02

93 14 1
                                    

    "Yak yak! Diam. Kalian kedatangan teman baru. Berteman baiklah." Guru paruh baya dengan kepala hampir botak seluruhnya itu memukulkan tongkat kayu kecil dan cukup panjang yang ia bawa pada meja guru yang ada di bagian depan kelas. Cukup membuat Chenle terperanjat sebenarnya.

    "Perkenalkan dirimu. " Lanjutnya setelah para siswa kelas 2-5 itu dia seluruhnya.

    Chenle memandang kearah teman-temannya. Ingin sekali mengangkat sudut bibirnya sekedar membuat kesan ramah pada calon teman-temannya.

    Tapi tidak bisa. Ia tidak bisa membuat ekspresi selain diam dan datar. Otaknya seolah tak memberi ijin pada otot wajah untuk membuat ekspresi yang ramah. Alhasil ia hanya berekspresi kaku dan canggung saat seluruh pasang mata di kelas itu menatapnya dengan penasaran.

    "Namaku Zhong Chenle. Aku pindahan dari SM High School." Setelah ia menyebutkan sekolah lamanya, para penghuni kelas mulai berjunjing dan menimbulkan dengungan seperti lebah yang berkumpul.

    "Kenapa kau pindah dari sekolah elite itu? "
   
    "Kau orang kaya ya? "

    "Kenapa pindah kesini? "

    "Kau pasti habis membuat keributan makanya di keluarkan? "

    "Sialan. Aku dulu ingin sekali sekolah disana. "

    "Tidak sopan sekali. " Chenle hanya membatin melihat dan mendengar gunjingan dari calon teman-temannya.

    "Yak! Diam. Bertemanlah dengan baik. Jangan buat ulah ya kalian. " Guru itu mendiamkan murid untuk waktu yang tidak lama. Karena nyatanya para siswa lebih memilih untuk membicarakan kemungkinan-kemungkinan bagaimana si siswa baru Zhong Chenle bisa pindah kesekolah mereka yang tidak terkenal.

    Sedangkan dari sudut pandang Chenle, ia hanya bisa membatin tentang bagaimana berbedanya sekolah ini dan sekolah lamanya. Chenle masuk sebagian siswa unggulan di sekolah sebelumnya. Kelas yang hanya berisi anak-anak orang kaya yang bertarung sengit memperebutkan puncak piramida. Peringkat pertama paralel yang di sandang oleh Chenle. Dan dengan kepindahan Chenle, Teman-teman nya tak ada yang merasa kehilangan. Yang ada malah bersorak karena mereka membuang satu pesaing utama.

    Chenle berjalan menuju bangkunya yang ada di sudut ruangan. Kursi kosong di sebelah jendela yang sepertinya nyaman.

    Tempat duduknya hanya satu. Tidak jejer dua seperti teman-teman yang lain. Tapi Chenle tidak perduli. Ia hanya butuh pendidikan disini untuk mengubah nasibnya dan adiknya.
.
.
.

    Chenle langsung di hadapkan pada ujian tengah semester pada hari keduanya masuk sekolah baru. Ia tak terlalu keberatan sebenarnya, jika saja ia tak memiliki tanggung jawab untuk menunjukkan nilai bagus pada dewan sekolah agar ia tetap bisa mendapatkan beasiswa.

    Matanya berat sebenarnya. Ia bangun cukup pagi untuk mengingat materi sebentar sebelum mulai bekerja mengantarkan susu. Ia sudah lelah sebenarnya. Ia bangun pukul tiga dari jam tidurnya yang baru mulai pukul 1. Mengingat materi sebentar dan memasak untuk nya dan adiknya. Memakan nasi dengan kuah sup milik adiknya dengan semangkuk nasi sisa kemarin. Ia membuat makanan baru hanya untuk adiknya. Nasi sisa yang masih bisa ia makan dan mengambil kuah sup milik adiknya sudah cukup membuat energi untuk memulai hari. Dan pada pukul 5, ia berangkat untuk mengantar susu hingga hampir jam 8. Setelahnya ia berganti seragam dan berangkat sekolah. Melelahkan bukan?

    Ia sudah menguap cukup sering. Tak ada yang mengajaknya bicara sejak kemarin. Tak apa toh ia tidak perduli.

    Melirik waktu dari arloji pemberian ibunya pada ulang tahunnya yang ke 16, masih ada setengah jam sebelum ujian dimulai. Mungkin ia harus tidur sebentar.

The White Lily Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang