THE OTHER SIDE 12

4.8K 344 9
                                    

Happy reading 💗

Mobil yang dikendarai oleh Dewa melaju cepat membelah jalanan. Menyambar genangan air sisa semalam. Pemilik mobil itu nampak kacau. Sesekali ia memukul kuat setir mobil sebagai pelampiasan kekesalannya.

Kondisi jalanan masih lengang. Mungkin karena waktu yang masih pagi dan hujam semalam membuat banyak orang terbuai untuk kembali tidur.

Mobil milik Dewa melesat dengan cepat dan langsung berkelok ke kiri untuk masuk ke dalam parkiran rumah Anne. Dewa menekan klakson kemudian pagar setinggi tiga meter itu terbuka.

Satpam bernama Dadang itu berlarian mendekati Dewa yang berada di parkiran seusai menutup pintu. "Den. Anu?"

Dewa menaikkan alisnya sembari mengunci pintu mobil. "Non Anne." Nada khawatir yabg dikeluarkan dari mulut Pak Dadang membuat Dewa bergegas menaiki tangga untuk menuju pintu rumah. Ia membukanya. Seingat Dewa, orang tua Anne ada urusan bisnis panjang di luar kota. Sementara Kakak cewek itu tidak nampak batang hidungnya ketika Dewa telah melewati ruang tamu. Cowok itu bergegas menaiki tangga. Ia mengambil langkah lebar. Di depan pintu sudah ada dua asisten rumah tangga, ya g Dewa kenal bernama Bi Sri dan Bi Ima.

"Non, buka dulu pintunya," pinta Bi Sri sembari mengendor pintu kamar Anne. Tidak ada jawaban. Dewa mendekati kamar Anne. Ia kalut, benar-benar kalut. Takut Anne melakukan hal berbahaya karena frustasi.

"Non, ini ada Den Dewa." Sekali lagi, tidak ada suara dari dalam kamar membuat Dewa khawatir. Cowok itu berjalan ke depan pintu memberi kode pada kedua ART Anne kalau ia yang akan menggantikan mereka.

"An?! Buka!" ujar Dewa sedikit keras.

"Tadi juga Den Abi udah coba bangunin cuman Non Anne nggak bangun-bangun."

"Semalam Anne pulang naik apa, Bi?"

"Semalam Anne basah-basahan, Den," ucap Bi Ima. Wanita berdaster dengan celemek di depannya itu memandang khawatir pada pintu kamar Anne. Sebagai asisten senior, ia pasti sudah memiliki ikatan batin dengan anak nyonya-nya. Dewa bungkam, ada segelintir perasaan bersalah merayap di dadanya.

Kembali tertarik ke kenyataan, Dewa menggedor keras pintu kamar Anne. Hingga isakan Anne yang keras terdengar.

"Mau ngapain kamu?!" tanya Anne, ketus dari seberang pintu. Menyadari ada yang aneh dari anak majikannya ini, Bi Ima memberi kode pada temannya agar mereka berdua pergi dan bisa memberikan ruang untuk Dewa dan Anne.

"Den, bibi pamit ke belakang ya, kalo Non Anne udah mau buka pintunya, telpon Bibi," pamit Bi Ima. Dewa mengganggu tanpa menatap asal suara.

"Saya juga pamit, ya Den." Bi Sri ikut bersuara dan langsung mengekor pada Bi Ima.

Dewa kembali menggedor pintu. "Buka pintunya, jangan kekanak-kanakan."

"Kekanakan?" pintu tebal berwarna cokelat itu terbuka perlahan. Sosok Anne muncul dengan mata sembab. Ia masih menggunakan baju semalam. Rambut Anne kusut begitu pula dengan wajahnya.

"An-"

"Kekanakan kamu bilang? Disaat kamu ninggalin aku dan malah pilih Bianca?!" Anne mencerca tepat ketika kaki Dewa berhasil masuk ke dalam kamarnya yang super berantakan.

Dewa tersentak. Lidahnya terasa kelu untuk berucap.

"Kamu ... gagal ngelindungin aku Dewa." Air mata Anne berderai. Mengalir hebat, beberapa jatuh langsung ke lantai.

Dewa hendak menyentuh lengan Anne tapi gadis itu seger menghindar.

"Jangan sentuh aku!" jerit Anne, ingatannya kembali saat di mana ia disentuh oleh sosok yang sama sekali tak Anne kenali.

"Aku kotor Dewa! Hal yang nggak pernah kamu bayangin kejadian sama aku!" Anne terisak pilu. Dadanya sesak.

"Anne," panggil Dewa dengan suara lembut. Anne menggeleng dengan air mata yang menghiasi wajah pucatnya.

"Aku udah ngehancurin harapan Mama sama Papa Wa, kalau mereka pulang nanti aku harus bilang apa? Gimana sama Kak Abi?" tanya Anne. "Nggak aku nggak bisa! Dewa." Mata Anne penuh dengan sorot memohon. "Aku pengen mati," sambung Anne membuat Dewa segera mendekapnya erat. Pelukan itu disertai dengan isak pilu yang keluar dari mulut Anne. Air mata Dewa keluar setetes. Ia mengeram melampiaskan kekesaln, kalau saja semalam Dewa tidak meninggalkan Anne ini tidak akan pernah terjadi.

Sekali lagi, tangan Dewa hendak memeluk Anne namun dengan cepat cewek itu mendorongnya sehingga Dewa terhuyung.

"Soal Bianca." Dewa diam. Atmosfer di sekitarnya mendingin tiba-tiba namun Dewa keringatan. Semakin lama rasa bersalah semakin menggerogotinya, seakan menggigitnya hingga habis dan tak berdaya.

Anne mengambil handphone-nya. Memperdengarkan rekaman suara yang ia dengar beberapa kemarin malam.

"Dia ... hamil?" Tidak ada jawaban dari Dewa. Anne menangkap sorot bersalah di mata Dewa.

"Anak itu anak kamu?" Hening. Hanya napas memburu Anne yang terdengar diiringi dengan alunan isakan.

"Jawab! Itu anak kamu?" Keterdiaman Dewa menjawab segalanya. Beberapa detik lalu, saat Anne hendak melemparkan pertanyaan ini, dari lubuk hatinya ia berharap Dewa akan menjawab tidak dengan tegas sehingga bisa mematahkan segala bukti yang Iris berikan.

"Dewa! How dare you!" Anne menjerit. Dadanya sesak bukan main. Seakan ada sesuatu yang menutup saluran pernafasannya. Demi tuhan, ia ingin mencabik-cabik wajah yang dulu selalu ia kagumi. Meninju badan kekar yang sangat nyaman ia peluk dahulu. Anne menggigit bibir hingga berdarah. Dengan berderai air mata, Anne mendorong paksa Dewa keluar kamarnya.

"An! Anne!" panggil Dewa saat berada di luar pintu, cowok itu mendorong pintu yang sudah hampir tertutup untungnya tidak berhasil. Anne telah mendorong kuat pintu kayu itu dengan badannya.

Anne bersandar pada pintu. Suara Dewa yang memanggilnya terus terdengar. Berulang-ulang, mengetuk pintu dengan kuat seakan penuh nafsu.

Cewek itu melepaskan ikatan rambutnya sehingga curly hair nya berkibar sempurna. Anne mengelap bawah matanya. Ia menunduk sebentar untuk memperbaiki tata letak rambut setelah selesai Anne kembali mengangkat dagunya sembari tersenyum. Senyum yang penuh akan arti. Kekecewaan, sedih juga kepuasaan bersatu padu.

Semuanya terasa nyata.

"Pergi Dewa pergi!" pekik Anne.

***

THE OTHER SIDE (REST)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang