03

30 3 0
                                    

.
.
Chenle mendekat pada tubuh tak berdaya adiknya. Pikiran buruk menghantui kepalanya yang berdenyut-denyut akibat pukulan. Ia dudukkan dirinya disebelah kepala adiknya. Tangannya dengan ragu mendekat kearah lubang hidung adiknya, antara pasrah dan berharap.

Ia tidak siap jika harus merasakan kehilangan lagi, tapi ia juga tidak papa jika adiknya pergi. Dunia ini kejam pada mereka.

Hembusan nafas masih terasa di sana. Dada adiknya kembang kempis pelan.

Setelah tau bahwa adiknya masih mencoba bertahan hidup, Chenle mengambil ponselnya. Menghubungi nomor darurat untuk sekedar meminta bantuan.

Tubuhnya ikut lemas dengan semua tekanan yang ada. Wajahnya sama pucatnya dengan sang adik. Setelah ini ia harus memikirkan akan membayar biaya rumah sakit dengan apa.

Ia memaksa dirinya untuk bangun. Mengambil berkas kesehatan adiknya, serta kartu debit berisi simpanan sisa uang duka. Isinya tinggal 2 juta won seingatnya. Semoga uang itu masih bisa untuk biaya berobat adiknya.

Pintu di ketuk setelah 5 menit yang terasa sangat lama. Chenle sudah menunggu dengan semua keperluan yang ia butuhkan untuk membawa adiknya kerumah sakit.

2 orang petugas medis dengan seragam oranye nya ia silahkan masuk dengan tandu lipat mereka. Ia menjelaskan dengan detail kondisi dan penyakit bawaan adiknya untuk memudahkan petugas dalam penanganan. Setelah beberapa menit di coba untuk menyadarkan dan tanpa hasil, mereka memutuskan untuk membawa tubuh kecil adiknya kedalam ambulance dan menuju rumah sakit.
.
.
.
Ini bukan situasi langka untuk Chenle alami. Ia dengan sabar menunggu di ruang tunggu rumah sakit setelah adiknya masuk kedalam ER untuk mendapatkan penanganan dan ia sudah mengurus administrasi nya. Ia terlalu tenang untuk ukuran anak remaja yang menemukan adik kecilnya tidak sadarkan diri di rumah.

Tapi mau bagaimana? Ini bukan situasi pertama yang ia hadapi. Adiknya terhitung sudah masuk ER sebanyak 49 kali dari catatan medisnya. Dalam jangka waktu 3 tahun sejak ia di vonis dengan penyakit mematikan itu.

Chenle kasihan pada adiknya. Tapi tidak ada yang bisa ia lakukan sekarang selain berdoa, menghibur dan menguatkan adiknya nanti saat ia sudah sadar. Dan mencari biaya untuk adiknya agar ia tetap bisa mendapat perawatan.

Dokter muda kisaran umur 30an datang menghampiri Chenle yang duduk di ruang tunggu. Chenle memilih berdiri dan berterimakasih pada sang dokter karena sudah berusaha membantu adiknya.

"Adikmu mengalami anemia parah. Dari catatan medis yang kau tunjukkan, adikmu, terakhir mendapat transfusi 3 minggu yang lalu. Kenapa pengobatannya tidak dilanjutkan saja?" Dokter itu berucap sembari memegang map berisi catatan medis adiknya.

"Orang tua kami meninggal 2 minggu lalu. Saya sedang kesulitan untuk meneruskannya karena biaya pengobatan sebelumnya terlalu besar untuk saya." Dengan kepala tertunduk sedikit malu Chenle berucap.

"Ahh, sebelumnya di rumah sakit universitas Seoul ya?" Dokter dengan name tag Jung Jaehyun itu mengangguk. Memang untuk sekelas rumah sakit universitas, SUH(Seoul University Hospital) adalah yang terbaik dan termahal di kelasnya. Apalagi dari catatan medisnya, Renjun mendapat penanganan terbaik disana.

"Disini memang tidak sebagus SUH untuk penanganan, tapi dokter akan berusaha sebaik mungkin untuk membantu Renjun. Kami akan memantau kondisinya setelah transfusi kantong pertama habis. Apabila kondisinya lebih stabil, kita bisa melanjutkan pengobatan yang dari SUH, karena apabila pengobatan di hentikan, kita harus memulai dari awal lagi untuk pengobatan selanjutnya. Nanti dokter akan mencoba membantu untuk mencari donatur untuk kalian." Dokter muda dengan lesung pipi manis itu menjelaskan dengan baik. Membuat Chenle tak perlu berusaha keras untuk mencerna ucapan sang dokter.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 08 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The White Lily Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang