?" tanya Gibran setelah Ganya mengambil bukunya kembali.

"Perpustakaan sekolah." jawab Ganya singkat membereskan buku-bukunya di atas meja.

"Gak ada tempat yang lebih waras lagi?" tanya cowok itu melongo tak habis pikir dengan pemikiran cewek di sebelahnya ini.

"Kelas." jawab cewek itu lagi singkat, padat dan jelas.

"Yaudah lebih bagus di perpustakaan aja." putus Gibran akhirnya.

Ganya tidak merespons apa-apa, guru mata pelajaran mereka tidak masuk dan hal itu menimbulkan kerusuhan di kelas mereka. Gibran yang sejak tadi duduk kini bangkit menghampiri Radit berkumpul dengan yang lain.

"Cewek itu memang selalu kayak gitu?" tanya cowok itu kepada teman-teman yang lain.

Yang ditanya lantas melihat ke arah Ganya. "Emang dia kayak gitu anaknya, ngomong seperlunya aja. Gak kayak cewek pada umumnya." komentar Latif.

"Tapi kalo sama Sarven, dia berisik." ujar Jilo.

"Ya kan mereka deket sejak bayi." komentar Nio.

"Udah kalian jangan pada berisik, kalo tuh cewek denger bisa jadi pepes kalian." ujar Radit menghentikan gosipan teman-temannya.

"Oiya baru inget gue." ujar Nio mengelus dada.

Bel pulang sudah berbunyi, Gibran sampai di rumahnya. Rsya yang duduk di depan tv melihat sang adik bingung karena pulang dengan tampang tidak biasa. "Lo kenapa? Kesambet setan sekolah baru Lo?"

Gibran mengentikan langkahnya lalu duduk di samping sang kakak. "Bukan setan sih, lebih tepatnya jelmaannya mungkin. Ngalahin seremnya setan belakang rumah." ujar cowok itu.

Rsya yang mendengar itu heran. "Cewek?" Gibran mengangguk polos.

"Namanya siapa?"

"Emang gue jawab lo bakal kenal?" tanya Gibran sarkas.

"Selo gays... Jadi siapa nama tuh cewek?"

"Ganya, Ganya Minerva." jawab Gibran singkat padat dan jelas.

Rsya melotot mendengar nama itu. "Owh cewek irit ngomong ituu, nama pawangnya Sarven si baik hati."

"Lo kenal?"

"Itu anak asuh gue dulu waktu magang di yayasan."

Gibran membeo mendengar jawaban dari sang kakak. "Ganya gimana?"

"Ganya itu orangnya nggak aneh-aneh, nggak banyak omong, nggak banyak tingkah, dia nggak suka keributan apalagi yang namanya kantin dia nggak suka karena selama yang gue tahu dia punya kayak suatu trauma tentang keributan." jawab Rsya panjang.

"Trauma?" ulang Gibran bertanya, Rsya hanya mengangguk.

"Selama dibawah asuhan lo, trauma dia pernah kambuh gak?" tanya Gibran penasaran.

Rsya terdiam lama lalu menghela napas. "Ini sebenarnya hal yang gak boleh dibicarakan oleh siapapun dan udah ada perjanjian tertulis dengan pihak yayasan dan berhubungan yang tanya ini adik gue, gue gak mungkin gak jawab."

"Traumanya Ganya pernah kambuh dua kali karena diganggu oleh orang yang sama. Yang pertama karena ada Sarven jadi gak ada lanjutan yang membuat semua orang merinding dan yang kedua waktu gak ada Sarven, kejadian salah satu di depan mata gue yang gak pernah gue lupain sampai sekarang." ujar cewek itu dengan mata menerawang jauh.

Gibran yang mendengar itu semakin penasaran. "Jadi bisa Lo ceritain ke gue sekarang, kak?" tanya cowok itu menatap sang kakak serius.

GanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang