Bulan?

400 3 0
                                    

"Bulan?"

Aku terhenyak mendengar suara yang begitu familiar di indera pendengaran. Suara lembut yang dulu selalu menjadi candu di setiap harinya, kini menggema lagi di telinga. Dan hanya satu dari seribu orang yang mengenalku, memanggilku dengan sebutan Bulan.

Abimanyu.

Lelaki yang kini sedang tersambung denganku melalui ponsel memang benar-benar Abimanyu. Bahkan desahan napasnya di seberang sana dapat aku rasakan. Sama seperti tiupan lembut di pucuk kepalaku ketika kami hanya duduk berdua di pinggir danau, dengan kedua tangannya yang mendekap hangat tubuhku.

"Aku rindu kamu, Bulan." Suaranya terdengar lirih. Tanpa menatapnya pun aku bisa merasakan dia tengah mengungkapkan kerinduan teramat dalam.

Namun, tak ada rindu yang lebih menyiksa dari yang aku rasakan. Begitu kejamnya hingga aku seringkali memohon agar Tuhan menghapus ingatanku. Sekali pun kematian yang menghampiri, dari pada menahan rindu yang begitu menyakitkan.

Dadaku kembali sesak, setelah bertahun-tahun mencoba untuk melupakannya. Kini, benteng pertahanan yang rapuh itu runtuh dalam sekejap hanya karena mendengar suaranya saja. Ingatan terdahulu kembali mengajak untuk berfantasi mengenai aku dengannya.

Ketika aku dan Abimanyu duduk berhadapan di perpustakaan sekolah. Wajahnya terlihat serius dan hanya terfokus pada buku yang sedang dibacanya. Entah itu buku pelajaran, atau novel fiksi yang menyuguhkan halusinasi berkepanjangan.

Tak jarang Abimanyu menahan kesal atas kejahilanku. Karena aku merasa bosan menemaninya duduk berlama-lama tanpa bersuara sedikit pun, aku tiba-tiba merebut buku yang sedang dibacanya begitu saja.

"Mending kamu ke kantin deh! Beliin aku mie ayam Mang Ucup," kata Abimanyu setengah berbisik kala itu sembari kembali merebut buku dari tanganku.

"Nggak mau, aku takut gendut!" sahutku mengelak seraya melipat kedua tangan di atas meja.

"Kan aku yang makan, bukan kamu!"

"Tapi, kalo aku kepengen juga gimana? Kamu mau aku gendut?"

Abimanyu hanya tersenyum tipis seraya menggelengkan kepalanya, lalu kembali fokus membaca. Walau begitu, memandang wajahnya dari dekat saja selalu membuat dadaku berdebar kencang.

Lalu, ketika aku dan Abimanyu bermain truth or dare di teras depan rumah. Botol hijau menggelinding di tengah-tengah kami. Hingga sampai ujung botol itu mengarah kepadaku.

"Truth or dare?" tanya Abimanyu cepat.

Mau truth atau pun dare, keduanya sama-sama tak menguntungkan. Aku harus menjawab jujur atas pertanyaan yang dilayangkan Abimanyu, atau menerima tantangan untuk bersedia meminum jus yang berisi campuran bawang dan lobak yang membuat perutku mual.

"Errr ... truth!" Aku menjawab gugup. Takut-takut pertanyaan yang diajukan Abimanyu terlalu bersifat pribadi.

Abimanyu berpikir sesaat. Matanya menerawang menatap bulan purnama keperakan yang tengah bersinar menerangi kami berdua malam itu. Di mana hanya ada suara binatang malam yang menjadi latar belakang dalam permainan kami.

"Siapa ... cinta ... pertama kamu?" tanya Abimanyu terbata.

Sudah kuduga dia akan menanyakan hal bodoh seperti itu. Walau aku tahu sebenarnya dia tak yakin dengan pertanyaannya, tapi dia terlihat penasaran dan ingin tahu lebih banyak tentangku.

"Kamu yakin pengen tau?" Aku bertanya sedikit menantang.

"Coba aja jawab," katanya sembari menatap mataku lekat.

Tak terasa aku mengulum senyum saat debaran di dada kembali mengencang. Aku memutar-mutar bola mata, memikirkan jawaban apa yang harus aku berikan.

Memeluk BulanWhere stories live. Discover now