-starbucks

2 1 0
                                    

Hari ini adalah hari selasa. Dimana lazimnya, setiap orang tidak akan memiliki waktu yang cukup hanya untuk sekedar bercengkrama tanpa takut untuk terburu waktu. Namun, aku dan dia adalah dua orang yang berbeda. Tepatnya, dia. Namanya Jeno. Jeno hanya memiliki waktu di hari ini setiap minggunya.

Aku mengedarkan pandanganku ketika menyadari bahwa mobil yang kami kendarai telah berhenti. Aku memasukkan beberapa barangku kedalam tas, sedangkan Jeno sedang memakai kupluk untuk menutupi seluruh rambutnya dan menggunakan masker hitam. Sudah kubilang, Jeno-ku berbeda. Sangat sulit untuknya berjalan-jalan tanpa harus mengenakan pakaian tertutup seperti ini, ia pasti akan dikenali banyak orang. Apalagi dengan adanya aku.

"Sudah siap?" ucapnya sambil menatap kearahku. Aku mengangguk dan tersenyum. Tertawa geli karena kita hanya akan membeli minuman di Starbucks, bukan pergi untuk berperang.

"Hm, sedikit ramai. Tidak apa-apa?" tanyaku begitu melihat antrian pembeli dalam toko kopi tersebut. Jeno mengangguk dan mengangkat telfonnya yang berdering. Ia seperti sedang membahas sesuatu yang serius. Beberapa kali antrian mulai bergerak. Aku menarik pelan lengannya agar ia mengikuti alur antrian ini. Selang beberapa lama, ia menutup telfonnya dan memasukannya dalam kantong belakang celananya.

"Maaf, tadi pelatih mengingatkanku untuk berlatih malam ini, dan sayangnya ada beberapa gerakan yang harus diubah,"

Aku mengangguk "Banyak?"

Ia melihat kearahku sambil mengelus punggungku berulang kali, "Lumayan, sih,"

Jeno-ku berbeda. Ia merupakan seorang publik figur di negara ini. Pekerjaannya membuat ia tidak dapat leluasa melakukan apapun, karena pasti akan ada orang yang mengikutinya ataupun mengawasinya. Sedangkan aku.. hm aku hanya perempuan yang ia temui sejak masa sekolah. Kita awalnya tidak berteman, namun juga tidak bertengkar. Hanya.. tidak peduli dengan satu sama lain?

Namun, saat jenjang akhir sekolah, aku dan Jeno menjadi sepasang partner dalam pembawa acara pentas seni yang diadakan di sekolah. Ya, dan kita bisa membayangkan apa yang terjadi selanjutnya.

"Jung," panggilnya. "Mau pesan?"

"Aku ingin vanilla cream dengan satu keping cookies," ucapku.

Jeno melihat-lihat menu yang berada diatas kasir. "Kalau begitu aku ingin greentea latte saja, ukuran venti,"

Pelayan tersebut mencatat pesanan kami. Untungnya, dikarenakan hari ini adalah hari kerja, tempat kopi ini tidak begitu banyak orang yang menggunakan mejanya. Beberapa hanya memesan untuk dibawa pulang. Aku dan Jeno memilih untuk duduk dilantai dua, didekat jendela yang terbuka dan duduk yang berdampingan. Dari kursi yang kita tempati, sangat jelas terlihat bagaimana orang-orang melakukan aktivitasnya masing-masing dibawah sana.

Aku menatap pria disampingku yang sedang menggunakan jaket kulit berwarna hitam, dipadukan dengan kaos putih polos. Gaya andalannya. Ia sedang menyesap minumannya dan memperhatikan orang-orang dibawah sana. Saat-saat seperti ini, i cant help but falling for him, over and over again.

"Jung?"

Aku dengan cepat mengalihkan pandanganku dari nya kedepan, "hm?"

"Apa tidak apa-apa kita seperti ini terus?"

Aku mengernyitkan dahiku, "Maksudmu?"

"Ya begini," ia menunjuk wajahnya. "Bersembunyi, selalu merasa was-was. Bahkan, aku tidak bisa mengenalkanmu sebagai milikku. Atau kita tidak bisa seperti yang lainnya, pergi menikmati kencan di akhir pekan,"

Aku menumpu kepalaku dengan tangan dan menghadap kearahnya.

"Kenapa mendadak bertanya mengenai ini?"

Ia mengendikkan bahunya. "Hanya takut," ia tersenyum yang secara tidak sadar, matanya pun ikut tersenyum.

"I don't have the answers, Jeno. Serius. Mungkin ada saatnya aku merasa kesal dan marah. Karena aku ingin seperti orang lain. Tapi.." ucapanku terhenti saat aku mendapatinya melihatku dengan lekat.

"tapi?" ulangnya.

Aku berdehem untuk menenangkan diriku. Jantung berhenti berdetak berlebihan!

"ya tapi.."

Jeno tersenyum usil dan mendorong bahuku dengan bahunya. "Tapi apa?"

Aku memutarkan bola mataku dan menahan tawaku. "Jeno!" aku menutup mukanya dengan kedua tanganku. Sedangkan ia tertawa dengan puas.

"Baiklah, baiklah. Aku juga menyayangimu, Nona Gengsi,"

Aku memeletkan lidahku.

Hari ini aku menghabiskan waktu dengannya di tempat ini, hanya bercengkrama. Tapi untukku, ini lebih dari cukup.

Jeno-ku memang berbeda, namun aku sangat menyukai hari-hari yang aku lewati bersamanya.

Je no.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang