Bab 16

143 27 4
                                    

Xavera tidak peduli pada tatapan sinis siswa-siswi yang meliriknya, juga cowok yang berjalan kebingungan di belakangnya. Pagi ini, Xavera terpaksa melewatkan jam istirahat untuk menemui Arvin di kelas X 4. Ia menarik paksa tangan cowok itu, membawanya menaiki tangga hingga ke lantai 4. Suasana di atas tidak begitu ramai. Hanya beberapa siswa yang melintas hendak ke perpustakaan.

Xavera melepas tangan cowok itu saat mereka berada di ujung koridor lantai 4. Ruangan di samping mereka digunakan sebagai aula. Tempat yang cukup aman untuk menginterogasi cowok yang sedikit lemot itu.

Arvin menunduk, sekaan-akan ia tengah dibegal. Xavera menarik napas panjang beberapa kali, kemudian menyandarkan punggungnya ke pagar pembatas koridor lantai 4. Ia memandang Arvin dengan tatapan serius.

"Vin, gue mau tanya sesuatu sama lo." Xavera meneguk ludah. Ia ragu kalau nanti Arvin menjawab pertanyaannya, ia akan siap menerima. "Lo udah kenal sejak kapan sama Reiki?"

Arvin menegakkan kepala. Ia melirik ke kiri-kanan, seolah-olah mencoba mengingat.

"Sejak SMP," jawab Arvin. Raut wajahnya menunjukkan keraguan.

Xavera tidak ingin berlama-lama, sehingga ia tidak peduli pada ekspresi aneh cowok itu.

"Lo tahu kalau Reiki pakai narkoba?"

Arvin meneguk ludah. Ia diam sesaat, seakan-akan ia takut ada yang mendengar ucapan mereka. Ia menoleh ke belakang, tetapi tak seorang pun di dekat mereka. Xavera melipat kedua tangan di depan dada.

"Lo enggak usah takut, Vin. Gue bakal jaga rahasia ini," ucap Xavera meyakinkan.

Arvin menarik napas.

"Ya, Reiki memang pakai narkoba. Gue juga pernah dipaksa buat pakai narkoba. Tapi gue tolak." Arvin berbicara lebih tenang dan cepat, seolah-olah ia tak perlu waktu untuk memikirkan jawaban. "Sebagai gantinya, dia sering minta uang dari gue buat beli rokok."

Xavera menarik napas panjang. Matanya berair, perih. Dadanya seperti tersayat-sayat.

"Kenapa lo mau?"

"Gue diancam bakal dipukulin sepulang sekolah."

Xavera tidak bisa membendung kepedihan di dadanya. Matanya semakin perih, dan kini meneteskan air mata. Ia membuang pandangan ke arah lapangan basket di bawah.

"Lo jangan bilang ke siapa-siapa, ya," ucap Arvin.

Belum sempat Xavera menjawab, cowok itu sudah berlalu. Xavera hanya memandangi punggungnya hingga lenyap saat menuruni anak tangga. Sejak bertemu dengan Evano tadi malam, Xavera berusaha meyakinkan diri bahwa semua yang didengarnya kebohongan. Namun, mendengarnya sekali lagi dari Arvin, membuatnya tersudut. Ia tidak bisa mengelak. Bagaimana pun caranya.

***

Reiki menatap Evano cukup lama. Informasi yang ia terima dari Evano terasa mengejutkan, bahkan terkesan tidak mungkin. Namun, tadi di jam istirahat, Reiki melihat Xavera menarik tangan Arvin ke lantai 4.

"Lo kok tahu mereka ada hubungan spesial?" Reiki belum bisa menerima informasi yang ganjil itu.

Evano mendengkus, kemudian menyedot Teh Gelas di meja. Sepulang sekolah, Evano mengajak Reiki ke warung langganan mereka. Namun, Arvin tidak ikut dengan alasan ada acara di rumah keluarga.

"Arvin sering cerita ke gue," ucap Evano dengan suara dramatis. Sorot matanya tak pernah lepas dari Reiki, seolah-olah ia ingin menghipnotis cowok itu. "Lo enggak pernah kan tanya di mana papanya Xavera?"

Reiki teringat foto pernikahan di dinding ruang tamu Xavera, juga penuturan Dheo perihal papanya yang sudah meninggal. Merasa yakin dengan apa yang ia tahu, Reiki menjawab, "Gue tahu. Papanya Xavera udah meninggal."

Evano mengangguk. Kemudian, ia mencondongkan badan semakin dekat dengan Reiki.

"Tapi lo tahu enggak meninggalnya karena apa?"

Reiki terkejut atas pertanyaan itu. Ia tidak pernah bertanya pada Xavera, karena menurutnya itu privasi. Dan Reiki tidak begitu tertarik pada urusan keluarga orang lain. Mengungkit orang yang sudah meninggal membuatnya merinding. Reiki mengedikkan bahu, pertanda ia tidak tahu dan tidak begitu peduli.

Evano yang merasa Reiki tidak begitu tertarik, menarik napas panjang.

"Papanya Xavera over dosis obat-obatan," bisik cowok itu. Reiki terpancing. Cowok itu menatap serius sekaligus penasaran pada Evano. "Katanya, sih, mereka punya utang banyak sama papanya Arvin. Setlah papa Xavera meninggal dan enggak sanggup membayar, mereka buat kesepakatan kalau Arvin dan Xavera akan dinikahkan setelah lulus SMA."

Reiki mengerutkan dahi. Ujung jarinya digosok-gosokkan ke kening. Ia tak langsung menjawab penuturan Evano. Ia mencerna sejenak, kemudian menemukan keanehan.

"Kenapa Xavera dijadikan gantinya?"

Evano sedikit tergagap saat Reiki melayangkan pertanyaan tiba-tiba.

"Em, ya karena lo tahu sendiri, kan, Arvin gimana? Ya, mana ada cewek yang mau sama dia. Sebagai anak tunggal, pastinya Arvin harus menikah dan punya keturunan."

Reiki mengangguk beberapa kali. Ia mengusap wajah, kemudian merogoh saku celana. Pikirannya kalut mendengar informasi ini. Sangat mengejutkan, mengingat Arvin bahkan tak pernah membicarakan perihal Xavera. Atau mungkin Arvin diancam Xavera untuk tidak cerita pada siapa pun?"

Reiki mengemut lolipopnya untuk beberapa waktu. Evano menyeruput minumannya hingga tandas.

"Gue tahu lo suka sama Xavera. Makanya gue kasih tahu dari sekarang, biar lo enggak sakit hati lebih dalam."

Reiki tak menjawab. Sekarang hatinya lebih dari teriris. Mungkin lukanya sudah menembus ke jantung. Ia memang tidak pernah mengatakan perihal perasaannya pada Xavera. Namun, bukan karena ia tidak tertarik. Reiki sudah mempersiapkan semua ini sejak lama. Ia hanya menunggu waktu yang tepat, sembari ia mencoba meyakinkan diri bahwa perasaanya bukan sekadar penasaran.

Evano berbalik badan.

"Bu, sempurna satu."

Reiki melirik, kemudian berdecih. Ia selalu merasa jengkel setiap kali Evano merokok di hadapannya. Namun, kali ini ia tidak protes. Reiki tahu, Evano hanya akan membalasnya lagi. Reiki mengemut lolipop di mulutnya. Pikirannya mencerna setiap informasi yang ia dapatkan. Namun, setelah dikaitan satu dengan yang lain, ia tidak menemukan benang merahnya. Kemudian, ia terpikir untuk melakukan satu hal. Dan saat itu, semua keraguannya terjawab dengan jelas.

***

Reiki mengempaskan tubuh ke ranjang. Informasi Evano membuat pikirannya kalut. Ia mengabaikan sapaan Clevo saat ia masuk ke rumah. Cowok itu langsung bergegas ke kamar. Sebelum pulang dari warung, ia menyempatkan diri untuk mengirim pesan WhatsApp kepada Xavera. Namun, sampai sekarang cewek itu belum membalas pesannya padahal pesan itu sudah centang biru.

Reiki mengerang frustrasi. Sejak perjalanan dari warung ke rumah, lolipop bersarang di mulutnya. Namun, semua itu seakan-akan tak memberi efek apa-apa. Biasanya ia akan lebih tenang. Reiki mengambil ponsel di saku, membuka pesan yang ia kirim pada Xavera. Masih sama, tak ada pesan balasan. Hal yang lebih menyakitkan adalah tulisan online di bawah nama cewek itu.

Reiki tak bisa menahan diri. Ia menelepon Xavera. Ia menunggu sesaat, tetapi tidak kunjung dijawab. Percobaan kedua, panggilan Reiki ditolak pada nada sambung ketiga. Cowok itu tak mau menyerah. Ia mencoba sekali lagi, dan berujung ditolak.

Reiki Savian

Lo kenapa, sih?

Please, angkat telfon gue.
🥺🥺

15.35.

Pesan Reiki dibaca, tetapi tidak dibalas. Sesaat kemudian, profil cewek itu menghilang beserta last seen di bawah namanya.



Terima kasih sudah membaca!

Jangan lupa vote dan komen, ya.

Salam manis salam gemoy...!

Bad Boy Gemoy ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang