Bab 3 - Awal Baru Tanpa Emak

17 1 0
                                    

Tapak-tapak kehidupan harus diikhtiarkan agar sampan itu tidak berhenti di tengah lautan.


Pagi itu, setelah Hanif berangkat sekolah, Lail dan Nipah memulai langkah hari yang baru. Pekerjaan pertama mereka dimulai yang selanjutnya akan menjadi rutinitas tiap pagi hari ketika Emak sudah lagi tak ada.

Lail dan Nipah berjalan menyusuri rumah-rumah di Komplek Permata Indah. Mereka bermodalkan alas kaki dan gerobak kayu yang sudah reyot. Satu lagi semangat dan senyuman yang tak pernah lepas meski duka masih menggelayuti dua adik kakak itu.

Jarak rumah mereka dengan komplek sekitar 1 kilometer. Sebenarnya ini bukanlah perkerjaan yang baru dilakukan Lail, ia sering ikut Emaknya mengambil rosokan dan tumpukan sampah di rumah-rumah. Setiap pulang sekolah atau setengah hari penuh ketika liburan tiba. Nipah juga sering menemani Emaknya bekerja sebab di rumah tidak ada orang, Lail dan Hanif pergi ke sekolah.

Nipah duduk di atas gerobak. Lail layaknya pengemudi mobil. Dia memegang kedua kemudi di depan gerobak. Gadis itu menyetir gerobak dengan lincah, kesana kemari. Sesekali berhenti mengambil sampah-sampah yang ada di depan rumah yang mereka kunjungi.  Meski hanya dengan tenaga manusia ternyata gerobak itu sangat spesial. Lebih keren dibandingkan mesin mobil, yang tidak akan pernah ada di sebuah mesin buatan manusia yaitu semangat dan harapan yang mereka transformasikan ke dalam gerobak lusuh itu. Tumpukan sampah yang akan menghantarkan mereka ke surga. InsyAllah. Sebab mengapa? Karena mereka mengamalkan salah satu hadis nabi, kebersihan adalah sebagian dari iman. Dan di gerobak itu pula mereka tidak putus asa menjemput rezeki dari Allah.

Seminggu sebelum emaknya meninggal, beliau pernah bercerita mengenai salah satu rumah besar di Komplek Permata Indah. Majikan baru yang menggaji emak sebulan sekali untuk mengambil sampah di depan rumahnya. 

Kata emak, ada dua rumah yang besar tingkat tiga di komplek Permata Indah, saling bersebelahan dengan desain interior yang sangat mirip. Rumah itu sangat terlihat mencolok di antara rumah-rumah lainnya yang berukuran lebih kecil. Warna temboknya sama-sama putih, gerbang tinggi berwarna cokelat dan memiliki halaman yang tidak terlalu luas. Keduanya memiliki taman kecil yang menjadi pembedanya,yang satu ditumbuhi tanaman kaktus dan yang satunya ditumbuhi bunga matahari. 

Setelah berjalan lebih dalam ke komplek Permata Indah akhirnya dia menemukan juga rumah itu. Wah benar kata emak, rumahnya besar dan sangat mirip sekali atau memang pemiliknya adalah orang yang sama, pikir Lail.

"Waah...Mbak Lail, rumahnya besar banget," Nipah yang sepanjang perjalanan hanya diam, kini takjub dengan rumah yang dilihatnya itu.

Lail tersenyum.

"Iya gede banget ya dek."

"Kalau nanti Nipah udah gede, Nipah juga pengen mbak, punya rumah bagus kaya gini. Nanti kita bisa main bareng karena luas dan tingkat kaya gedung."

Lail terkekeh sambil mengusap kepala adiknya yang berseru dan tersenyum penuh harap di matanya, imajinasi anak-anak.

"Iya, Aamiin dek. Yaudah ayo kita masuk."

Kedua kakak beradik itu melangkahkan kakinya menuju ke rumah yang memiliki taman berbunga matahari. Seperti yang emak katakan dulu.

Lail menghampiri gerbang tinggi itu dan merapat ke pos satpam yang berada di sampingnya. 

"Permisi, pak"

"Iya dek. Putrinya Bude Sarti ya? Sebentar-sebentar...."

"Silahkan masuk dek."

Satpam berumur sekitar empat puluh tahunan itu membuka gerbang dengan antusias.

"Eh, iya pak," ternyata  satpam itu hafal dengan ibunya.

Lail Terang BulanWhere stories live. Discover now