Episode 4

51 2 0
                                    

Silahkan vote, komen, dan follow

Selamat Membaca

Selamat Membaca

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Sudah mama bilang, kamu nggak usah ikut tinju lagi. Lihat sekarang? Kalau sudah terbaring di rumah sakit begini, kamu bisa apa, Nak? Pokoknya setelah keluar dari rumah sakit ini, kamu nggak boleh ikutan 'tinju-tinjuan' lagi." Omelan Mama Dewi tak putus-putus terdengar di telinga. Beliau baru berhenti ketika ada pasien di sebelah yang memintanya untuk mengecilkan volume suara.

Harusnya aku melahirkan anak laki-laki saja, gumam Bu Mila merutuki diri sendiri.

"Sudah, Ma. Tenang dulu. Biarkan anak kita istirahat sebentar. Dia baru saja sadar." Memang Papa Dewi lah yang selalu membela dirinya kapan pun dan di mana pun.

Tak heran, kenapa Dewi sangat dekat dengan sang papa. Bahkan dirinya menjadi petinju berkat dukungan dan usaha papanya memasukkan dirinya ke tempat pelatihan tinju milik sahabatnya.

"Gimana bisa tenang, Pa? Lihat itu matanya, bengkak udah nggak kelihatan lagi bola mata. Tulang rusuknya juga patah, Pa.... Apa coba penyebabnya kalau bukan karena tinju semalam?" Seolah lupa dengan peringatan untuk tidak berisik, Bu Mila terus saja membuat baris-baris kalimat omelan tanpa jeda.

"Aku nggak apa-apa, Ma. Dewi baik-baik saja. Paling istirahat bentar sudah pulih lagi," ungkap Dewi sambil menggenggam tangan mamanya dengan penuh harap. Dia tidak ingin berhenti dari tinju.

Cita-cita Dewi adalah menjadi petinju hebat yang bisa membuat semua orang bangga padanya, tak memandang rendah dia dan keluarganya, dan membawa keluarganya ke dalam kehidupan yang senantiasa cukup, tak perlu berhutang lagi, tak perlu dikejar-kejar penagih hutang lagi. Meskipun Dewi sendiri tak tahu kapan hal itu akan terjadi. Mereka seolah-olah selalu hidup dengan hali lubang tutup lubang silih waktu berganti.

Mendengar tutur kata dari anak bungsunya, Bu Mila malah langsung keluar dari kamar inap itu. Bukan apa-apa, air mata yang dari tadi terbendung di pelupuk mata sudah tak sanggup dia tahan lagi. Semuanya jatuh begitu perempuan baruh baya itu terduduk di bangku lobi rumah sakit.

Perasaan Bu Mila sakit seolah-olah sudah tercabik-cabik, melihat darah dagingnya sendiri terbaring di atas kasur rumah sakit dengan wajah babak belur. Dia menggigit bibirnya sekeras mungkin agar orang yang berlalu lalang tidak mendengar isaknya.

Jika boleh jujur, Bu Mila merasa sudah hampir putus asa menghadapi hidupnya. Kebangkrutan sang suami benar-benar membuat hidupnya berubah 180 derajat. Semua hilang, lenyap dalam sekejap. Dia bertahan dan terus bertahan. Demi anak-anaknya yang masih membutuhkan dirinya.

Anak sulung yang sering sakit-sakitan membuat Bu Mila sering menangis dalam kesendirian tanpa ada yang tahu. Dia berusaha tegar di depan anak-anak dan mengeluarkan omelan-omelan khas. Tidak ada tujuan lain selain supaya air matanya tidak jatuh di depan anak-anaknya.

Queen BoxingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang