01

101 14 0
                                    

    Langit begitu kelabu sore itu. Di iringi flash begitu terang dari beberapa garisnya disusul dengan gemuruh yang menggelegar. Hujan begitu deras. Sangat deras seolah semua air yang ada dilangit di jatuhkan semua pada area itu.
   

    Kompleks pemakaman besar yang berisi ribuan nisan berjejer rapih itu basah. Rintiknya menghantam permukaan tanah dengan keras. Buket-buket bunga tanda bela sungkawa itu sudah bercampur lumpur meski baru saja di letakkan, menyatu dengan gundukan tanah basah yang baru saja di gunakan.

   
    Remaja itu berdiri dengan kedua kakinya berusaha tetap berpijak kokoh disisi dua makam baru itu. Foto berbingkai yang dikelilingi buket bunga itu seolah mengejeknya. Foto orang tuanya.
   
    Ia tidak menangis. Bahkan wajah imut yang sudah pucat pasi itu tidak menangis. Bibir yang membiru itu tetap mengatup tanpa mengucap satu katapun sejak orang tuanya dinyatakan mati.
   

    Ia seolah mati rasa. Atau memang seperti itu?

   
    Sesekali ia berkedip kala mata sayunya terasa perih tertusuk poninya yang basah.
   

    "Kenapa tidak mengajakku?“ bisikan itu tertelan oleh gemuruh dan derasnya hujan.
   

    "Kenapa kalian hanya pergi berdua?“

   
    "Kenapa tidak mati bersama saja?"

   
    "Kalian menyedihkan."
   
    .
    .
    .
    .
   
    Remaja itu menghela nafasnya. Yang benar saja, ia baru berusia 18 tahun dan ia harus membayar hutang milyaran won yang ditinggalkan orang tuanya.
   

    Ia tidak bisa membayarnya.
   

    Tubuh mungilnya membekap adik kecilnya yang baru berusia 10 tahun. Melindunginya dari banyak pukulan yang di layangkan oleh orang-orang dewasa suruhan bank untuk menagih hutang.
   

    Tangannya menutup rapat telinga adiknya agar tak mendengar umpatan dan makian yang ditujukan untuknya.
   

    "Orang tuamu bodoh. Tidak bertanggung jawab. Harusnya kalau niat mati, bilang saja. Biar bisa ku jual organ-organnya untuk mencicil hutang kalian."

   
    Ucap salah seorang diantara mereka. Orang itu duduk dengan bertopang kaki diatas sofa mewah didalam rumah itu.
   

    Tangan kanannya terangkat. Menghentikan aktifitas menyiksa remaja dan anak kecil yang sudah babak belur di lantai marmer yang mengkilat.
   

    Tubuh-tubuh ajudan yang besar penuh otot itu dengan mudahnya mengangkat tubuh remaja yang lebih tua. Membuatnya mau tak mau melepas pelukan pada adiknya. Sang adik merengek ketakutan dan kembali menangis kala melihat tubuh kakaknya babak belur.

   
    "Gwaenchana." Bisiknya pada sang adik.
   

    "Namamu Zhong Chenle? “ si pimpinan itu bertanya ketika tubuh mungil remaja itu sudah dibanting begitu saja dihadapannya. Dibawah kakinya.
   

    Chenle hanya diam saja. Wajahnya tak menampakkan kesakitan sama sekali meski lebam dan darah telah memenuhi wajah putih pucatnya.
   

    Ia pun tak menatap nyalang dan marah pada orang dihadapannya. Apa yang harus ia salahkan memangnya? Ia harusnya menyalahkan orang tuanya.
   

    "Kalau kau ingin mati, bilang padaku. Setidaknya aku masih bisa menjual organ-organmu." Ucapnya disusul gelak tawa.
   
    .
    .
    .
   
    Chenle dan adiknya diusir dari rumah itu setelah berkas aset rumah, pabrik dan perusahaan yang hampir pailit itu ada di tangan para orang dewasa.
   
    Chenle di beri kesempatan untuk mengemasi barang-barang mereka berdua. Ia mengemas dengan tergesa-gesa banyak pakaiannya dan adiknya. Serta memasukkan seragam dan buku sekolah miliknya. Serta buku tabungan sisa biaya pemakaman hasil dari uang bela sungkawa.
   
    Tubuh mungilnya yang hampir ambruk masih harus menopang tubuh adiknya yang tertidur di punggungnya. Menggendongnya meski rasa sakit menjalar kemana-mana di seluruh tubuhnya.
   
    Adiknya sakit.
   
    Dari dulu sudah sakit.
   
    Leukemia limfosit Kronis.
   
    Jenis kanker darah yang sering menyerang anak-anak kecil. Dan kondisinya cukup baik belakangan ini. Jika saja ia sanggup membayar dan meneruskan biaya pengobatan untuk adiknya.
   
    Chenle ingin mati saja rasanya. Ingin menjatuhkan diri dari gedung sekolahnya yang bertingkat 5. Atau menjatuhkan diri di rel kereta cepat yang akan melintas di stasiun. Atau minum racun serangga hingga ia mati berbusa.
   
    Banyak cara yang ia pikirkan. Banyak sekali rencana bunuh diri yang ingin dia jalankan. Tapi dia tidak bisa. Tidak akan bisa mengakhiri hidupnya sendiri ketika adik kecilnya berkata jika ia sangat-sangat ingin sembuh dan hidup lebih lama agar bisa menemani kakaknya.
   
    "Hyung lelah? “ suara kecil di samping telinganya itu membuyarkan lamunannya akan rencana bunuh diri yang ia susun.
   
    Adiknya terbangun.
   
    " Hyung bisa turunkan aku. Aku sudah tidak pusing sekarang." Kata itu berbeda dari kenyataannya. Suaranya terdengar lemas dan kecil. Hanya serupa bisikan. Pasti adiknya sedang tidak baik sekarang.
   
    Sembari membenarkan kain yang membantu mengikat tubuhnya dengan adiknya, mengeratkannya agar tubuh lemas adik kecilnya tidak terjatuh.
   
    "Gwaenchana, Injun-ah. Hyungmu ini sangat kuat." Ucap Chenle sembari memberi sebuah senyum kecil disudut bibir nya.
   
    Jika boleh jujur, jika kondisi adiknya lebih baik dari ini, tentu saja ia dengan senang hati meminta adiknya untuk berjalan sendiri. Ia sendiri sudah cukup kesusahan membawa koper besar hitam tempat pakaian mereka berdua, dan dengan ransel sekolahnya yang berisi notebook dan buku sekolahnya yang banyak dan berat. Ditambah dengan kakinya yang pincang sebelah.
   
    "Kita akan kemana? “ gumam si adik lagi. Ia lelah. Ia ingin membaringkan kepalanya yang seberat batu.
   
    " Kita akan mencari rumah untuk tinggal." Jawab si kakak seadanya.
   
    "Apakah masih jauh? “
   
    " Tidak. Sebentar lagi sampai. "
   
    Dan sepertinya dewi fortuna mendukung kebohongannya. Di depan sana, di ujung jalan yang nampak mendaki, ada plang tulisan berbunyi "Kamar sewa, tanpa deposito"
   
    "Kita sebentar lagi sampai." Chenle mengulas sebuah senyum. Dengan sedikit semangat yang tersisa ia mulai mendaki dengan kaki pincangnya. Membawa semua beban yang ia bawa.
   
    .
    .

    Chenle pindah sekolah. Ia baru saja mengurus kepindahannya hari ini setlah satu minggu memutuskan untuk istirahat di rumah dan mencari pekerjaan. Ia berencana pindah ke sekolah yang lebih murah. Ia tidak akan sanggup membayar biaya sekolahnya yang dulu. Sekolah elite yang perbulannya mengharuskan membayar hampir 10 juta won untuk biayanya.

    Untung saja, wali kelasnya yang baik dan mengerti keadaannya mau membantu. Mencarikan sekolah dengan biaya yang di banyak di tanggung pemerintah. Pun Chenle juga murid pandai yang banyak menjuarai Olimpiade matematika dan kompetisi musik.

    Tidak sulit untuk mencarikannya sekolah baru meski mereka sedang berada di pertengahan semester.

    Chenle membungkuk untuk terakhir kalinya pada wali kelasnya yang hampir menangis melepas kepergian salah satu murid pintarnya. Chenle memutuskan untuk tidak mengucapkan selamat tinggal pada teman-teman sekelasnya. Toh nyatanya sebelumnya ia memang tidak memiliki teman. Ia anak pendiam dan independen. Jadi tak banyak yang mau berteman dengannya. Ada dan tidaknya ia, tidak menjadi pengaruh besar bagi suasana kelas.

    Ia akan pulang sebentar dan berkemas untuk berangkat kerja. Adiknya terpaksa ia tinggal di rumah. Ia berpesan agar adiknya diam saja di rumah dan tidak pergi keluar saat Chenle tidak dirumah. Adiknya tidak sekolah. Sebelumnya ia homeschooling karena kondisinya. Tapi sekarang Chenle tak akan punya biaya untuk membayar guru privat itu. Alhasil, ia yang mengajar sendiri adiknya ketika ia memiliki waktu luang. Meski itu berarti tengah malam.

    Chenle mendapat pekerjaan sebagai pekerja paruh waktu di minimarket dari ia pulang sekolah hingga tengah malam. Belum lagi dengan pekerjaannya sebagai pengantar susu dari pukul 5 pagi.

    Sebenarnya ia ingin berhenti saja dari sekolahnya. Tapi ia berpikir lagi, jika ia tidak bersekolah, akan jadi apa ia dan adiknya jika tanpa pendidikan formal?

    "Injun-ah, kau menunggu Hyung ya?“

    Chenle baru sampai kamar sewanya setelah beberapa kali naik bus dan berjalan kaki cukup jauh. Adiknya sudah menunggu di depan pintu, duduk dengan tenang dengan banyak buku di dekatnya. Adiknya itu suka sekali belajar.

    Bocah 10 tahun itu segera menubruk kan diri pada tubuh sang kakak yang lebih tinggi. Menyamankan diri pada tubuh kurus kakaknya. Ia rindu sekali.

    "Injunie rindu, Hyung." Bocah itu mencicit.

    "Eiihhh,, Hyung bahkan baru pergi beberapa jam. Sudah makan? "

    Bocah itu mengangguk. Chenle memang sudah meninggalkan beberapa makanan yang cukup sehat dan enak untuk adiknya. Sup sayur dengan daging dan nasi. Adiknya tidak bisa makan sembarangan. Apalagi junkfood. Maka dari itu, Chenle harus bekerja keras agar bisa memberi makan dan membeli obat-obatan adiknya yang tidak murah itu.

    "Mau belajar sekarang? Hyung pergi bekerja masih nanti." Chenle mengusak surai hitam itu dengan lembut. Yang di hadiahi dengan anggukan imut dan senyuman lebar dari adik kecilnya. Membuat Chenle memeluk adiknya dengan gemas. Lucu sekali sih.
.
.
.
.
.
Tbc

The White Lily Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang