Aku pergi

27 16 19
                                    

"Terlalu sering terluka dan pura pura bahagia sampai aku lupa apa itu bahagia?"

*******************
Happy Reading
*******************

*****************************

Begitu terpukul saat mendengar anakku terluka, sampai meninggal dunia ditempat kejadian. Mentalku dwon, aku tak pantas menjadi seorang ayah.

Nuansa kamar Angka anakku terasa begitu sejuk dipagi hari.

Buliran air mata menetes membasahi pembalut kasur, poto masa kecil saat masih indah aku genggam sambil aku dekap poto itu begitu erat.

"Akhirnya bebanku sudah pergi," ucapku setelah mengetahui Lena tlah berhenti mengintipnya dariluar sana.

Aku yang berpakaian kemeja hitam dengan celana jeans selaras.

Aku bediri dan berjalan keluar kamar Angka sambil sesekali mengisak nangis pura pura terpukul atas kepergian Angka.

"Tuan, Tuan mau kemana?" tanya Lena menghampiriku di ambang pintu kamar Angka.

"Saya ingin pergi menyusul anak saya, saya sudah tak ada alasan lagi untuk hidup. Buat apa hidup jika anak sendiri tlah mati dan sang istri sudah pergi dan bergandengan tangan dengan pria lain," jawabanku yang dibumbui penekanan diselang seling katanya.

"Ta-tapi Tuan," ucap Lena terbata bata, entah apa yang ingin ia ungkapkan.

"Apa?"

"Hum anu."

"Bilang saja!!" Aku pun mulai geram dan membentak Lena.

"Apa Tuan masih anggap den Angka," ucap Lena dengan nada cepat karena terkejut.

"Apa maksudmu? Kamu anggap aku selama ini tidak peduli dengan anakku? Dia anak dan akan terus begitu,"kataku.

"Tapi , kenapa Tuan menyakiti den Angka terus menerus? Itu sama halnya dengan Tuan tidak menganggap den Angka sebagai anak Tuan," terang Lena.

Aku berjalan mendekatinya, mencengkram keras dagu Lena. "Kamu tidak tahu apa apa, jadi. Lebih baik kamu diam!" Sudah tak bisa menahan emosiku, amarahku pun keluar begitu hebat. Meninggalkan bekas merah pada dagu Lena.

Kembali kakiku langkahkan, perlahan pergi meninggalkan rumah Lena yang seperti gubuk ini.

"Anak itu sudah pergi dan kini aku bebas," gumamku kembali melanjutkan jalan kaki menuju jalan besar dan ramai.

Kaki terus berjalan, pandangan tak lepas dari handphone dalam genggaman. Sudah puluhan kali aku mencoba menelponnya.

Namun, tak kunjung diangkat olehnya.

Sesibuk itu kah?

*********************

Dengan pakaian sopan, peci dalam kepala dan baju putih yang aku kenakan.

"Ternyata begini akhirnya, beginilah endingnya. Seorang penerima luka sudah terkubur rapat dalam tanah menghasilkan gundukan dengan papan bernama pada gundukan tanah ini," ucapku melihat kawan kecil yang kini sudah pergi menghadap sang Ilahi.

Kaki semula berdiri memintaku berjongkok menatap batu nisan bertulisan nama Angka Aditama.

Seorang pejuang luka sudah kaku, mati dan tak bedaya lagi. Sudah tak akan ada sakit yang menusuk hatinya, tak ada air mata membasahi pipinya. Dirinya akan selalu dalam lindungan Tuhan, berdampingan dengan para utusan Allah dan Rasull-Nya.

Kau sudah pergi sahabat kecilku, tak akan ada satupun yang dapat menggantikanmu dalam hidupku. Selamat tinggal pejuang luka, semoga kau tenang dialam sana, nunggu aku akan segera menemuimu di atas sana.

Siratan hatiku masih tak menyangka jika dirinya akan pergi dengan cara seperti ini, polisi belum tahu apa penyebab Angka terluka ditempat itu sampai kehilangan nyawanya.

Kembali berdiri tegak, mulai melangkah secara perlahan dan menoleh ke batu nisan Angka.

"Sampai jumpa nanti pejuang luka, selalu bahagia disisi yang maha kuasa ya" ucapku kembali lekang pergi dari kawasan pemakaman ini.

****************************
To Be Continue

"Dia sudah tenang dalam lindungan yang pencipta."

Angka (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang